tag:blogger.com,1999:blog-44368627666641209232024-03-13T00:54:43.505-07:00Banua Rayabanua adalah kehidupan
banua adalah keperkasaan
banua adalah harapan
Alamat: Jalan Gatot Soebroto IX, Arthaloka 1, No.7 RT.26 Banjarmasin.
E-mail:lukah2009@yahoo.co.idTaufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.comBlogger172125tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-25412017936029522612013-10-03T07:17:00.001-07:002013-10-03T07:17:32.753-07:00Pendaftaran CAGUBOleh: Taufik Arbain<br />
<br />
Saya begitu terkesima dan terperanjat dalam space yang besar ada iklan pendaftaran Calon Gubernur dan Cawagub Kalimantan Selatan 2010 – 2015 oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pikiran saya langsung saja teringat dengan seorang senior yang pada suatu ketika pernah berniat ikut kompetisi dalam pilkada Cagub dan Cawagub Kalsel 2010 nanti. <br />
<a name='more'></a>Kontan saja beberapa persyaratan sebagai instrumen penting saya baca dan saya pahami. Apalagi pengumuman tersebut kada gagampangan ditujukan kepada warga negara Indonesia.<br />
Oi....amboi onde-mande! kata orang Minang. Apa dikata ternyata ada beberapa persyaratan yang sangat tidak memungkinkan bagi senior saya, orang umum termasuk bagi kader PPP itu sendiri. Jangankan bertanding, mendaftarpun bakira-kira jua. Saya meyakini, siapa pun yang membaca persyaratan khusus pengumuman yang ditanda tangani oleh Ketua PPP dan Sekretaris tersebut, pasti geleng-geleng kepala. <br />
Paling tidak pengumuman rekruitmen Cagub dan Cawagub Kalsel oleh DPW PPP tersebut dikatakan sebagai pendaftaran Cagub/Cawagub Incaan. Dalam kamus bahasa Banjar incaan dimaksudkan adalah sesuatu yang dilakukan hanya sekadar bercanda, tidak serius, main-main dan makna sebangsanya.<br />
Lalu mengapa dikatakan pendaftaran Incaan? Pertama, secara logika politik faktor pendaftaran yang hanya memberi kesempatan 3 hari dan mereka yang mendaftar harus memiliki KTA PPP ( Kartu Tanda Anggota) adalah sesuatu yang diperlukan pikiran ulang untuk mendaftar menjadi Cagub, jika menjadi Gubernur dipahami sebagai jabatan yang bertanggung jawab menjalankan amanah, memiliki visi dan misi yang jelas serta kapabilitas. Kecuali orang yang tidak memiliki apa yang disebutkan di atas mau mendaftar sebuah agenda ini yang sering ditafsirkan sebagai ”Dagelan Politik” murahan.<br />
Menurut saya untuk menjadi PNS yang sekadar diawal kerja menjadi staf saja membutuhkan waktu semingguan yang diberikan oleh BKD Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam membereskan persyaratan administratif. Sementara mencalonkan diri menjadi Gubernur atau wakil gubernur tidak sekadar persoalan administratif saja, tetapi kalkulasi politik cermat yang tentu saja sangat lucu diberikan waktu 3 hari, apalagi mengurus KTA PPP selama 4 hari.<br />
Kata teman, ” kalau dianggap pesaing, mengurus KTA mungkin saja bisa diperlambat menjadi 7 hari sehingga habis masa pendaftaran. Upau!!”.<br />
Kedua, jika pengumuman tersebut dimaksudkan kepada kader PPP yang memiliki KTA, tentu saja mereka yang mendaftarkan diri secara kalkulasi politik sama halnya dengan ”bunuh diri” sebelum Pemilu 2009. Sebab, sang Ketua DPW PPP yang notabene pembuat pengumuman adalah kans yang kuat untuk kembali mencalonkan menjadi Cagub yang diusung oleh PPP.<br />
Jadi pertanyaannya, kepada siapakah pendaftaran itu sebenarnya ditujukan? Apakah ada trik khusus untuk mempetakan blok-blok kandidat Cagub dan cawagub baik dalam tubuh partai maupun luar partai? Kalau begitu kita lihat adakah dan siapakah yang ”berani” mendaftar sejak jadwal ditetapkan?<br />
Namun demikian, diluar perspektif politik fakta pengumuman tersebut seyogyanya tidak sekadar menjalankan fungsi-fungi amanat partai secara prosedural administratif saja tanpa melihat aspek-aspek sosiologis politik dan prosedural yang berorientasi pada Key Performance Indicator dan model formulasi rekruitmen yang mencerminkan aspek-aspek prosedural yang terukur. Agar partai tersebut terlihat punya kharisma dan wibawa di mata publik bahwa dalam menetapkan sesuatu dilandasi formulasi yang terukur.<br />
Sekali lagi kata teman, ”jika pengumuman seperti ini saja dikategorikan tidak terukur, berarti rekruitmen caleg pun sebelumnya diasumsikan tidak terukur dong!”. Memang! Sebagaimana dalam kaidah-kaidah teori politik manajemen partai demikian sering dilandasi faktor like dislike, sehingga cap bagi PPP masih tidak tergerus sebagai partai keturunan, yang tidak sekadar dipilih karena tradisi keturunan bahkan manajemennya bersifat kekeluargaan yang cenderung nepotisme.<br />
Idealnya bentuk pengumuman itu disampaikan setelah pemilu, dan terbuka untuk publik tanpa dijerat oleh kepemilikan KTA termasuk jangka waktu pendaftaran yang relatif panjang, kalau memang PPP mau dianggap partai terbuka dalam hal mencari kader termasuk mengusung cagub dan cawagub. Tapi jika persyaratan khusus ngotot dengan KTA PPP dan kembali jangka waktu 4 hari saja, prosedur birokrasi partai cukup dengan pengumuman dan surat koordinasi/hirarki antar struktur partai saja hingga ke tingkat ranting. Bukankah cara demikian lebih elegan dan tidak incaan? Karena rakyat banua sepakat tidak mau memiliki gubernur dan wakil gubernur maupun caleg dari proses incaan.***(Idabul 2 Desember 2008)Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-78642006172669746662013-10-03T07:13:00.000-07:002013-10-03T07:13:44.670-07:002007Oleh: Taufik Arbain<br />
Besok Tahun baru! Kata teman saya. Saya pun mengiyakan. Padahal menurut orang-orang yang pernah memahami filsafat, tidak ada perbedaan waktu dengan waktu yang lain, termasuk perbedaan dan perubahan bentuk bumi. Biasa aja lagi! kata anak-anak gaul saat ini.<br />
<a name='more'></a><br />
Cuma persoalannya, perbedaan dari tahun lama (old) dan tahun baru (new) adalah kemampuan orang mengkategorikan dengan kepentingan kapital untuk memperdagangkannya dengan segala bentuk dan simbol. Perbedaan tahun lama dibandingkan dengan memasuki tahun baru diboncengi dengan penilaian baik-buruk terhadap perilaku, kinerja, gaya hidup termasuk semangat hidup.<br />
Nilai-nilai inilah sebenarnya yang menjadi dagangan untuk menjustifikasi pengkategorian tersebut, sehingga pergantian tahun menjadi sesuatu yang penting bagi banyak orang di muka bumi dan menjadi tradisi universal. Paradigma hari ini harus lebih baik dari kemarin adalah kata kunci pergantian tahun.<br />
Orang pun bersorak-sorai atas pergantian tahun. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin merupakan bentuk perlawanan terhadap para pemuja keterlambatan. Sederhana saja, ketika ada seseorang atau sekelompok orang memiliki kreatifitas, visible, kapabilitas dan etos untuk maju, maka kelompok pemuja keterlambatan akan berujar, ”bah dasar kalajuan”. Pertanyaannya adalah apakah kita termasuk orang dalam kategori kalajuan atau kalambatan?<br />
Tahun 2007 setidaknya, telah memastikan catatan-catatan penting atas perjalanan hidup termasuk perjalanan pembangunan banua ini. Bagi orang-orang di kampung atau orang-orang miskin, pergantian tahun tidaklah memberikan makna apa-apa. Kegembiraan yang mereka rasakan adalah kegembiraan semu. Orang umpat bakuliling sampai pergantian waktu tahun baru, umpat jua! Besok,Malandau! Tanpa disadari mereka kembali menjadi pemuja keterlambatan. Mereka tergiring dalam kreatifitas para kreator yang mengkategorikan waktu dengan segala bentuk dagangannya.<br />
Pergantian tahun baru ini, saya melihat terkadang sama dengan fenomena orang berhaji. Tidak memiliki makna apa-apa. Kontruksi sosial telah menjadikan orang yang datang haji dipuja-puja sebagai hamba Tuhan yang diberikan anugerah dari hamba lainnya. Apalagi yang sudah berulang-ulang. Datang haji berbagai macam cerita dipaparkan. Orang-orang larut juga dalam kegembiraan semu. Celakanya orang-orang yang demikian tidak pernah berpikir dan tidak pernah tahu untuk melakukan derma sosial. Habis datang haji, hantam sana-sini untuk mengumpulkan harta dan kembali berhaji lagi.<br />
Faktanya, malulah kita, ternyata para koruptor dan penipu pembangunan di banua ini yang masuk penjara, atau para aparat pemerintah yang melakukan manipulasi-manipulasi proyek pembangunan adalah mereka yang mendapat titel haji. Kada gagampangan. <br />
Saya terenyuh dengan pernyataan aparat dari Kabupaten HSU yang bermotto bertaqwa beberapa bulan lalu, bahwa aparat pemkab yang melakukan studi banding ke NTB untuk kepentingan daerah adalah dengan dana sendiri. Hari gini dana sendiri? Bohong! Mana ada aparat pergi ke NTB dengan alasan melakukan studi banding untuk daerah dengan dana sendiri? <br />
Jawaban kakanakan yang anak SD pun akan bisa menjawab sesuatu yang tidak mungkin. Apalagi iklim kantor yang saling bahirian dan tidak akan bergerak jika tidak ada perintah dan dana pendukung. Bahkan di Kabupaten yang menerapkan Manajemen Ilahiyah sekalipun, yakinlah! Tidak ada yang mau studi banding dengan dana sendiri.<br />
Inilah yang saya maksudkan, apakah tahun lalu 2007, model-model pembohongan, manipulasi laporan proyek/tender, usulan-usulan dana seperti dana alokatif, pilkada incaan yang mana kalangan partai sengaja mencalonkan kandidat sekedar pelengkap prosedural demokrasi? <br />
Atau para ulama yang himung dan kada kawa bakutik meneriakan kemungkaran bagi kalangan elit lantaran masjid, pengajian dan pesantrennya mendapatkan sumbangan dari pejabat atau pengusaha yang mengakumulasi dana dari korupsi atau dari pengrusakan alam? Atau ulama yang merasa sudah prestise jika dirinya didatangi dan naik mobil pejabat tinggi. <br />
Inilah yang sering terjadi di banua kita yang terlanjur menjustifikasi sebagai banua yang religius. Tapi religiusitas selama ini sering hanya membenarkan sesuatu yang tidak benar, dan membenarkan kelakuan para politisi koruptif.<br />
Ini adalah bentuk kepedihan atas fenomena sosial politik dan pembangunan yang terjadi di banua ini sejak lalu hingga tahun 2007. Jika tahun 2008, masih saja menjadi pemuja keterlambatan dan kelakuan seperti yang sudah-sudah. ”Sungguh Terlalu!”, mengutif kalimat Bung Haji Rhoma Irama. Selamat Tahun Baru**(Idabul, 31 Desember 2006)Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-4644335169057775792013-10-03T07:11:00.000-07:002013-10-03T07:11:09.411-07:0016 Anggota DewanOleh : Taufik Arbain<br />
Berbagai media cetak lokal beberapa hari lalu ramai menurunkan berita soal maraju, maanggap dan mambikotnya 16 orang anggota DPRD HSU pada rencana rapat Paripurna tentang pendapat akhir terhadap lima raperda HSU. Alasannya Bapak Bupati HSU tidak tepat memenuhi janji jadwal agenda rapat penting tersebut. Molor 2 jam! Demikian ungkap salah seorang anggota DPRD HSU. Sesuatu yang sangat memalukan dalam rangka membangun kultur disiplin pegawai.<br />
<a name='more'></a><br />
Tentu saja ulah 16 anggota DPRD ini cukup mencengangkan banyak pihak. Terlebih alasan yang mereka kemukakan hal ini disebabkan oleh tidak adanya wakil bupati sehingga tidak ada yang bisa menggantikan kegiatan yang bersifat seremonial.<br />
Paling tidak ada catatan penting atas kasus tersebut; pertama, secara administratif tidak ada yang salah dari undangan yang dilayangkan sekretariat dewan kepada pihak protokoler bupati, bahwa jadwal rapat paripurna agenda pendapat akhir dilaksanakan pada hari yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini pihak protokoler tentu saja harus mampu memilah mana agenda yang prioritas bertendensi kebijakan dan politis, dan mana yang sekedar seremonial.<br />
Titik lemahnya ada pada pihak protokoler yang tidak professional dalam menangani agenda-agenda Bupati. Padahal pihak protokoler bisa mengkomunikasikan dengan bagian kesekretariatan pemkab atas agenda seremonial pelantikan pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), untuk ditunda penjadwalannya atau sebaliknya. Dan konfirmasi ini pun bisa dilakukan dengan Bapak Bupati sendiri atas perubahan jadwal tersebut. Jadi tidak perlu ada yang tatumpang, sementara selama ini urusan seremonial selalu molor.<br />
Kedua, faktor lemahnya sense of critis dari pengambil keputusan dalam hal ini Bupati atas catatan agenda yang akan dilakukannya. Bahwa siapa pun akan sangat jelas dan mampu mencermati perbedaan kategori agenda pendapat akhir dengan anggota DPRD dengan agenda seremonial dari kegiatan birokrasi bawahannya. Dan seorang Bupati seyogyanya tanggap, jika ada kekeliruan atau ketidakcermatan protokoler karena berkaitan agenda krusial. Sederhananya ibarat orang handak kawin, pastilah mengingat-ingat jadwal kegiatannya dan memastikan tidak tatumpang dengan jadwal lain.<br />
Bahwa siapa pun sangat tahu keterlambatan termasuk ketidakhadiran rapat dengan wakil rakyat di gedung DPRD akan menimbulkan resiko politis yang bersifat krusial dalam soal kebijakan-kebijakan pembangunan. Karena anggota DPRD adalah legislator/mitra eksekutif yang memiliki bargaining position dan daya pressure terhadap eksekutif dalam hal ini bupati. Nah memahami soal ini, sebenarnya tidak diperlukan kecerdasan yang bagus, karena sudah menjadi pandangan umum tentang fungsi-fungsi legislatif dengan segala otoritas yang dimilikinya demikian pula fungsi eksekutif dengan segala otoritasnya. Peristiwa ini merupakan bentuk penafian penghormatan terhadap lembaga negara (legislatif) di daerah.<br />
Pertanyaannya, faktor x apa yang menyebabkan adanya peremehan terhadap agenda yang penting pendapat akhir di DPRD HSU diluar penjelasan-penjelasan fungsi-fungsi birokrasi tersebut? Apakah ada teori baru di Kabupaten HSU bahwa otoritas legislatif sama kedudukannya dengan eksekutif? Padahal Filsuf Perancis Montesquieu telah menawarkan konsep pembagian kekuasaan yang terkenal dengan sebutan Trias Politica sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang ideal yakni adanya kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.<br />
Atau jangan-jangan ada paradigma baru di HSU bahwa posisi institusi legislatif fleksibel mengikuti jadwal seremonial eksekutif, dimana biasanya tidak ada keberanian bawahan untuk menentang atasan dalam hal penjadwalan dan pengunduran kegiatan, termasuk lambat datang? <br />
Ketiga, peristiwa tersebut bisa ditafsirkan bahwa telah terjadi degradasi kewibawaan Kepala Daerah di mata wakil rakyat atas kinerja pemerintahan, kapasitas dan kapabilitas dalam kepemimpinan sehingga 16 wakil rakyat HSU dengan segala egonya meninggalkan gedung DPRD sebagai bentuk protes atas ketidakresponsifnya Bupati HSU. <br />
Jadi melihat kasus ini, apakah benar karena tidak adanya wakil bupati? Atau memang ada bentuk pembiaran dan peremehan terhadap institusi legislatif oleh pimpinan eksekutif? Atau memang tidak paham dan cerdas dalam memahami kategorisasi agenda-agenda pemerintahan?<br />
Jika dihubungkan dengan kinerja pemerintahan HSU selama ini, benarlah apa yang diungkap seorang teman. Bahwa setiap pemberitaan tentang Kabupaten HSU hanya seputar seremonial atau peresminan lembaga ini – itu, pelantikan forum ini-itu, meninjau pasar, silaturahmi masjid, mengikuti seminar dan lainnya. Itupun dari program kerja SKPD-SKPD. Tidak ada yang menarik dan progresif dari kinerja pembangunan baik itu gagasan, visi dan misinya maupun terobosan pembangunan sebagaimana kabupaten lain.<br />
Kabupaten HSU benar-benar mundur 15 tahun, karena kepemimpinan dominan cenderung administratif belaka. Dan hari ini benar-benar dinikmati. Kasian rakyat***(1 Juni 2009)Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-41910705477001220712013-10-03T07:07:00.000-07:002013-10-03T07:07:27.878-07:00Zakat Rp.50 RibuOleh: Taufik Arbain<br />
Kasus menginap, menduduki dan demonstrasi para buruh Daya Sakti Group di Gedung Dewan menjadi perhatian banyak pihak. Tidak tanggung pejabat daerah dari Gubernur, Wakil Gubernur, Kepala Instansi berwenang termasuk anggota DPRD Kalsel turut serta memberikan apriasiasi terhadap tuntutan para buruh berkaitan dengan Gaji, THR dan PHK yang jelas dari pihak perusahaan. Intinya, para buruh tidak akan meninggalkan gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan mereka dipenuhi.<br />
<a name='more'></a><br />
Rupanya sekretariat dewan dan Pemprov melihat fakta ini, mau tidak mau harus mengalihkan Prosesi Pelantikan Para Wakil Rakyat Kalsel Periode 2009-2014 ini harus ke Gedung Mahligai Pancasila (semula sewaktu awal ke Banjarmasin saya mengira gedung ini bernama Pendopo Pancasila, karena saking kuatnya hegemonik budaya Jawa di Indonesia sehingga setiap gedung pertemuan selalu dinamakan Pendopo, bukan mahligai atau balai).<br />
Pasca pelantikan sebagaimana diberitakan media, wakil rakyat luar biasa mau menemui para demonstran buruh PT Daya Sakti Group untuk mendengarkan keluhan mereka bahkan menyarankan agar menghentikan kegiatan, sebab dewan yang akan mengagendakannya lewat rapat-rapat dewan di gedung DPRD Kalsel yang saat ini mereka duduki.<br />
Saking baik hati dan dermawannya salah seorang anggota DPRD Kalsel kemudian menawarkan angka Rp. 50.000,- sekali lagi uang sebesar Lima Puluh Ribu Rupiah untuk diberikan kepada demonstran yang berjumlah sekitar 1.500-an orang tersebut. Sebuah angka yang “baik hati” dikeluarkan untuk 1.500-an. Jar urang Banua Kaliakan hanya saurang betapa banyaknya. Padahal belum menerima gaji lagi beserta tunjangan lainnya.<br />
Angka Rp.50.000,- diberikan adalah dana dengan status zakat (kalau dihitung sekitar Rp.75 juta yang harus dikeluarkan), bukan status sadaqah atau status yang lain, apalagi BLT versi Pemerintah untuk orang miskin menurut indikator BPS. Pemberian dana zakat kepada para buruh yang demo diberikan dengan syarat agar pulang dan meninggalkan kegiatan aksi demonstrasinya agar memudahkan kerja dewan memakai gedung tersebut. Apabila tidak memenuhi syarat yang dimaksud, maka dana zakat batal diberikan. Dan buruh pun memilih yang terakhir untuk terus melakukan aksinya hingga terpenuhi tuntutan kepada perusahaan.<br />
Membaca pemberian zakat dengan ikatan kepentingan, saya jadi bertanya-tanya? Hukum zakat yang mana pula digunakan sang politisi sehingga kalau ditafsirkan dalam bahasa fatwa, “barangsiapa yang tidak mengindahkan meninggalkan gedung dewan dalam berdemonstrasi, maka gugurlah akan ia penyerahan zakat itu”.<br />
Saya mencoba bertanya kepada ahli agama tentang soal zakat dan siapa saja yang pantas menerima zakat, termasuk niatan dan afdholnya kepada siapa saja diberikan. Tak satu pun fatwa jika ditafsirkan pemberian zakat berkaitan dengan kepentingan pragmatis lebih-lebih terkesan politis.<br />
Analisis akademis saya bergerak. Bagaimana bisa seorang wakil rakyat bisa memainkan hati orang dan seenaknya mendermakan harta dengan cara-cara yang tidak etis dalam menyelesaikan masalah publik. Ini adalah persoalan publik, yang ditangani dengan cara politis dan manajerial, bukan individual. Sangat terkesan ketidakcerdasan yang ditunjukkan, tidak bisa membedakan perilaku dalam institusi publik dengan institusi privat. Buruh adalah rakyat, masa diperlakukan seperti segerombolan orang yang melakukan aksi, kok bisa diselesaikan dengan berpikir cash and carry, dikasih duit selesai dan pulang. Ironisnya lagi, uang tersebut dibahasakan sebagai zakat, dan jika tidak mau memenuhi syarat maka kada jadi. Kalu handak membarii, tak perlu pakai syarat, apalagi logistik demonstran semakin menipis.<br />
Sekalipun menurut orang awam apa yang dilakukan itu sebagai sesuatu kedermawanan, tetapi ketika masuk dalam ranah publik terlebih institusi yang disandang, ianya bukanlah sesuatu yang pantas dilakukan. Ini menyangkut etika politik dan lebih dari itu mempermainkan “kebanyakan duit” dalam bahasa agama (zakat) dengan segala kepentingannya.<br />
Ini pikiran yang sangat naïf dan menyesatkan bagi seorang anggota dewan jika paradigma berpikir selalu dengan duit-duit. Pola berpikir cash dan carry ini membawa dampak pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sebab ianya tidak mengedepankan berpikir analitis, sistematik dan mengedepankan pengambilan keputusan yang berorientasi pada pemenuhan keadilan dan hajat orang banyak. Ianya cenderung kearah arogansi dan individual. <br />
Dalam ranah pengambilan keputusan publik, cara/model berpikir seperti ini jika terjadi pada lebih separo dari anggota dewan yang ada misalnya, maka Institusi Wakil Rakyat yang akan datang mirip perusahaan milik para komisaris yang mementingkan keuntungan jangka pendek. Niscaya Rakyat Kalsel tidak akan bisa berharap banyak pada keputusan publik yang berorientasi keadilan dan keberpihakan. Perlu dibangun penyadaran bagaimana menghargai orang lain, tanpa harus dengan ukuran duit. Kita mengkhawatirkan, jika pola pikir demikian merambah pada figur-figur calon pemimpin daerah. Terjadi pada anggota DPRD yang keputusannya bersifat kolektif saja sudah membahayakan, apalagi jika pada figur calon pemimpin daerah. Bangaatt lagi!!! Kata orang Kelua!.(idabul, 14 September 2009)<br />
<br />
<br />
<br />Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-59151554272177476992013-10-03T07:04:00.001-07:002013-10-03T07:04:43.991-07:00Lihan Gate<br />
Oleh: Taufik Arbain<br />
Publik Kalsel-Teng hingga Timur hari ini semua mencibir Lihan, bahkan salah satu media sengaja memberikan ruang kepada pembaca untuk memberikan komentar atas Lihan karena kegagalan bisnisnya yang saat ini masih diduga ada unsur penipuan karena mengumpulkan dana di masyarakat untuk modal bisnis yang dianggap masih “ tidak transparan”.<br />
<a name='more'></a><br />
“Apanya kada transparan? Bisnis Lihan kan, berdasarkan syariah, karena bagi hasil? Dia kan seorang Ustadz. Prinsip bisnis yang selalu menjadi pedomannya adalah “Berbisnis dengan syariah dan mencari ridho Allah SWT”, demikian komentar kebanyakan orang yang menyebut dirinya sebagai “investor”.<br />
Kalimat di atas ini menurut saya adalah faktor determinan mengapa begitu banyak masyarakat terseret dalam kegiatan bisnis yang dijalankannya di antara faktor-faktor lain. Bahwa kelemahan informasi, pemahaman pengetahuan bisnis dan syariah yang tatarang upih menyebabkan masyarakat begitu kuatnya terbawa arus promosi yang dikembangkan oleh kelompok tertentu yang terlibat dalam meraih keuntungan. Kelompok itu sekarang disebut dengan “kolektor”.<br />
Lima hari lalu Duta TV mengundang saya dalam wawancara interaktif bersama Fauzan Ramon seorang Advokat dan YLKI dalam mengurai kasus bisnis Lihan. Saya mengurai dalam perspektif sosial. Dalam konteks ini bahwa ada tiga factor yang menyebabkan begitu dahsyatnya hipnotis bisnis ini. Pertama, adanya spekulatif irasional; ini menekankan pada amatan bahwa kecenderungan para investor dana pada Lihan adalah mereka yang cenderung berspekulasi dengan imingan keuntungan 10% dari modal yang ditanamkan. Padahal menurut ahli-ahli ekonomi sangat sulit sebuah bisnis bisa berbagi hasil mencapai 10 %. Kalau pun ada maka tidak berapa lama akan ambruk karena rentan resiko bisnis.<br />
Kedua, imitation. Pandangan ini mengutif teori yang dikembangkan ahli Sosiologi. Dalam bahasa keren Hulusungai uumpatan. Kecenderungan masyarakat mudah terbawa arus opini mayoritas. Sebab opini mayoritas dianggap sebuah legitimasi dan kebenaran. Ketika bisnis Lihan dikondisikan sebagai bisnis dengan syariah lewat berbagai instrument media, maka kecenderungan uumpatan menjadi bagian dari mengguritanya kelompok penanam modal. Ironisnya banyak diantara orang-orang strata bawah ingin menunjukkan status sosialnya kepada orang sekitar bahwa dirinya “baduit jua”, berani habis-habis uang diinvestasikan. Perilaku demikian hamper terjadi pada kelompok masyarakat rural dan sebagian pinggiran urban.<br />
Ketiga, jebakan simbolik. Ini dimaksudkan bahwa religion market bagi kultur masyarakat Kalsel dan sekitarnya adalah cara yang sangat efektif untuk menarik simpatik massa. Religion market ini sudah terbukti mampu memenangkan pertarungan Pilkada dalam ranah politik. Maka ketika religion market masuk dalam ranah bisnis, mampu membuat orang banua melupakan kehilangan tongkat pertama yakni kegiatan yang pernah dikenal dengan Jimmy Voucher.<br />
Jadi faktor pertama dan kedua sebenarnya penyebab determinan yang pernah terjadi pada masyarakat sekitar 5 tahun lalu pada modus yang sama. Sekarang justru faktor determinan karena jebakan simbolik. Parahnya jebakan simbolik ini dilegitimasi oleh banyaknya kegiatan keagamaan yang menghiasi dan bahkan disponsori dari bisnis Lihan ini. Malah banyak tokoh-tokoh yang sebenarnya memberikan andil legitimasi dari pencitraan yang terbentuk. Sayangnya dimana para Ulama yang bisa membedakan mana riba mana bukan? ( Hati-hati jebakan simbolik pada ranah politik Pilkada Gubernur dan Bupati! Yang juga mengumbar-umbar agama termasuk para Ulama dan pengurus pengajian yang menjadi makelar politik).<br />
Saya sempat bertanya-tanya, kenapa bisnis yang dikumandangkan dengan istilah “bagi hasil” atau syariah kok tidak ada transparan bahkan kontrak-kontrak bisnis dengan para penginves? Bukankah syariah diantaranya menekankan unsur-unsur tersebut?<br />
Kemudian, mengapa sebagian kelompok kolektor dalam jangka waktu 1-2 tahun bisa mendapatkan keuntungan yang luar biasa. Kata teman ada oknum kolektor yang tiba-tiba karena dekatnya dengan Lihan bisa membeli mobil mewah, naik haji dengan ONH Plus, dan memiliki rumah di kawasan Citra Garden. Lalu saya katakan kepada teman, jangan-jangan uang dari para penginves yang dia gunakan separuhnya atau persen yang sangat tinggi sebelum ke penginves. Situasi ini salah satu fakta yang sangat mencurigakan.<br />
Namun demikian, dalam penanganan kasus Lihan ini masih ada kecurigaan sebagaimana terjadi pada kasus Jimmy Voucher, bahwa ada oknum kelompok elit tertentu baik elit modal atau elit kekuasaan memanfaatkan kasus ini untuk sekaligus memangsa sisa-sisa dana yang bukan haknya. Atau dengan pola meniisakan modal yang pernah dipasang sekaligus mengambil sisa lainnya atas nama penyelamatan. Tapi inilah kecurigaan publik jika ada kasus-kasus seperti ini.<br />
Kata teman, “ ramuk judulnya Lihan” jika jatuh tertimpa tangga pula, karena adanya oknum kelompok pemangsa tadi. Pertanyaannya adalah, mana orang-orang yang telah merasakan dan menikmati sumbangan dan kebaikan dari Lihan? Mampukah menjadi communal garansi sebagaimana terjadi pada kasus Bibit-Chandra? Kalau sudah begini, semua orang cuci tangan dan diam. Memalukan!!(14 Desember 2009, Idabul Mata banua)<br />
<br />Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-85924936667767505902013-10-03T07:03:00.000-07:002013-10-03T07:03:37.342-07:00Gedung PemudaOleh: Taufik Arbain<br />
Tadi malam sekitar pukul 21.00 wita saya buru-buru pulang sehabis membeli souvenir yang akan dibawa ke Manado besok. Tiba-tiba dikejutkan oleh telepon dari seorang tokoh budaya Banjar. Sang tokoh benar-benar menumpahkan kekecewaannya dan kejengkelannya atas sebuah bangunan megah yang ada di Jalan Sudirman depan Jembatan Merdeka.<br />
<a name='more'></a><br />
Bangunan megah yang dimaksud adalah Gedung Pemuda yang baru saja diresmikan oleh pejabat di daerah ini. “ Aku melihat fotonya di salah satu Koran,tidak sedikitpun sarana public itu memberikan representative kebudayaan Banjar. Kalau begini sulit kita berharap dengan pemuda sekarang untuk turut andil melestarikan kebudayaan Banjar!”, demikian kekesalan sang tokoh.<br />
Saya sangat memaklumi dengan tokoh yang hampir 30 tahun ini memperjuangkan cirri-ciri / representative budaya Banjar ke dalam semua bangunan public di daerah ini. Bahwa sebuah bangunan yang jelas bagian dari otoritas penuh dari pihak yangberkepentingan mengapa tidak mampu memainkan peran dan otoritas penuh untuk menampilkan sosok bangunan yang pro arsitek Banjar. <br />
Saya kira harapan dan kekecewaan sang tokoh ini tidaklah berlebihan, karena memang seyogyanya hal demikian harus dilakukan. Ini untuk memberikan ketegasan dan keberanian bahwa sebuah kebudayaan tidak sekadar menjadi komoditas budaya yang diperankan setiap momentum kegiatan rutinitas Dinas Pariwisata, Budaya dan Pemuda. Tetapi ianya menjadi bagian yang melekat dalam setiap gerak pembangunan dan pelayanan publik di banua ini.<br />
Artinya sebagai sebuah bangsa yang berbudaya, tentu melakukan langkah pengidentifikasian komunal bangsa lewat berbagai ranah bukanlah hal yang memahami ego etnisitas tetapi bagian dari salah satu pilar penyokong kebudayaan nasional yang beragam. Jadi Salahkah jika menginginkan arsitek Banjar hidup di tanahnya sendiri lewat satu-satunya harapan pada bangunan publik pemerintah daerah?<br />
Kekecewaan sang tokoh ini mengingatkan pengalaman saya Jumat kemarin ketika berkunjung ke Sampit atas undangan dari salah satu kandidat calon bupati untuk memberikan materi strategi pemenangan pilkada. Saya begitu kagum dan terpesona bahwa hampir semua bangunan publik di Sampit hingga ke bangunan pasar ikan mencirikan arsitek budaya Dayak setempat bahkan sepanjang perjalanan saya di Kalimantan Tengah.<br />
Kreasi budaya Dayak yang dipoles dengan kebudayaan modern dinamis tidak menghilangkan nilai-nilai identitas ke-Dayakkannya sangat mempertegas bahwa diri saya berada di tanah Dayak Kalimantan Tengah, bukan berada di negeri Bugis, tanah Jawa apalagi tanah Batak atau Betawi.<br />
Pertanyaannya apalah pengurus KNPI tidak memiliki daya tawar kepada Pemprov dan kontraktor untuk mengidentifikasi model dan arsitek bangunan megah sekretariatnya? Atau jangan-jangan pengurus KNPI Kalsel memang kelompok pemuda yang tidak memiliki sense of banjares culture yang perilakunya hanya Menyadi saja dari apa yang dibuat dan diberikan Pemprop?<br />
Kalau demikian adanya, sungguh sebuah perkumpulan pemuda yang tidak memiliki sense of critic dan tidak bisa diharap banyak sebagai pelopor dan generasi yang mempertahankan dan melestarikan kebudayaan Banua! Karena ruang dan ranah berpikirnya tidak komprehensif dan memberikan pengidentifikasian nyata atas budayanya. Fakta ini barangkali sebagai bentuk pengulangan sejarah yang memperkuat tidak terlibatnya Jong Banjares sebagai pemuda Banjar pada momentum Sumpah Pemuda tahun 1928 bagian dari pemuda Indonesia.<br />
Sesuatu yang berbeda dilakukan oleh Jong Selebis, Jong Ambon, Jong Java dengan segala kebanggaan identitas etnis dan budaya dalam membangun Indonesia yang beragam. Jadi kita memang bangsa/etnis yang tidak mampu membanggakan kebudayaannya sendiri, karena ruang berpikir kita selalu pragmatis dan praktis. <br />
Kalau begitu kita sudah bersiap memberikan ruang kepada siapapun menghegemoni Banua ini dengan segala budayanya. Mungkin kita akan menyaksikan ada sejengkal budaya/ tanah Eropa, sejengkal tanah Jawa, hingga sejengkal tanah Bugis di Tanah Banjar ini sesuatu yang berbeda dilakukan etnis lain yang sangat bangga dengan kebudayaannya bahkan melampaui tanah leluhurnya.(Idabul, 25 januari 2010)Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-42748287669174216582013-10-03T06:58:00.002-07:002013-10-03T06:58:54.749-07:00Calon BayanganOleh: Taufik Arbain<br />
Yang namanya bayangan adalah sesuatu yang abstrak, tidak nyata. Bayangan atau humbayang adalah sesuatu yang menyerupai tepat berada diantara kita, kemana diri kita ada disitu dia berada. Penjelas sederhana adalah ketika berada di suatu tempat, kemudian terkena suatu sinar, kemudian pantulan sinar tersebut akan membentuk bayangan diri kita.<br />
<a name='more'></a><br />
Bayangan akan berbeda makna dan tafsir ketika dalam konteks berbeda. Kata bayang akan berbeda makna jika dibentuk teks “dibayang-bayangi” lebih bermakna negatif bagi seseorang untuk merebut sesuatu semisal membawa bola karena teks dibayangi menjadi penghalang bagi gerakan seseorang mencapai gol.<br />
Dalam konteks politik istilah calon bayangan justru sesuatu bagian dari pihak yang melakukan rekayasa untuk menggolkan dirinya dalam merebut kekuasaan. Calon bayangan dalam demokrasi dijadikan pembenar untuk memastikan secara simbolik dan prosedural bahwa demokrasi telah memenuhi unsur-unsur ideal dimana pertarungan antar pihak telah dilewati dengan proses bertanding secara fair.<br />
Hadirnya calon bayangan biasanya sengaja dihadirkan, ketika tak siapa pun yang menjadi competitor dalam proses demokrasi untuk merebut kekuasaan, agar memudahkan bagi pihak yang ingin melenggangkan kekuasaan. Atau calon bayangan sengaja disiapkan dalam kontek memecah suara pihak lawan lainnya sehingga persentase perolehan pihak lawan kecil dan tidak memenuhi syarat untuk bertanding, apabila ada ketentuan 2 putaran sebagaimana diatur dalam mekanisme aturan main.<br />
Parahnya jika pembentukan calon bayangan setelah dilakukan penghajaran terhadap calon lain, semisal melakukan monopoli terhadap dukungan partai sebagai prasyarat dukungan, atau juga melakukan rekayasa di tingkat KPU untuk menghalangi tidak memenuhi syarat-syarat lain. Ini biasanya apabila ada calon lain yang dianggap sebagai lawan yang kuat dan berbahaya bagi proses kemenangan dirinya. Biasanya dalam rekayasa besar ini selalu diselesaikan dengan kekuatan duit.<br />
Monopolisitik atas dukungan partai dan adanya rekayasa calon bayangan misalnya sebagai bentuk-bentuk paradoks demokrasi. Dimana ada situasi proses dipilih dan memilih tetapi ada bagian tertentu dari demokrasi hanyalah prosedural yang jauh dari subtansi demokrasi itu sendiri. Huntington dalam pandangannya jauh-jauh hari telah melihat bahwa akan terjadi dalam proses demokrasi di abad kini apa yang disebut dengan paradoks demokrasi tersebut.<br />
Hadirnya calon bayangan merupakan bentuk-bentuk korupsi kekuasaan dan politik yang mendustai rakyat. Pembajakan dan penjarahan demokrasi sebelum dilakukan pencoblosan saja telah dilakukan oleh elit partai politik, justru dalam prosesnya semakin parah diikuti dengan kebohongan publik yang luar biasa. <br />
Sementara tampilan di hadapan publik seakan-akan pihak-pihak yang paling saleh dengan menghadirkan tuan guru, ulama dan para habaib untuk melegitimasi dan menghipnotis rakyat bahwa dirinyalah pemimpin yang paling mencintai ulama dan siap memegang amanah rakyat. Campur aduk peran dari seorang pembohong dan seorang yang dicitrakan paling saleh bergumul menjadi satu dalam proses demokrasi untuk merebut kekuasaan.<br />
Seorang teman bertanya, kalau fakta politik dan proses demokrasi seperti siapakah yang paling bodoh kata teman saya? Teman saya yang lain menjawab, ya… tentu saja rakyat yang bodoh karena telah dibodohi dan sangat jauh diupayakan pendewasaan politik rakyat. <br />
Lalu teman saya yang lain berucap, bahwa para tuan guru dan ulamakah yang bodoh, karena tidak pernah paham bahwa ilmu pengetahuan yang mereka miliki tidak mampu menakar ulang dan menafsir apa yang dilakukan seseorang yang minta dukungannya secara moral dan emosional telah melakukan kebohongan pada dirinya dan rakyat?<br />
Saya justru mengatakan, yang paling bodoh adalah justru seseorang yang telah melakukan kebodohan dan kebohongan dalam proses demokrasi dengan cara menghalalkan segala cara. Pandangan bagi orang yang sejalan, boleh jadi orang ini paling cerdas karena punya strategi jitu, tetapi bagi pihak lain justru inilah seseorang yang senyatanya ber-IQ jongkok.(Idabul 11 April 2010)Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-19957366586037929112013-10-03T06:58:00.001-07:002013-10-03T06:58:37.379-07:00Debat KandidatOleh: Taufik Arbain<br />
Tradisi Debat bagi seorang yang ingin menjadi pemimpin baik Kepala Daerah atau instansi publik lainnya di Indonesia termasuk sesuatu yang masih baru. Tradisi fit and profer test dari Amerika Serikat ini, bagi seseorang ini merupakan ajang mengkomunikasikan pikiran, gagasan, visi dan misi dari seseorang sehingga terukur apa-apa yang mau diwujudkannya, apakah rasional atau sekadar utopia belaka.<br />
<a name='more'></a><br />
Dalam konteks pilkada pelaksanaan debat kandidat ini bertujuan untuk memberikan pencerdasan politik bagi masyarakat. Sebab setiap pasangan calon diberikan waktu untuk memaparkan visi-misinya kepada masyarakat. Dengan adanya hal ini, masyarakat dapat menentukan pilihan pada saat pelaksanaan Pilkada, dan tentu saja “kada tatukar kucing dalam karung”.<br />
Seseorang setidaknya yang ingin menjadi pemimpin dapat diuji kemampuan, kecerdasan cara berpikirnya lewat kegiatan debat kandidat ini, dimana seseorang tidak sekadar nampak performa fisik saja, tetapi emosinalnya dan pikirannya dalam berargumentasi. Ini memastikan bahwa seseorang yang ingin maju dalam perebutan kekuasaan, bukanlah sekadar boneka dari sekelompok elit hanya karena kemampuan vote gether-nya (lihat para artis), tetapi kemampuan dan kestabilan emosinya dalam pengambilan keputusan.<br />
Dalam hal ini, bahwa sang kandidat tidak bisa asal bicara saja apa yang dipaparkan dalam visi dan misinya, tetapi akan terus mendapat tanggapan dan dari panelis untuk menguji keterukuran mimpi-mimpinya dalam tujuan mensejahterakan masyarakat. Tentu saja panelis dimaksud adalah penelis professional.<br />
Dalam minggu terakhir ini saya agak terkejut bercampur geli, adanya pernyataan anggota KPUD Kalsel yang menyebutkan bahwa; di Kalsel ini banyak yang bisa menjadi panelis, tetapi sangat sedikit yang tidak menyodotkan kandidat. JUga tidak terlibat dalam tim sukses salah satu calon, dan nama-nama panelis dirahasiakan serta dikonsultasikan dengan para kandidat apakah bisa diterima atau tidak sebagai panelis.<br />
Penyataan terakhir ini sangatlah lucu sekali. Kenapa? Bahwa KPUD telah menempatkan dirinya bukanlah sebagai lembaga independen dan merdeka dalam menentukan dan membuat setiap keputusannya. Ada sesuatu yang kontraproduktif dari cara berpikirnya, bahwa jika nama panelis dirahasiakan, tetapi ada ruang dikonsultasikan kepada kandidat! Ini artinya sangat memungkinkan bagi kandidat untuk mencoret atau tidak menyetujui panelis yang menurut ukuran “rasa” kandidat akan merugikan dirinya karena kekritisan pertanyaan dan tanggapannya.<br />
Lalu sebenarnya pola dan bentuk panelis bagaimana dikehendaki KPUD? Atau sekadar seremonial dari instrument demokrasi saja? Bukankah maksud debat untuk membedah visi dan misi, bukan sekadar gagah-gagahan. Justru KPUD telah melakukan paradoks demokrasi itu sendiri. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana anggota KPUD sangat tidak berwibawa membawa map mendatangi calon kandidat untuk konsultasi minta persetujuan nama panelis.<br />
Dimanakah sebenarnya indikator penting fungsi seorang panelis yang dimaksudkan KPUD Kalsel? Bukankah panelis yang disiapkan adalah independen, memiliki integritas kapabilitas, tanpa melihat tua-muda, dan relatif dikenal publik setiap analisanya. <br />
Justru jika diluar konteks itu dan mengedepankan panelis hasil persetujuan kandidat adalah lucu dan acara debat ya..datar-datar saja, tidak ada bahan yang bisa dikupas mendalam sehingga masyarakat bisa memahami visi-misi yang selama masa kampanye masih di awang-awang. Padahal maksud debat kandidat sangat efektif untuk melihat dan mengukur kemampuan para calon, baik calon walikota, bupati hingga Gubernur, sehingga masyarakat juga dapat melihat dan memberi penilaian.<br />
Memang diakui debat kandidat bukanlah indikator determinan keberhasilan pelaksanaan demokrasi dan gambaran kemampuan seseorang dalam memimpin, tetapi paling tidak cara berpikir yang keliru dalam memahami subtansi debat kandidat dari pernyataan salah satu anggota KPUD Kalsel adalah bentuk kemunduran berpikir dan mekanisme pra debat kandidat, apalagi sampai ada ancaman pidana jika dikategorekan memojokkan. Lalu bagaimana kategore pemojokan yang sampai ke ancaman pidana?<br />
Kalau sampai terjadi pemojokkan dan masuk kategore pidana, justru pihak KPUD lah yang tidak akurat dalam memilih panelis. Ataukah jangan-jangan agar debat kandidat berlangsung datar-datar saja sekadar menghabiskan anggaran yang besar. Kalau demikian, namanya bukan Debat Kandidat, tetapi Tatawaan Kandidat dengan biaya yang mahal.Terlalu kata Rhoma Irama.(Idabul, 18 April 2010)Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-64679915268219833612013-10-03T06:50:00.000-07:002013-10-03T06:50:40.895-07:00Cubitan Politik di Ring Setengah ((Catatan kecil Buku Wisnu: Pak Beye dan Politiknya; Pak Beye dan Istananya)Oleh: Taufik Arbain <br />
<br />
Pengantar<br />
Saya kaget membaca buku ini. Kenapa? Sebagai orang yang berada di Ring 500 (begitu saya menyebutnya) tidak akan banyak memahami sesuatu yang remeh-temeh dan tidak penting berada dibalik politik orang nomor satu di republik ini dalam merebut kekuasaan termasuk mempertahankan kekuasaan. Catatan Mas Wisnu sebenarnya memberikan masukan berarti terhadap perkembangan ilmu politik khususnya strategi pemenangan perebutan kekuasaan dalam versi Indonesia bagi politisi lokal dengan cara gampang dipahami dan futuristik, ketimbang menimba ilmu ke Amerika atau membayar mahal konsultan politik yang belajar banyak dari praktek pemenangan pemilu di Negara-negara maju. <br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Dalam konteks ini Mas Wisnu justru menawarkan perspektif baru bagi politisi Indonesia yang lagi “mabuk” dalam memahami politik lewat tulisannya “yang tidak penting” ini dengan uraian yang lugas disertai dengan foto yang terkadang fotonya duluan, tulisannya belakangan atau justru sebaliknya. Setidaknya, Mas Wisnu menghantarkan ketidakterpakuan dan statis memahami politik negeri ini dalam sebatas perspektif ; who gets what, when, how.<br />
<br />
Ada 2 hal yang menarik dicermati dari catatan Mas Wisnu ini; pertama, buku ini ingin mengabarkan sesuatu dibalik sesuatu berkaitan dengan strategi perebutan kekuasaan lewat cubitan-cubitan genit terhadap tingkah polah politik Pak Beye, ketimbang mengabarkan dalam analisa berat yang tidak berbasis Pak Mayar (symbol koalisi kerakyatan) . Namun demikan tulisan ini sebenarnya menjadi rangkaian menarik saling terintegrasi antar variable yang justru sangat membantu dan menginspirasi dalam mempetakan bagaimana politik SBY “dimainkan”, sekalipun Wisnu hanya sebagai pihak yang berada di luar “badan Demokrat dan underbouwnya”, lewat kegenitan tafsirnya dan jepritan foto pendukungnya.<br />
<br />
Saya ingin katakan, siapa yang mengira jilbabnya Andi Nurpati yang anggota KPU bisa dibaca multi tafsir ? Siapa yang mengira keringat Pak Beye berkucuran saat kampanye bisa dimaknai sebagai tafsir “Siap Berkeringat Untuk Rakyat”. Siapa yang mengira bahwa berdos-dos gelas mineral dan baju teluk belanga di pelosok desa sebagai tafsir massif dan sistemik perebutan kekuasaan yang dilakukan Pak Beye? Siapa yang mengira ribuan spanduk yang terpasang dari Tim Pemenangan Demokrat menyatakan TNI, POLRI, PNS dan anak-anak dilarang Kampanye sebagai kamuflase politik? Siapa yang mengira kemenyam Jogja dan Majelis Zikir bisa bergandengan tangan dalam memenangkan pertarungan? Siapa yang mengira menyambangi pembuat tahu dan atau makan siang di warung rakyat sebagai bentuk pencitraan kedekatan pemimpin dengan rakyat. Siapa yang mengira sisa-sisa logistik dan atribut kampanye berlebih sebagai tafsir besarnya suplai dana, kalau tidak ingin menyebut bahwa kekuasaan mahal?......Mas Wisnu sekali lagi menawarkan tafsir-tafsir baru bagi pembaca sesuai dengan orientasinya. Bagi para politisi adalah informasi yang murah untuk diterapkan dalam merebut kekuasaan. Bagi konsultan metode baru dalam mengolah strategi pemenangan. Bagi rakyat biasa…….ya ternyata kekuasaan itu bukan politik biasa. <br />
<br />
Tulisan yang menginspirasi ini saya kira mencoba menandingi karya Lionel Zetter dalam The Political Campaigning Handbook; Real life lesson from the front line, untuk sekali lagi menjelaskan pola, taktis, strategi, konstruksi sel-sel/jaringan politik, sel-sel suplai dana tanpa menyebut nama sebagaimana model-model tuduhan yang sering kembangkan terhadap teroris. Strategi memainkan pemangku keagamaan yang selama ini pernah dikembangkan Golkar, PPP dan PKB zaman Gus Dur, dan tetapi tidak massif politik pak Beye. Inilah kemampuan Pak Beye membaca zaman musim “zikir ala Arifin Ilham”, padahal partai yang berhaluan nasionalis. <br />
<br />
Kedua, sangat nampak syahwat politik Pak Beye (sekalipun tergantung penafir) yang luar biasa, bahwa pukulan-pukulan dari lawan tidak menyurutkan Pak Beye untuk tetap bertahan di istana. Informasi Mas Wisnu justru menjelaskan adanya model perilaku politik yang combinating dari unit analisis individu aktor politik, agregasi politik dan tipologi kepribadian politik pada diri Pak Beye dan timnya. Bahwa Fox Indonesia sebagai penyuplai “jamu syahwat”, mengedepankan politik pencitraan.<br />
<br />
Kata, “telah” adalah teks dahsyat yang dikembangkan FI untuk menegaskan pencitraan Pak Beye dari Istana. Giliran penggunaan kata “ akan” maka yang akan melakukan komunikasi kepada rakyat adalah Pak Kalla, apakah akan dinaikan BBM, akan dikonversikan minyak tanah ke Tabung Gas Elbiji termasuk akan meledak. Pak Kalla menjebakkan diri sebagai bumper istana yang keuntungannya diraup Pak Beye. Pilihan kata dan tema oleh Pak Beye untuk menjadikan sebagai tema yang hipnotik guna mempertahankan persepsi atau merubah persepsi lewat BBM telah Turun Ibu-Ibu. Sekali lagi tulisan Mas Wisnu sama saja berujar,..” hati-hati wahai wakil Kepala Daerah dalam memilih teks Akan atau Telah jika ingin melanjutkan kekuasaan”.<br />
<br />
Dalam konteks politik pencitraan atas nama istana, misalnya Pak Beye mengedepankan pencitraan populis, bahwa disisi lain Pak Beye berjuang dalam penegakkan HAM dan hukum di Indonesia terutama korupsi, tetapi di sisi lain terjadi pembiaran terhadap kasus-kasus bentrukan pluralism dengan mengikuti tafsir-tafsir kebenaran tirani mayoritas atas kelompok lain. Akhirnya pencitraan model demikian dalam politik Pak Beye justru melahirkan keraguan pihak aparat hukum Kepolisian dalam menindak keberadaan FPI.<br />
<br />
Aman, Adil dan Makmur sebagai visi Pak Beye dikembangkan dalam politik pencitraan yang massif untuk menuju pertarungan perebutan kekuasaan kedua. Pak Beye nampaknya meyakini bahwa Negara harus mengedepankan keamanan yang stabil, maka politik pencitraan adalah tidak ada konflik/ketegangan di republik. Pencitraan ini justru ambigu, di masyarakat urban misalnya pendekatan HAM dan toleransi berlaku, namun di daerah yang jauh dari “jangkauan” istana berkaitan dengan investasi sumberdaya alam dan kepentingan ekonomi capital seperti Papua dan Kalimantan justru doktrin NKRI menjadi momok bagi anak bangsa yang lain. “ Lebih baik pulang nyawa, daripada gagal dalam menjalankan fungsi keamanan”, akibatnya tindakan represif menjadi pembenar terhadap anak bangsa yang lain. Inilah saya kira strategi yang terantuk dalam model politik pencitraan Pak Beye.<br />
<br />
Pak Beye dan Istananya, menarik melihat hal-hal yang memang sulit bagi orang tahu tentang apa aja kejadian di dalamnya. Paling tidak selama ini dipahami istana merupakan symbol kekuasaan, dan Cium Tangan adalah symbol bakti, sebagaimana dilakukan Ketua Umum PWI. Podium kenegaraan di istana adalah kewibawaan seorang pemimpin negeri, tak luput juga mendapatkan jepritan Wisnu. Saya membayangkan dipastikan banyak orang siapa pun dia akan senang berfoto-foto yang menjadi symbol istana , termasuk di podium kenegaraan. Sangat mungkin pengkabaran-pengkabaran demikian ingin menegaskan perilaku manusia sebagaimana teori Hirarki Kebutuhan, tidak sekadar milik rakyat yang suka foto-foto di sekitar tempat wisata , tetapi juga milik pejabat sekitar istana bahkan pejabat-pejabat daerah termasuk mungkin juga para Kepala Daerah. Akhirnya memang tradisi-tradisi serta peristiwa apa saja yang terjadi, menarik ditiru oleh orang-orang yang mengelola istana-istana di daerah.<br />
<br />
<br />
<br />
Penutup<br />
<br />
Mas Wisnu sekalipun sebagai jurnalis istana yang meliput dan menyingkap di sekitar kekuasaan… belum terungkap Mas Wisnu melakukan interaksi perbincangan dengan Pak Beye dari sekian tulisannya di luar tugas kejurnalisannya layaknya orang ring satu Pak Beye. Tentu saja moment seperti ini pasti tidak dilewatkan penulis sekelas Mas Wisnu. Mas Wisnu hanya merekam apa yang dilihat, lontaran kalimat Pak Beye kepada objek kemudian menganalisa, merekamnya dengan foto. Lalu Mas Wisnu berada di ring berapa? Luar biasa, Dahsyat, Yes, Yes Yes.<br />
<br />
Banjarmasin, 30 Oktober 2010<br />
Disampaikan dalam Bincang Buku yang difasilitasi oleh Banjarmasin PostTaufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-69303922865648844712013-10-03T06:36:00.001-07:002013-10-03T06:36:51.076-07:00Perda Retribusi MirasOleh: Taufik Arbain<br />
Nampaknya genderang perang antara eksekutif dan legislative Kota Banjarmasin mulai ditabuh. DPRD Kota tetap “ ngotot” untuk tidak menyetujuai raperda retribusi miras dengan alasan tidak mau anggaran pembangunan Kota Banjarmasin dari “uang haram”.<br />
<a name='more'></a> SEderhananya uang yang didapatkan dari kegiatan haram atau membuat dampak warga semakin mudah mengkonsumsi minuman keras secara mudah. <br />
Malah dewan melakukan tindakan sebaliknya dengan mengedepankan raperda yang pengendalian peredaran miras itu sendiri. Tentu saja controversial dengan keinginan pemkot yang mengharapkan pengendalian justru mengedepankan adanya restribusi yang diterima sebagai PAD. Sebagaimana diungkapkan Sekdakot H Zulfadli Ghazali, bahwa jika DPRD membatalkan raperda tersebut, maka hal itu berdampak pada proses pengawasan yang sulit dikendalikan termasuk melakukan penindakan. Bahkan Pemkot tidak ada maksud mengambil manfaat dengan adanya retribusi tetapi tujuannya untuk mengontrol.<br />
Lho, kok begitu? Begini saja, hampir 90% naskah akadamik yang mengedepankan kajian tentang pungutan, pendapatan, retribusi dan apa pun namanya yang berorientasi pada kepentingan pemanfaatan kegiatan dengan hasil akhir adalah PAD, substansinya adalah proyeksi pendapatan dari aturan yang dibuat dan dibebankan pada objek kegiatan.<br />
Contohnya soal retribusi miras. Logikanya adalah semakin tingginya peredaran semakin tingginya pendapatan, kemudian semakin rendah peredaran miras semakin rendah pendapatan. Nah, bukankah tujuan Pemko menekankan substansi retribusi dalam raperda itu? Maka pilihan logikanya adalah semakin tingginya peredaran semakin tingginya pendapatan sebagai tujuan akhir. Adalah nonsen jika alasan mengedepankan pengawasan atas peredaran, bukankah semakin diawasi peredaran tujuannya untuk pengurangan peredaran yang berefek rendahnya pendapatan retribusi?<br />
Justru saya kira DPRD malah sebaliknya, tidak sekadar melihat aspek penerimaan “uang haram” dari kegiatan haram, tetapi lebih jauh dampak dari kebijakan itu sendiri. Pemko nampaknya hanya berpikir pada batasan mendapatkan PAD dari retribusi saja titik, tetapi tidak melihat dari tujuan utama pemerintah memberikan rasa nyaman warga. Pemko masa bodoh apakah warga terlibat dalam patologi sosial, tindak kekerasan akibat minuman berakhohol atau tidak. Ini saya kira salah kaprah cara berpikir pihak Pemko yang tidak melihat hadirnya kebijakan berdasarkan masukan publik dan rasa keadilan publik dan kepatutan sosial sebagai mainstream pondasi sebuah kebijakan.<br />
Saya kira para pejabat di pemko, sekali lagi memahami visi-misi sang Walikota bagaimana janji politiknya membangun Banjarmasin yang beradab dan dengan nuansa religious termasuk diusung partai berideologi agama yakni PBR dengan tampilan dukungan para ulama dan habaib pada masa kampanye.<br />
Namun sayangnya, banyak sekali kebijakan yang dibuat bertabrakan dengan visi dan misi Walikota. Pertanyaannya apakah Walikota paham dengan visi dan misi yang dibuatnya, ataukah birokrat tidak mampu menterjemahkan ataukah memang sengaja karena ada kelompok kapital yang punya kepentingan atas bisnis mereka baik soal boleh bukanya THM maupun goalnya Raperde Retribusi miras ini. Ini yang oleh ahli kebijakan dan politik disebut dengan adanya oligarki kekuasaan dimana pola relasi antara penguasa, pengusaha saling berlirikan dengan aksi underground economy.<br />
Jadi saya kira, kalau pun ada produk kebijakan berkaitan dengan soal miras, justru fokusnya pada soal pelarangan dan pengendalian peredaran saja, bukan soal retribusi. Sebab perda retribusi miras malah tujuan utamanya memberikan ruang yang luas bagi peredaran miras itu sendiri, sementara hajat publik bahkan ormas-ormas yang ada bukankah pada masalah peredaran yang berdampak negatif selama ini? Jadi siapakah sebenarnya yang telah “menggoda” untuk ngotot adanya Raperda Miras ini? Rakyat Banjarmasin atau pengusaha? (Idabul Mata Banua, 8 Agustus 2011)<br />
<br />Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-4528084634894212612013-10-03T06:28:00.001-07:002013-10-03T06:28:45.085-07:00Langkah “genit” Menjemput 2014 Catatan Tantangan dan Harapan PPP KalselOleh Taufik Arbain<br />
Pengantar<br />
<br />
Samuel Huntington(1991) telah membentangkan pikiran cerdasnya tentang civil society, bahwa di banyak Negara, civil society dianggap sebagai aktor sentral dalam proses “demokrasi gelombang ketiga”. Dalam bahasa lain, kebuntuan politik dan peran partai dalam membawa perubahan dan pencapaian kebaikan masyarakat sebagaimana konsep partai politik dianggap tidak memberikan banyak manfaat luas bagi publik, sehingga kekuatan civil society dimaknai dalam promosi dan transformasi demokrasi di dalam masyarakat.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tidaklah mengherankan akhirnya banyak partai politik mengambil inisiasi dan adaptif terhadap trasformasi nilai-nilai dalam civil society ini menjadi bagian dari gerakan baru partai politik atas tren pandangan ini. Kehadiran konsep platform partai Nasionalis Religius salah contoh adaptasi terhadap tren civil society sesuai dengan “mass culture” yang ada di Indonesia. Faktanya adaptasi terhadap perkembangan global yang dilakukan oleh partai politik setidaknya mampu memberikan prestasi perolehan suara termasuk mempertahan suara konstituen.<br />
<br />
Gerakan merebut “mass culture” lewat adaptasi religius adalah pukulan telak bagi partai berbasis massa muslim. PPP, PKB dan PKS diantara dianggap sebagai saingan signifikan untuk ditumbangkan lewat gerakan adaptif yang didukung oleh tren civil society sebagai bagian dari demokratisasi bangsa ini.<br />
<br />
Prediksi provokatif Syamsuddin Haris misalnya bahwa keberadaan parpol Islam akan tamat di pemilu 2014, sebenarnya sebagai sebuah kritik signifikan untuk melihat perkembangan politik di masyarakat. Pemahaman kuantitas penduduk muslim Indonesia 85 %, tidak bisa lagi dijadikan dasar untuk melakukan tumpuan harapan bagi partai Islam, demikian pula di Banua yang penduduknya mencapai 95 % muslim, tidak bisa dijadikan sandaran potensial merebut suara untuk pemilu 2014. Transformasi pola pikir modern dan urbanize menjadikan konstituen lebih terbuka melihat paham-paham dan jargon partai lain yang lebih rasional. Pikiran ini sebenarnya terus bergerak dan berkembang untuk melakukan kritik pada institusi formal dan informal selama ini yang dipelihara dalam menyokong kemenangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kalsel. <br />
<br />
Langkah Strategis dan Politik Pencitraan<br />
<br />
Dalam tulisan ini saya ingin membentangkan beberapa pemetaan tantangan dan harapan partai politik lokal dalam kerangka menjemput pemilu 2014. Ini sekali lagi untuk menegaskan bahwa perbedaan relatif signifikan pemetaan PPP pusat dengan PPP banua. Jika banyak anggapan bahwa PPP pusat disibukkan dalam tataran latar belakang pengurus pusat sebagai warisan orde baru adalah penyumbang masalah dalam perolehan suara, saya kira justru di PPP Banua tidak mendapat warisan demikian, sehingga memudahkan dalam pencapaian-pencapaian strategi yang bersifat eksternal partai.<br />
<br />
Ada 7 catatan strategis dalam mempetakan tantangan kedepan sebagai sebuah langkah “genit” PPP Kalsel; Pertama, PPP Banua tidak perlu lagi terlena oleh anggapan adanya massa fanatik, penyusupan symbol ideology yang didasarkan pada geografis politik aliran saat ini sedang dan telah dikembangkan oleh partai berhaluan nasionalis . Hadirnya Majelis Zikir SBY oleh Partai Demokrat misalnya sekalipun hal itu berkaitan dengan kepentingan Pilpres, dan lahirnya Baitul Muslimin Indonesia (BMI) oleh PDIP, adalah gerakan-gerakan adaptif yang dikembangkan kompetitor hingga berlangsung di banua yang diikuti dengan rasionalitas “gerakan” harapan kesejahteraan. <br />
<br />
Tren adapted “mass culture” ini, telah dipetakan pihak kompetitor untuk mengimbangi perlawanan atas hati konstutuen. Hasil pemilu dan pemetaan konsistensi elektabilitas konstituen maupun pilihan konstituen atas Calon Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota menegaskan konstituen tidak lagi terperangkap dalam pendekatan ideology yang kaku, tetapi melihat aspek rasionalitas pendekatan-pendekatan baru. Untuk itu, perubahan mainset kader berorientasi pada gerakan inklusif, yang tidak terpaku pada merek Islam. Jika selama ini PPP Kalsel pada gerakan pendekatan lama adalah perlu ditakar ulang kembali untuk memulai berorientasi pada pendekatan kebangsaan dan isu rasionalitas harapan kesejahteraan, sebagaimana model yang diterapkan oleh kompetitor dengan melihat aspek geogafis politik. Sebab paradigma bagi partai competitor nasionalis adalah penduduk muslim bukanlah milik partai Islam, tetapi partai nasionalis dengan pendekatan Islam bisa merebut simpati konstituen.<br />
<br />
Kedua, boomingnya nakhoda partai dari kelompok kapital banua saat ini adalah tantangan berat dalam perebutan suara 2014. Indikator pemimpin partai diranah lokal justru tren mendapatkan peringkat pertama adalah seseorang yang memiliki sumber financial yang cukup untuk membiayai partai, dibandingkan dengan kemampuan manajerial, jaringan dan pengalaman kader. Akibatnya partai-partai kompetitor mengembangkan proses defektif democracy (pencacatan proses demokrasi).<br />
<br />
Pemetaan geografis politik atas kawasan-kawasan yang memilik competitor jenis demikian, bahwa mempetakan profile konstituen lewat keberagamaan, usia pemilih dan pekerjaan tidaklah cukup. Ianya harus dilakukan pengkajian mendalam untuk melumpuhkan symbol-simbol dan aksi-aksi yang dimainkan partai kompetitor, termasuk menafsirkan ulang jargon-jargon kampanye yang berbau syariat. Pendekatan kepada blok-blok demokratik yang melakukan penentangan terhadap defektif democracy ini penting untuk dilakukan sekaligus menjadikan blok itu sebuah frontline menyerang kompetitor lawan.<br />
<br />
Ketiga, Pencitraan PPP yang berkharisma dan berkuasa hampir 2,5 priode kepemimpinan Kepala Daerah adalah investasi politik pencitraan yang harus tetap dipelihara kader partai. Dengan bahasa lain, sekalipun PPP Kalsel dipahami sebagai partai tradisional dengan segala pendekatan dan gerakan, telah mampu memberikan kontribusi kepemimpinan banua sekelas kelompok-kelompok nasionalis yang dianggap lebih progresif dalam persepsi publik Kalsel selama ini. Ini juga harus dimaknai perilaku elit-elit parpol yang harus tetap santun dan pro kepentingan rakyat, terhindar dari pencederaan amanah.<br />
<br />
<br />
Keempat, Pengembangan aksi-aksi sayap-sayap PPP berorientasi pada non kader sebagai sebuah gerakan inklusif sehingga tidak termaknai sebagai kegiatan politik, tetapi kegiatan kemasyarakatan. Ini dimaksudkan untuk melakukan inisiasi atas dialog-dialog lintas golongan dan profesi terhadap masalah-masalah kebangsaan dan kebanuaan. Gerakan ini mencoba menyaingi gerakan PKS yang berorientas ganda, yakni gerakan dakwah dan gerakan kemasyarakatan untuk menyembunyikan orientasi simpatik pemilih. Pilihan atas aksi ini untuk melalui pergulatan pada basis massa pinggiran dan tradisional sebagai bentuk membangun pencitraan baru dan perilaku pemilih. Langkah ini sekaligus mengkomunikasikan kinerja dan manfaatnya kepada publik yang lebih luas. <br />
<br />
Kelima, Filterisasi kader baru PPP tetap mengedepankan ekslusifisme. Sorotan public atas banyak figure yang melakukan lompat pagar menjadi image negatif terhadap kharisma partai. Penerimaan kader baru “sisa orang lain” ini, justru menjadi benalu dan persepsi partai yang mengedepankan ‘siapa membayar apa, dan dapat apa”. Lebih dari itu terjadi proses penghambatan membangun tokoh-tokoh baru kader yang populis, akseptabel dan elektabel. <br />
<br />
Keenam, Globalisasi yang menawarkan instrument komunikasi massa sebagai sebuah ujung tombak membangun mainset dan perilaku pemilih berbagai strata sosial. Ideologi, pembelajaran politik, dan aksi-aksi partai dalam bingkai komunikasi massa penting untuk dilakukan kader partai. Untuk itulah keberanian memainkan manuver-manuver yang berpihak kepada konstituen saat ini memiliki pengaruh signifikan terhadap pencitraan partai dan personal kader partai. Langkah ini mencoba menerobos aksi-aksi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh populis pada partai competitor dalam memaknai masalah kebangsaan dan kebanuaan.<br />
<br />
Ketujuh, kepemimpinan PPP Kalsel harus memasuki pada tahapan penguatan gerakan, arah dan misi partai sertai kapasitas kader pengurus. Penentuan pilihan terhadap pimpinan partai kedepan jangan terpaku pada figure yang baru menjangkau mengurusi manajemen dan organisasi serta pengembangannya, sehingga habis energy tanpa memperhitungkan jangkauan dan strategi kedepan. Dengan kata lain dibutuhkan pemimpin PPP yang handal dan professional dan ahli strategi dalam mengakomodasi semua kekuatan dan paradigma baru partai.<br />
Penutup<br />
<br />
Tantangan PPP Kalsel setidaknya tidak terpaku pada gerakan-gerakan lama yang mengandalkan pada basis massa tradisional dimana factor globalisasi dan taraf pendidikan yang semakin baik, serta transformasi paham demokrasi memungkinkan mereka menentukan pilihan pilihan baru. Untuk itulah pemetaan terhadap masalah dan pengembangan politik pencitraan penting dilakukan oleh kader partai yunior, tidak terpaku pada kader senior saja.<br />
<br />
Banjarmasin, 13 November 2010<br />
Disampaikan pada Acara Rakorwil PPP Kalsel, Minggu 14 November 2010, Hotel Grand Mentari BanjarmasinTaufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-82182449811806622602013-10-03T06:26:00.001-07:002013-10-03T06:26:42.394-07:00Menakar Pemilu Kepala Daerah Provinsi Catatan Kecil Wacana Pemilihan Kepala Daerah Provinsi lewat Lembaga Legislatif<br />
Oleh: Taufik Arbain <br />
<br />
Pengantar<br />
Bangsa ini adalah bangsa percobaan, khususnya dalam ranah politik. Dimana sistem kepartaian, sistem pemerintahan bahkan sistem pemilihan dalam pemilu Kepala Daerah selalu melewati proses dan tahapan diikuti dengan konsekuensi dan implikasi demokrasi yang berlaku kekinian. Perubahan-perubahan ini harapannya untuk meraih demokrasi yang ideal (substantive democracy), <br />
<a name='more'></a>yang memberikan pencerahan dan kebaikan bagi warga dan elit. Dalam bahasa Heller (1971) justru bagaimana demokrasi diletakkan pada konsep Negara kesejahteraan dan keadilan sosial, bahwa demokrasi tidak hanya ada proses seleksi elit pemerintahan tetapi harus ada jaminan kelembagaan wakil-wakil rakyat di parlemen (legislative) yang dipilih secara demokratis menjalankan prinsip-prinsip ideal kepentingan rakyat. <br />
Wacana pemilihan Kepala Daerah kembali ke ranah parlemen, saya kira menarik dengan meminjam rujukan dari Heller tadi. Bahwa selama ini pemilihan Kepala Daerah secara langsung memang memiliki implikasi yang bagus dalam mendorong partisipasi publik terlibat dalam politik dan legitimasi kedaulatan rakyat. Sebagaimana pandangan Bryan Smith (1985) tujuan pemilu kada langsung sebenarnya adalah untuk menciptakan pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif serta terbangunnya persamaan hak politik di tingkat lokal. Pandangan inilah akhirnya mendorong terjadinya “sale besar” pendekatan demokrasi langsung dan “cuci gudang” demokrasi tidak langsung (parlemen). <br />
Pada perkembangannya “sale besar” demokrasi langsung ini dielu-elukan oleh rakyat bahwa dirinya memungkinkan untuk memilih elit pemerintahan tidak lagi sekadar suaranya “dibajak” oleh oleh wakil rakyat sebagaimana sebelumnya, tetapi memilih sesuai hati dan nuraninya bahkan bertemu langsung dengan sang elit dan tim sukses. Rakyat memungkinkan melakukan barganining position untuk melakukan kontrak-kontrak politik sekalipun cenderung inkomprehensif termasuk melakukan langkah-langkah transaksionis. Namun, pada perkembangan pasca pemilu kada, justru proses transaksional berkembang lagi di tataran elit yang memberikan implikasi pada keputusan-keputusan kebijakan publik (public policy). Akhirnya pemilu kada hanyalah sebuah “pesta transit rakyat” dalam pergumulan hiruk-pikuk aksesoris demokrasi. Pencapaian ideal dari tujuan sebagaimana pandangan Heller dan Smith hanyalah angan-angan belaka.<br />
Pertanyaannya, apakah jika pemilihan Kepala Daerah dengan pendekatan in direct democracy memungkinkan terbangunnya persamaan hak politik rakyat (pemilih) yang direpresentasikan lewat elit politisi (baca: anggota legislatif) ?<br />
Menakar Kembali Pemilu Kada Provinsi<br />
Perpindahan pemilihan yang semula dari ranah parlemen, kemudian ke ranah publik, kemudian diwacanakan ke ranah parlemen kembali memiliki implikasi yang tidak jauh berbeda baik implikasi politik, sosial maupun implikasi ekonomi. Namun demikian, pilihan tersebut sama-sama memiliki ruang untuk diperbolehkan. Dalam konteks ini, Undang-Undang Dasar memang tidak tegas memberikan syarat pemilihan terhadap Kepala Daerah sebagaimana Pasal 18 ayat 4 bahwa;” Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing kepala Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”, telah memberikan tafsir luas apakah mengikuti pendekatan direct democratis ataukah indirect democratis. Pilihan atas system ini tentu saja melewati proses dan perkembangan politik dimana tujuannya untuk menghajatkan keadilan, kebaikan dan transparansi serta implikasi positif terhadap pendewasaan politik rakyat dan dampak kesejahteraan (public policy). <br />
Ironisnya terkadang kebaikan dan kesejahteraan dimaksud hanya pada tataran elit saja, sebuah dampak dari cara keduanya yang melakukan “tagihan-tagihan politik” . Kajian yang dilakukan Hidayat (2008) sebagaimana mengutif pendapat Case, pemilu Kepala Daerah yang dilakukan dengan direct democracy memungkinkan terjadi implikasi negatif, hal ini karena tidak diterapkannya asumsi substantive democracy. Asumsinya adalah dimana bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, transaparan an responsive akan mendekati mendekati kenyataan jika perilaku ideal demokrasi terbentuk di kalangan elit penyelenggara pemerintahan maupun dalam tataran pemerintahan.<br />
Lalu bagaimana dengan pemilihan indirect democracy hanya pada level Kepala Daerah Provinsi saja? Saya akan melihat fakta ini dalam perspektif politik dan aras demokrasi. <br />
Pertama; bahwa sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang posisi Pemerintah Provinsi adalah wakil pemerintah pusat, sedangkan kabupaten/kota merupakan daerah otonom dengan segala unsur, salah satunya urusan pemerintahan pelayanan publik berhubungan langsung dengan masyarakatnya. Ini jelas memberikan konsekuensi bahwa kinerja pemerintahan terdekat dengan rakyat pemilih akan mudah dinilai oleh rakyat pemilih yang memiliki otoritas selektif dan kontrol atas kebijakan pemerintah sehingga memungkinkan melakukan sanksi-sanksi kepada kandidat atau partai pengusung jika melakukan kompetesi kembali. Kekuatan kontrol ini merupakan partisipasi dan kedewasaan politik rakyat, sekalipun sebagaimana menurut Robert Dahl, partisipasi model demikian pada masyarakat berkembang bukanlah merupakan jaminan yang kuat dan handal. Sementara penilaian kinerja Kepala Daerah Provinsi relative tidak bermakna, kecuali proses pemilihan karena faktor pencitraan dan prosedural demokrasi.<br />
Kedua, Pandangan yang mengedepankan efisiensi dana politik saya kira ada benarnya. Sekalipun sebuah demokrasi ideal tidak selalu diukur berdasarkan perspektif ekonomi, tetapi ketepatan kandidat yang dipilih dari representasi wakil rakyat yang memilih. Jika pandangan ini diikuti oleh kemampuan politisi yang cerdas dalam menempatkan atau merekrut kandidat Kepala Daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dengan mekanisme tertentu yang transparan tidak melulu pada politik transaksional, maka sebenar-benarnya efisiensi dan representasi hajat rakyat akan terpenuhi sebagai bagian dari proses demokrasi menuju pada demokrasi yang substantif. Sekalipun nyatanya perkembangan politik lokal terakhir, justru pada ranah ini melahirkan perlombaan merebut posisi nomor satu di lembaga politik formal (Arbain, 2011).<br />
Dalam konteks ini diakui, masih memungkinkan adanya peluang politik transaksionis baik dalam tahapan pemanfaatan perahu pengusung hingga personal pemilih (baca: wakil rakyat), dimana ada penanggalan transaksionis rakyat jika pada pemilu kada langsung. Setidaknya, kalaupun ada pencacatan demokrasi yang massif dan sistemik (defectif democracy) sebagaimana pemilukada langsung, tidak merasuk pada space yang luas tetapi pada space yang sempit, sebuah langkah pendewasaan politik rakyat ketimbang terlibat dalam dua kali proses defectif democracy yang berimplikasi pada rapuhya upaya membangun kedewasaan politik rakyat.<br />
Ketiga, pada saat pemilihan wakil rakyat via pemilu legislative di tingkat Provinsi harus memungkinkan adanya jaminan kelembagaan wakil-wakil rakyat yang dipilih untuk menjalankan fungsi-fungsi atas dasar prinsip kepentingan rakyat termasuk pemilihan kandidat Kepala Daerah. Pandangan ini ingin mereduksi bahwa , janji politik tidak sekadar berkaitan dengan soal kebijakan publik dan hal-hal menyangkut hajat orang banyak, tetapi menyangkut figur-figur yang akan dikompetesikan pada Pemilahan Kepala Daerah lewat Parlemen. Ini untuk menegaskan, penyerapan aspirasi bukan melulu hajat infrastruktur atau perda-perda dari usulan publik, tetapi berkaitan dengan aspirasi siapa saja yang akan diusung. Ini tidak lebih untuk memastikan agar semula demokrasi hanya melewati prosedural tetapi mencoba mengedepankan pada demokrasi yang bermakna. Disinilah akhirnya jangkauan kontrol pemilih saat pemilu legislatif menjadi lebih panjang dan luas, maka keraguan apakah hak politik rakyat (pemilih) akan terpenuhi setidaknya memberikan peluang kemungkinan ini<br />
Luasnya jangkauan pemilih sebagaimana dimaksudkan sebelumnya untuk memastikan demokrasi mayoritas. Bahwa wacana itu harus memungkinkan terbentuknya kelompok-kelompok kepentingan mandiri di luar lembaga politik formal sebagai bagian dari infra struktur politik. Tujuannya untuk menciptakan peluang formulasi presentasi dan pertimbangan yang sama dari preferensi warga masyarakat terhadap kandidat Kepala Daerah Provinsi. Ini pula menegaskan tidak ada istilah rakyat ditinggalkan dalam rangka mengamankan logika demokrasi. Wolfgang Merkel (2010) melihat fakta ini sebagai bentuk menjamin standar demokrasi dengan pemerintahan (wakil rakyat) yang tanggap dan bertanggung jawab. Langkah ini pun sebagai kritik terhadap wakil rakyat agar peluang pemilihan Kepala Daerah mengedepankan rasionalitas, bukan transaksionis dari kepentingan kelompok underground economy, sebagaimana tuduhan selama ini kepada rakyat pemilih.<br />
Penutup<br />
Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah Provinsi baik dengan system direct democracy ataupun indirect democracy merupakan pilihan yang dibuka ruangnya oleh Undang-Undang. Hanya saja faktor-faktor implikasi atas proses demokrasi tetap menjadi perhatian banyak pihak baik berkaitan dengan kapasitas pemilih (rakyat maupun wakil rakyat), jangkauan Kepala Daerah terhadap rakyat yang memilih, kemungkinkan hadirnya ketakutan-ketakutan adanya politik transaksionis, pemborosan anggaran Negara dan anggaran kandidat, dan upaya pendewasaan politik yang relative lamban. Namun demikian, politik adalah sebuah pilihan yang harus mengacu kepada kepentingan rakyat semata.<br />
<br />
Banjarmasin, 2 April 2011.<br />
Disampaikan pada Dialog Publik oleh BEM Fakultas Syariah IAIN Antasari, Aula Gedung PSB IAN Antasari Banjarmasin.<br />
<br />Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-71799238321803612222011-12-22T12:29:00.000-08:002013-10-03T07:43:34.394-07:00Kuasa DishubTulisan ini sengaja diberi judul sebagaimana diatas. Alasannya untuk memprovokasi aparat Dishub sejenak membaca sedikit pikiran saya yang ingin berbagi demi kepentingan publik. Kata teman saya itulah resiko orang yang ditakdirkan untuk berbagi pikiran, tidak melulu mengajar saja terus pulang.<br />
<br />
Sebenarnya persoalan ini sudah pernah diungkapkan. Bahwa pemerintah dalam hal ini Dishub harus melakukan kontrol terhadap para pedagang atau pemilik bisnis di pinggir jalan agar tidak menjadikan seperempat jalan raya digunakan untuk parkir orang berbelanja, <br />
<a name='more'></a>apalagi kawasan itu bukanlah sekitar pasar yang barangkali masih ada permakluman dan toleransi.<br />
<br />
<br />
Kritik yang pernah saya lontarkan dimana merupakan otoritas Dishub kota BAnjarmasin bahwa bagaimana bisa Minimarket Eva dan minimarket sejalur dengannya tidak memiliki lahan parkir? Sementara ruang untuk parkir di depan Tokonya justru ditaruh barang dagangan sehibak-hibak mungkin. Bukankah pengelola parkir di kawasan kota Banjarmasin lebih lebih di kawasan jalur utama berkoordinasi dengan Dishub? Saya kira ini sama dengan kritik saya dahulu berkaitan dengan kawasan ujung murung dimana ruang pejalan kaki dipakai meandak tilam dan dagangan lainnya.<br />
<br />
Kita tentu saja tidak ingin wibawa pemerintah yang ingin memiliki reputasi good governance harus tercoreng dengan dugaan mendapat upeti dari pemilik toko atau upeti lebih dari pengelola parkir, sehingga tidak mampu mengatasi persoalan pelayanan publik khususnya kenyamanan berkendara di jalan raya. <br />
<br />
Harapan kita tentu saja Pemkot harus memahami bahwa kota ini menjadi tujuan berbelanja banyak orang dari wilayah tetangga yang otomatis berkorelasi dengan tingginya jumlah kendaraan bermotor memadati kota ini. Fakta pertumbuhan jasa perdagangan mendorong orang menjadikan Banjarmasin sebagai pilihan. Hal ini justru harus juga diikuti dengan perbaikan pelayanan khususnya arus lalu lintas dan kenyamanan berkendara bagi warga dan tamu kota.<br />
<br />
Memahami pelayanan publik tidak sebatas bagaimana adanya pelayanan satu pintu atau satu atap, adanya jamkesmas, adanya e-KTP, adanya insentif bagi para RT, rindang dan indahnya taman kota, lancarnya drainase, tertanganinya sampah, tetapi juga menyangkut kenyamanan menikmati berlalu lintas. <br />
<br />
Kita tidak habis pikir, bagaimana bisa permohonan IMB juga tidak begitu ketat bagi bangunan yang ada dipinggir jalan dalam kegiatan perdagangan untuk menyediakan lahan parkir. Lebih-lebih pengelola parkir swasta seperti mendapat angin segar dan izin dari Dishub. Penanganan parkir dan kelancaran lalu lintas adalah bagian dari kebijakan publik yang meorientasikan bagi kepentingan publik itu sendiri. jadi kalau pebisnis dan pengelola parkir swasta seenaknya, lalu dimana pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan?<br />
<br />
Kata Pemerintah dalam perspektif administrasi negara artinya sebuah lembaga yang diberikan kuasa untuk memerintah, mengatur,menata, mengayomi dan melindungi warga yang memberikan kuasanya. Nah, kalau aparat pemerintah diperintah oleh sebagian kelompok yang menapikan kebaikan bersama, itu namanya pemerintahan telah dikongsi dengan kelompok itu tadi. urusan kongsi berkongsi biasanya berkaitan dengan berbagi keuntungan sepihak yang dikategorikan sebagai patologi birokrasi.<br />
<br />
Rupanya, kasus demikian tidak hanya terjadi di kawasan kota saja. Kemaren dalam perjalanan ke HUlusungai, ada warung pentol menjadi tempat singgah para sopir yang seenaknnya juga memarkirkan mobilnya. Para pedagang atau pemilik warung di kampung kampung demikian tidak memahami bahwa usaha yang tidak memiliki lahan parkir akan memacetkan lalu lintas dan hal itu bagian dari pengebirian terhadap hak hak publik. nah, disinilah sekali lagi Dishub sebagai bagian dari aparat pemerintah harus hadir untuk memberikan informasi dan kontrol terhadap penggunaan jalan umum yang salah. tentu kasus parkir minimarmet eva di kawasan km 1 sangat sengaja dilakukan. Berbeda dengan pewarung menuju hulusungai yang boleh jadi karena kekurangpahaman, ditambah perilaku sopir yang belum pernah mendapatkan arahan dari Organda (bisa jadi seumur umur menjadi sopir).<br />
<br />
Jadi saya kira, dengan semakin tingginya pertumbuhan kendaraan memadati jalan. Raya dan semakin membaiknya kondisi jalan, bukan berarti lahan parkir sembarangan dimanfaatkan oleh pemilik toko atau warung untuk kepentingan bisnisnya sebagaimana pula kasus antre BBM di SPBU. Mulailah kita mencintai masyarakat agar nyaman berkendara dengan menjalankan fungsi tugas sebaik baiknya dan wewenang yang luas diberikan untuk memberikan pelayanan lebih baik, sehingga kita menjadi bagian yang tidak mendorong masyarakat dalam pikiran kecurigaan dan ketidakbanggaan terhadap pemerintah.(diterbitkan di Idabul Harian Mata Banua, 19 Desember 2011)Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-86785007843735725352011-12-12T11:28:00.000-08:002013-10-02T22:06:33.208-07:00Ideham Chalid: Politisi Tahan Cuaca, Inspirasi Indonesia Oleh: Taufik Arbain“Manusia hidup tidak bisa melepaskan diri dari memperhitungkan risiko, mempertimbangkan manfaat dan mudharat dari setiap pekerjaannya”<br />
(Idehan Chalid, 1982)<br />
<br />
<br />
Pengantar<br />
<br />
alam perspektif politik, seseorang yang mampu menapaki zaman - ke zaman dalam gegap gempita politik dikategorikan sebagai seorang politisi yang pandai memainkan kartu kapan bertahan, kapan menyerang, kapan diam, kapan bicara dan kapan memanfaatkan momentum. Tidak sedikit orang dalam dunia politik, sekalipun masih banyak waktu baginya untuk bertahan dalam lingkaran kekuasaan, harus terhenti langkahnya bahkan “babak belur” hingga ajal menjemputnya. Namun demikian, pola-pola demikian tidak sedikit pula akan kontra produktif dalam pandangan banyak orang sebagai penganut politik oportunis dan dianggap cenderung menguntungkan dirinya sendiri atau kelompoknya.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ragam tafsir ini saya kira konon akhirnya dominan dialamatkan kepada Alm. DR.KH Ideham Chalid (selanjutnya saya singkat IC) dalam sepak terjangnya sebagai seorang ulama yang menjaga kemaslahatan ummat (grassroot) dari gerakan-gerakan separatis pada masa itu (baca keterlibatan NII/DII) dan sebagai seorang politisi yang menjaga keseimbangan hubungan negara baik dalam infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dalam ranah kompromistis, strategis dan bisa jadi pragmatis. Ini pulalah saya kira mengapa kehadiran IC akhirnya seperti senyap dalam catatan gerakan NU pasca Mukhtamar Sitobondo. <br />
<br />
Meminjam istilah Muhajir (2007) yang mengutif Urvashi Batula sebagai “sisi balik senyap”, dimana langkah politik dan aktifitas keulamaan IC kurang banyak diungkap ke permukaan. Apalagi persepsi tentang IC menjabat Ketua Umum saumuran dalam kepengurusan pusat NU dianggap sebagai bentuk resistensi dirinya dalam bargaining position untuk tetap hidup dalam lingkaran kekuasaan.<br />
<br />
Persepsi-persepsi yang bergentangan dalam multi tafsir ketika membandingkan sesuatu dengan tidak melihat setting dan konteks zaman, terlebih membandingkannya dalam zaman dan masa perubahan sekarang baik sistem politik, perkembangan demokrasi, sosial ekonomi, keagamaan maupun lainnya, tentu saja sama saja seperti membandingkan buah yang tidak dalam rumpun atau spesisnya. Bagaimana bisa membandingkan kemanisan apel dengan jeruk? Kecuali jeruk dengan jeruk yang berbeda lokasi tanam dan benih, demikian pula apel dengan apel. Kearifan pemahaman seperti ini saya untuk mencoba melihat tarikan pelajaran dan cabaran yang dihadapi seorang tokoh seperti DR KH Ideham Chalid sebagai seorang tokoh yang mampu hidup dalam banyak terpaan zaman.<br />
<br />
Berdebat dengan Soekarno<br />
<br />
Sedikit sekali zaman sekarang orang berani mendebat seseorang yang memiliki kartu As menentukan siapa yang layak duduk atau tidak dalam posisi jabatan terhormat dan mulia. IC melakukan perdebatan hebat dengan Soekarno ketika menentukan Kabinet “ berkaki empat” yang didalamnya harus ada partai peserta pemilu 1955 yakni Masjumi, PNI, NU dan PKI. IC membawa misi suara rakyat untuk tidak dilibatkannya PKI karena memiliki catatan “madiun affair” dan soal ideology yang athies. Taruhan yang dilakukan IC adalah siap dan rela mengundurkan diri dari kabinet dengan posisi Waperdam II dan disampaikan langsung kepada Soekarno dengan bahasa yang santun. Sekalipun dalam perjalanan waktu NU terpaksa mau bekerja dengan PKI dalam barisan kabinet sebagai strategi akomodasi politik sekalipun bersifar semu dalam rangka bertahan dalam percaturan politik.<br />
<br />
Dalam catatan sejarah pelantikan cabinet Ali Sastroamidiojo II yang dilantik 24 Maret 1956 satu-satunya cabinet yang mendapat restu setengah hati dari Soekarno dengan cara membaca sumpah sendiri-sendiri. Tudingan pun diarahkan gara-gara “ulah Ideham Chalid” yang menentang dilibatkannya orang PKI dalam kabinet. Boleh jadi hal demikian tidak banyak didengar oleh ummat di grass root sehingga yang tampak hanyalah posisi sebagai pejabat Negara dengan segala sumber kekuasaan yang dimilikinya.<br />
<br />
Catatan yang dibentangkan Mandan (2008) dalam percakapan pertemuan IC dan tokoh Masyumi dengan Soekarno kala itu, dalam analisis saya justru disinilah tonggak mengapa IC bisa hidup kembali dalam zaman Soeharto sebagai symbol penentnag Soekarno dan PKI pada masa itu. Di samping NU merupakan salah satu catatan yang harus dienyahkan oleh PKI. Justru IC tetap memainkan peran politiknya dalam membuat keseimbangan pemerintahan dari pengaruh PKI dan representasi ummat Islam, disamping kekuatan sebagai ulama untuk menjaga konstituen ummat dalam pengambilan keputusan di Parlemen ( keterlibatan partai politik NU) sebagai basis dukungan massa dan tidak tergiring dalam gerakan NII/DII.<br />
<br />
Kemampuan membaca zaman, siapa yang memang benar menjadi lawan sekalipun lawan di “sayang” oleh sang penguasa Soekarno kala itu, sebuah kecerdasan politik yang diperankan oleh IC. Ini yang terkadang jarang banyak dilakukan banyak pihak bahwa kekuasaan yang diperoleh cenderung melupakan kekuatan massa pemilih apalagi dalam zaman yang serba sulit.<br />
<br />
Jadi sekalipun di era Soeharto NU tidak lagi menjadi sebuah partai tetapi dilebur dalam PPP, setidaknya andil dan peran NU dalam satu visi menjadikan PKI sebagai common enemy, sebuah taktis strategis NU tidak keluar dari lingkaran kekuasaan.<br />
<br />
Membangun KPK<br />
<br />
Negara dihadapkan tidak sekadar mengguritanya kekuatan PKI yang ia tahan di level atas lewat gerakan penentangan masuknya dalam kabinet, juga melakukan gerakan di level bawah dalam konteks keamanan Negara, tetap membangun jaringan patronase di kalangan ummat. Masjumi sempat terjebak dalam tuduhan turut mendukung gerakan simpatian NII/DII misalnya, IC lewat kekuatan NU-nya menjaga jaringan patronase untuk tetap memandang Negara sebagai milik bersama semua golongan dan pemeluk agama. Godaan-godaan kekuasaan saat demikian dimana umat bisa dikendalikan dengan peluang memungkinkan saya kira bisa saja dilakukan IC bersama kawan-kawan ulama. IC mampu memainkan peran sebagai politisi muslim yang nasionalis. <br />
<br />
Ini dibuktikan kemampuan IC membawa pengaruh NU pada upaya membawa bangsa dan Negara yang menghargai pluralisme berdasarkan kebersamaan dan beragamaan sebagaimana Pancasila. Tugas Waperdam II salah satunya berkaitan dengan keamaan Negara, sangat memungkinkan bagi IC menyelesaikan ledakan-ledakan pemberontakan dari kalangan pejuang-pejuang orang Islam sendiri seperti NII/DII SM Kartosowiryo, Ibnu Hajar , Kahar Muzakar dan Daud Beureuh di Aceh. Fakta jaringan yang bagus dibuktikan dengan pembentukan KPK (Kiai-kiai Pembantu Keamanan) sebuah badan yang terdiri para kiai sebagai agen keamanan dibentuk untuk turut meredakan gejolak pemberontakan yang membawa misi provokatif dengan dalil-dalil keagamaan. <br />
<br />
Para kiai ini menjalankan misi membangun kesadaran umat atas sebuah perjuangan yang mengedepankan kebersamaan dan pluralism. Apalagi kala itu kehadiran IC dalam lingkaran kekuasaan mendapatkan tuduhan membawa NU sebagai pihak yang membantu Republik Indonesia Kafir (RIK). Sebuah tuduhan yang bisa jadi memporak porandakan ummat atau NU sendiri dibawah kendali IC.<br />
<br />
<br />
Kepiawan Mengkonstruksi Jaringan<br />
<br />
Sebagai seorang Banjar kader NU di luar Jawa, biasa enggan dan kalah tadah kalau bertemu dengan para ulama dan senior dari pulau Jawa, apalagi dalam umur yang relative muda. Ada beberapa catatan penting mengapa ada bentuk keberterimaan orang Jawa terhadap diri IC. Pertama, IC sebagai seorang yang rendah hati, hormat dan santun kepada siapa pun sekalipun berbeda pendapat. Inilah yang saya mencerminkan kelihaian dalam memainkan strategi politik. Saya menduga, kedatangan Soekarno ke Amuntai yang disambut oleh para demonstran menanyakan apakah Negara ini berideologi Islam atau Pancasila, adalah buah arsitek dari pikiran IC untuk menegaskan pada Soekarno adanya kekuatan umat Islam di pelosok negeri sebagai bentuk bargaining position dan harus menjadi pikiran Soekarno untuk tidak mengabaikan umat Islam dari sekadar sebagai sapi perahan dalam pesta politik pemilu.<br />
<br />
<br />
Kedua, kemampuan membangun jaringan dan penghormatan kepada kawan-kawan dan patronase. Sebagai alumni Gontor saya kira merupakan factor determinan akseptabilitas dirinya sehingga orang-orang yang se-alumni dengannya yang banyak berada di ranah politik dan menentukan dalam setiap pengambilan keputusan. Boleh jadi inilah pendukung utama kehadiran dirinya dalam kancah politik, khususnya suara-suara kader NU di luar Jawa hingga bertahan dalam beberapa periode kepemimpinan NU. Kemampuan menjaga hubungan dengan banyak pihak saya kira adalah rahasia dirinya tetap pada posisi strategis. <br />
<br />
Jadi kepiawan IC saya kira bukan disebabkan sekadar talenta organisatoris yang pernah terpenjara di Kandangan sebagai pejuang kemerdekaan, tetapi NU telah membawa pada situasi yang mendorong menjadi organisatoris piawai yang tidak terpaku bicara soal kemaslahatan ummat dan kepentingan masa depan Islam sebagai agama, tetapi ada pemahaman bahwa kehadiran politik dengan segala unsur kepentingannya penting menyatu dalam aktifitas amal ibadah NU. <br />
<br />
Mandan ( 2008) misalnya telah membentangkan pikiranya bahwa NU dalam masa kelahirannya saja realitas yang ada pada zamanya memaksa NU untuk bergulat dalam ranah politik, bukan bergulat pada kegiatan sosial semata. Dan nampaknya IC sangat paham paradigm itu. Jadi pendahulu IC dalam memainkan peran NU misalnya saya kira justru menjadi inspirasi IC bagaimana memainkan peran dalam darah Ke-Nu-annya agar bisa membangu bargaining power dalam sengketa-sengketa politik sebagaimana terjadi tahun 1952-an adanya distribusi kekuasaan di Partai Masyumi hingga membuat NU memilih jalan sendiri menjadi Partai Politik. Geliat-geliat politik yang monumental ini saya kira menjadi dorongan bagi IC untuk mengambil peran yang sama dalam masa depan NU.<br />
<br />
IC telah mampu membawa kewibawan dan kekharismaan NU dalam lingkaran kekuasaan dan menjadi organisasi sosial keagamaan “yang dianggap” oleh penguasa bahkan pergantian penguasa sekalipun, sesuatu yang pada era transisi Soekarno dan Soeharto merupakan era pemberangusan siapa pun yang pernah menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan Soekarno. <br />
<br />
Sebagai politisi / pejabat Negara IC meluangkan waktunya tetap membangun ke NUannya dengan melatih kader-kader NU agar berkualitas SDM-nya untuk dinaikkan tingkat pengetahuannya tentang ketatanegaraan, keparlemenan dan kepemerintahan sebagai sebuah jalan menuju kekuasaan. Dan saya kira ini sebuah bentuk pikiran cerdas seorang IC memainkan irama NU agar selalu hadir dalam perubahan politik sesuai dengan zamannya. Haidar (1998) misalnya mempetakan kemampuan IC dalam memainkan peran NU dalam tiga penyangga yakni ulama, pesantren dan Politisi yang memegang peranan penting dalam menjadikan NU tetap eksis.<br />
<br />
<br />
Penutup<br />
<br />
Perilaku kesederhanan, santun, membangun jaringan dan gerakan politik yang diorientasikan bagi masa depan ummat dan bangsa adalah ciri seorang Ideham Chalid. Sekalipun ia harus menghadapi badai dan ombak politik bahwa keputusan-keputusan itu dianggap sebagai bentuk opurtonis dan tidak punya pendirian. Menjaga system dengan masuk dalam system adalah lebih baik dibandingkan di luar system dengan kondisi yang tidak memungkinkan mengatur arah perjalanan bangsa.<br />
<br />
Saya kira IC seorang yang mengingat betul pesan-pesan pendahulunya termasuk orangtuanya dalam melangkahkan kariernya, “ Dalam pergaulan hendaklah berhati-hati. Yang penting persahabatan dan saling percaya mempercayai kian dipupuk. Bukankah pintu gerbang untuk memasuki suatu keyakinan adalah lebih dulu “senang “dan ‘percaya” kepada orang membawanya? “ demikian ungkap ayah Ideham Chalid kepadanya. <br />
<br />
Wallahualam bissawab. Banjarmasin Post, 10 Novemver 2011Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-64770163148269298262011-12-12T11:25:00.000-08:002013-10-02T22:05:29.991-07:00Parkir SudimampirOleh: Taufik Arbain<br />
Saat ini cukup ramai pemberitaan penolakan parkir kendaraan bermotor dengan komputerisasi oleh sejumlah orang dan pedagang di kawasan Pasar Sudimampir, demikian berita salah satu stasion TV Swasta lokal dan pemberitaan beberapa media cetak di Kota ini. Alasan mereka sederhana, karena rencana kebijakan Pemerintah Kota itu tidak ada melakukan rapat dan kesepakatan dengan kelompok kepentingan di kawasan tersebut. <br />
Mereka menolak rencana Pemko yang membuat pos parkir dengan system komputerisasi di beberapa titik masuk dan keluar. Alasan selain itu, tidak ada lagi! Hal ini sesuatu yang berbeda apabila melihat kasus penolakan di beberapa kawasan pasar lain di pulau Jawa, dimana penolakan dilakukan oleh pedagang langsung karena pembayaran parkir menjadi mahal dipungut oleh SKPD Disbub dan Pengeloa Pasar sehingga pengunjung sepi, dan memberatkan bagi pedagang yang kendaraan bermotornya turut parkir dengan bayaran yang mahal.<br />
<a name='more'></a><br />
Sebenarnya kebijakan komputerisasi adalah bagian dari peningkatan pelayanan publik dalam hal perparkiran. Dalam konteks ini harapannya system komputerisasi tidak sekadar berorientasi pada peningkatan PAD dan perbaikan managemen perpakiran, namun terpenting adalah keamanan kendaraan bermotor lebih bertanggung jawab dilakukan pengelola serta ada pengaturan perpakiran yang lebih professional.<br />
<br />
Sedikit berkaca dengan managemen perpakiran system komputerisasi, saya kira bisa dicermati sebagaimana ada di kawasan Duta Mall, (bukan di kawasan Rumah Sakit Ulin yang hanya berorientasi tertib keuangan memungut tetapi tidak layak tempat parkir khususnya kendaraan roda dua), bahwa menunjukkan contoh tidak kumuhnya pengelolaan parkir. Bahkan pengunjung pun merasa nyaman dan aman akan kendaraan yang diparkir. Yang paling utama adalah tidak ada penambahan parkir dilakukan secara illegal.<br />
Nah, kalau keinginan Pemko menghendaki demikian, adanya pelayanan yang bagus, kawasan terkendali keamanan dan kenyamaan, PAD meningkat saya kira patut didukung. Apalagi hal demikian akan memudahkan arus lalu lintas dengan baik. Di samping itu, jika memudahkan orang datang berbelanja ke Pasar Tradisional dimana akan berdampak pada peningkatan omset pedagang. Selama ini tidak sedikit orang enggan, berbelanja ke Pasar Sudimampir dikarenakan kumuhnya perpakiran dan ketidakyamanan sikap yang dilakukan pengelola parkir. Jadi saya kira jika ada pedagang melakukan penolakan atas system komputerisasi terasa lucu sekali, karena tidak ada mengganggu kenyamanan mereka dalam berjualan, malah semakin meningkatkan omset karena pembeli merasa nyaman dengan pengelolaan parkir yang professional. Saya kira kalau pun ada tanda tangan tidak lebih karena tidak mau “bermasalah” oleh kelompok kepentingan yang selama ini tidak mau diotak atik bisnisnya.<br />
Dalam konteks peningkatan pelayanan publik dan peningkatan PAD lewat perpakiran, Pemko harus tegas terhadap para oknum yang demikian. Pemerintah jangan sampai diatur oleh sekelompok orang-orang yang tidak mendukung ke arah perbaikan layanan publik. Sebab, dengan system komputerisasi akan dapat dilacak berapa mobil yang berlalu lalang dan memasuki kawasan parkir, dibandingkan dengan sekadar karcis dan PAD dari tahun- ketahun laporannya Cuma segitu gitu saja hasilnya, sementara jumlah kendaraan bermotor yang merapat ke kawasan Pasar Sudimampir semakin meningkat.<br />
Untuk itu, jika dilakukan system komputerisasi tentu saja kewajiban pemerintah memberikan layanan perpakiran menjadi lebih baik, bukan sebaliknya hanya sekadar mengatur dan pungutan iuran, tetapi minim pelayanan yang prima. Memastikan keamanan parkir dan petugas parkir yang ramah. Tentu saja, agar kebijakan ini bisa diterima kelompok kepentingan dan dalam rangka demokratisasi pengambilan keputusan, pihak Pemko bisa saja duduk bersama kelompok kepentingan untuk menjelaskan maksud baik tersebut, termasuk memberikan tawaran-tawaran kerjasama, pelatihan petugas parkir jika direkrut, bagi hasil, target hasil dicapai, dispensasi untuk pedagan tetap atas iuran parkir maupun warga sekitar yang bermukim, kesepakatan dievaluasi atas kinerja pengelola dan beberapa persyaratan standar yang berhubungan dengan prinsip-prinsip peningkatan pelayanan publik.<br />
Namun, jika tetap melakukan penolakan tanpa alasan jelas dan mengabaikan prinsip-prinsip peningkatan pelayanan publik dan kebaikan bersama, sekali lagi Pemko harus menunjukan kewibawaannya sebagai Pemerintah yang memiliki kekuatan melakukan pengaturan terhadap warga kota, bukan sebaliknya diatur oleh sekelompok orang tertentu. Sebab tercapainya pengaturan parkir di kawasan Pasar Sudimampir akan menjadi inspirasi dan berdampak positif bagi pengelolaan parkir dengan system komputerisasi di tempat lain. Buktikan Bisa!!<br />
Idabul Mata Banua, 28 November 2011Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-4171466641314074552011-12-12T11:20:00.000-08:002013-10-02T22:04:54.947-07:00Baliho BandoOleh: Taufik Arbain<br />
Soal baliho yang berdiri megah di pinggir jalan bahkan di tengah jalan, orang Melayu Riau punya cerita. JIka layar terkembang alamat perahu bergerak laju, tetapi jika baliho terkembang, alamat roboh. Saya kira cerita orang Melayu Riau ini adalah bentuk ungkapan dan sindiran untuk menegaskan betapa kehadiran baliho sebagai ruang pamer, promosi dan publikasi berbagai hal cenderung mengundang bahaya dan korban. Boleh jadi mereka punya pengalaman sering robohnya baliho akibat terpaan angin kencang dikarenakan pondasi yang tidak kuat atau karena bahan besi yang tidak paten.<br />
<a name='more'></a><br />
Kasus di atas saya kira baru soal bahaya dan korban karena soal bahan dan angin kencang. Sebenarnya ada hal krusial kehadiran baliho sebagaimana dikatakan oleh ahli Perkotaan sebagai penciri kota adalah estetika kota. Kehadiran baliho nampaknya menapikan estetika kota, dimana orientasi pemberi izin dalam hal ini adalah pemkot / pemkab hanya mengejar PAD dari baliho sebagai sumber pembangunan.<br />
Bagi para pengusaha Baliho, jika izin sudah diberikan dan deal lokasi sudah disepakati, pohon yang menghalangi rencana pasang baliho sangat mungkin untuk ditebang. Fakta ini sebenarnya pernah berlaku di kota Banjarmasinj, khususnya di sekitar kawasan Lampu Merah Belitung hanya gara-gara pemasangan baliho ikan seorang pemain sepakbola.<br />
Kondisi seperti ini tentu saja kontraproduktif antar dinas, dimana salah satu dinas konsen menata kota dengan lingkungan bersih dan kehadiran pohon sebagai kesejukan, tetapi disisi lain ada kekuatan dinas yang menapikan itu semua untuk memberikan kesempatan bagi pengusaha baliho.<br />
Nah, saya kira para pengusaha tidak akan puas sekadar baliho ditajak dipinggir jalan saja, sebab bagi pengusaha semakin strategis letak baliho, maka semakin tinggi nilai tawar kepada pemasang dan semakin efektif pesan yang disampaikan via baliho. Maka tidaklah heran jika tiba-tiba pengusaha yang menguasai 7 hingga 10 titik-titik strategis malah minta lagi di kawasan yang menjauhkan dari estetika dan melabrak kepentingan lain seperti penebangan pohon.<br />
Anda rasakan dan saksikan saja ketika melintas jalan utama di Banjarmasin, akan didapati pameran dan iklan via baliho yang saling berdekatan bahkan terkadang saling tutup menutupi, betapa saking rapatnya titik-titik penempatan baliho, termasuk baliho bando.<br />
Untuk itu, Pemerintah Kota saya kira perlu berbenah untuk merapikan dan menata ulang kehadiran baliho bando termasuk pemasangan baliho pada titik-titik yang mengorbankan pohon-pohon kota. Bahwa baliho bando sangat rawan roboh, jika lemahnya pengawasan dari Pemerintah untuk memastikan jaminan kuat, kokoh dan tahan lama balio bando tersebut.<br />
Keberanian Pemkot pada masa lalu dengan memastikan kawasan Lambung Mangkurat bersih dari baliho, patut diacungi jempol yang kemudian menyulapnya dengan kawasan yang pohon-pohonnya banyak, rindang dan sejuk. Jadi saya kira, urusan PAD jangan terpaku pada pemasangan baliho yang sembarangan dan menjauhkan dari estetika kota, tetapi bagaimana kehadiran baliho tetap memberikan kepuasan dan pesan efektif kepada publik, namun dia berada dilokasi strategis pinggir jalan, tanpa harus berdiri di median jalan yang relative membahayakan. Sebab, nyawa yang dimiliki warga kota, Cuma satu Pak Walikota!!! (Idabul, Mata Banua 28 November 2011)Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-77257167460498600702011-12-12T11:18:00.000-08:002013-10-02T22:07:08.491-07:00Pulau KembangOleh: Taufik Arbain<br />
Semua orang pasti mengenal dengan Pulau Kembang, pulau kecil yang berada di depan Muara Kuin di tengah Sungai Barito. Namun, pulau ini sebenarnya dikenal sebagai pulau tempat berhuninya margasatwa warik dan bekantan dengan rerimbunan pohon rambai. Karena banyaknya orang yang berkunjung ke Pulau tersebut, maka akhirnya pulau tersebut dicanangkan sebagai tujuan wisata. Entah kapan?<br />
<a name='more'></a><br />
Saya menduga, semula pulau tersebut tidak ada kaitannya dengan pariwisata. Bagi orang Banjar apa yang menarik dari Pulau itu. Melihat warik, bekantan dan rerimbunan pohon rambai biasa. Melihat pedagang hilir mudik dengan kelotok dan perahu jukung berkumpul di sekitar muara kuin juga biasa. Kecuali sekarang, generasi Banjar kemudian orang asing mengangap hal sebagai sesuatu yang eksotik dan dalam pandangan Pemerintah menjadi bagian dari ranah kewisataan, maka dijadikanlah pulau yang semula tempat orang datang “ berhajat/nazar” itu menjadi tempat wisata.<br />
Sekitar umur 8 tahun, saya teringat almarhum ayah mengajak bersama keluarga rombongan naik kapal menuju pulau kembang. Nenek saya membagikan pisang kepada sekelompok kera. Sebagai keluarga yang sederhana, ternyata hadir ke pulau itu bukan untuk berwisata atau menghibur diri, tetapi tidak lebih dari keinginan nenek yang punya hajat dan seterusnya memiliki ‘sesuatu tersendiri’ dengan pulau itu. Demikian yang saya pahami tentang pulau kembang.<br />
Lalu sekarang ramai, pulau tersebut tidak sekadar dikunjungi, tetapi diperebutkan dan dipinang-pinang. Ada persoalan menjadikan pulau tersebut sebagai tempat tambat perahu, bahkan ada yang ingin meminta Pulau Kembang yang masuk dalam administrative wilayah Batola menjadi bagian Kota Banjarmasin.<br />
Ada dua tafsir atas hal ini; Pertama, boleh jadi Pemko Banjarmasin kurang memahami bahwa kada gagampangan mengambil pulau bagian dari wilayah lain, karena hal tersebut berkaitan dengan Undang-Undang yang mengatur batas wilayah. Sekalipun memiliki tujuan baik hendak mengelola secara professional atau bahkan menjadikannya Ruang Terbuka Hijau. Untuk tujuan terakhir ini , saya kira harus melihat regulasi kategori pulau kembang apakah memang dijadikan sebagai hutan margasatwa atau bisa peruntukkan RTH.<br />
Tafsir kedua, bisa jadi ada semacam kritik atas pengelolaan pulau tersebut yang dianggap tidak professional, kumuh dan sangat tidak mendukung dalam konteks kepariwisataan. Bahwa selama ini Pemkab Batola nampaknya belum mampu memantau pihak swasta yang mengelola menjadikan pulau kembang memiliki nilai lebih dan keberartian bagi publik, sebagai asset publik yang diperuntukkan bagi kepentingan publik.<br />
Kita berpendapat, jika tafsir pertama sangat tidak memungkinkan bagi Pemko Banjarmasin, boleh jadi tafsir kedua menjadi otokritik bagi Pemkab Batola untuk segera membenahi keberadaan Pulau tersebut. Bagaimana pun Pulau Kembang adalah asset yang relative potensial dikembangkan sebagai pulau yang berfungsi ganda, yakni sebagai hutan margasatwa kelompok warik dan bekantan, juga sebagai tujuan wisata dan “pehajatan dan pernazaran” orang Banjar, sehingga pulau tersebut tidak menjadi lirikan untuk sesuatu yang kontra produktif dengan harapan kewisataan, yakni tempat tambat kapal-kapal.<br />
Pertanyaannya, adakah keinginan Pemkab melakukan rehabilitasi terhadap keberadaan Pulau Kembang tersebut, termasuk menata ulang kerjasama dengan pihak swasta yang mengelola pulau tersebut. Jangan-jangan karena adanya keingian Pemko Banjarmasin yang berencana mengambil dan mengelola dengan professional baru terpikir dan tahu tentang Pulau Kembang. Entahlah!! (idabul, Mata Banua, 5 Desemmber 2011Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-29983064700227744672011-12-12T11:16:00.000-08:002013-10-02T22:07:48.525-07:00Manajemen Stategik Penanganan Bencana dan Keterlibatan PublikOleh: Taufik Arbain <br />
<br />
“Gaiga wa wasureta koro ni yate kuru”<br />
“ bencana itu biasanya datang pada saat yang paling tidak kita duga”<br />
( Pepatah Orang Jepang)<br />
<br />
Pengantar<br />
Peradaban dan globalisasi saat ini membawa dampak yang multiproblem, ianya tidak sekadar mempertontonkan kemajuan teknologi informasi maupun gaya hidup manusia, komunitas bangsa, tetapi juga mempertontonkan efek lain yang luar biasa, seperti kegiatan pengurangan asset modal alam. Thomas Vinod (2000) salah satu ahli kebijakan pembangunan mengingatkan bahwa efek globalisasi yang mengedepankan kepentingan manusia yang berlebihan mendorong pengeksploitasian sumberdaya alam, sehingga kegiatan pengurangan asset alam itu tak terkendalikan.<br />
<a name='more'></a><br />
Fakta bencana alam seperti banjir, tanah longsor, perubahan iklim, kebakaran lahan, puting beliung, gempa adalah bagian dari efek kegiatan tak terkendali eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dimana manusia di bumi dihinggapi masalah yang justru menyebabkan penghilangan kenyamanan hidup, kualitas hidup bahkan nyawa manusia. Efek lanjutan dari bencana alam mendorong terjadinya konflik sosial, persaingan hidup antar komunitas dan entitas bangsa hingga ia menjadi bencana sosial.<br />
Inilah problem nyata dihadapi manusia saat ini, termasuk Indonesia sebagai Negara berkembang yang menjadi bulan-bulanan kelompok kapital untuk mengeksploitasi sumberdaya alam yang menyebabkan terjadi proses pemiskinan penduduk dan mengancam keselamatan jiwa karena bencana alam maupun bencana sosial.<br />
Fakta lain, perilaku korupsi dalam birokrasi pemerintah termasuk swasta mendorong pada pengabaian keselamatan publik. Pembelian alat-alat transportasi yang berkualitas rendah (barang bekas), pembuatan infastrukstur jembatan, jalan dan fasilitas publik yang di-mark up menyebabkan pelemahan terhadap kualitas asset yang dimiliki. Padahal semua asset tersebut peruntukkannya bagi kepentingan publik, kenyamanan dan keselamatan publik. Maka wajar saja jika sering didengar peristiwa bencana non alam (human error) seperti kejatuhan pesawat, kebakaran kapal termasuk runtuhnya jembatan yang megah<br />
Pertanyaan mendasar adalah; pertama, apakah menghadapi masalah bencana alam, bencana non alam (kecelakaan), dan bencana sosial hanya diantisipasi pada ranah teknis pertolongan dan penyelamatan saja? Kedua, Apakah upaya pencarian dan pertolongan terbatas pada musibah atau bencana yang disebabkan oleh kecelakaan pelayaran dan penerbangan? Ketiga, bagaimana mengembangkan keterlibatan publik dalam mengantisipasi bencana/musibah termasuk penanganannya? Dan keempat, apakah kesadaran terhadap bencana hanya diantisipasi dengan cara memahami managemen dan teknis penyelamatan, tanpa mempersoalkan hulunya? Inilah saya kira pintu masuk dalam memahami managemen bencana dalam perspektif keterlibatan publik dan kebijakan publik. Sebab penanganan bencana yang selama ini terjadi di Indonesia tidak bisa berharap banyak dengan kelembagaan non permanen yang tidak professional.<br />
<br />
Kelembagaan Profesional : Langkah Strategis Pemerintah<br />
Bencana yang selama ini kerap terjadi di Indonesia tidak bisa berharap banyak dengan kelembagaan non permanen dan tidak professional. Sebab penanganan bencana yang dilakukan secara tidak professional terkadang tidak sekadar mendorong pertambahan masalah tetapi juga mengarah pada bias penanganan. Harapan upaya penanganan bencana dilakukan oleh satuan professional seperti Badab SAR dan pelibatan masyarakat, sering tertutupi oleh penanganan bencana yang berbasis partai politik. Fakta ini sebenarnya yang menjadi salah satu faktor kontributif lemahnya penanganan bencana dalam konteks pelibatan publik.<br />
Disamping itu penanggulangan bencana selama ini masih parsial, sektoral dan terbagi-bagi. Inilah salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari upaya penanggulangan bencana yang mengindikasikan perlunya kebijakan dasar yang baik untuk mengatur fungsi dan peran dari para pelaku penanggulangan bencana termasuk pengembangan dan perluasan peran dari lembaga yang ada seperti Badan SAR.<br />
Hadirnya Pemerintah lewat kebijakan pendirian Badan SAR yang kemudian melakukan perluasan dan pengembangan peran, adalah langkah responsive akan kemungkinan terjadinya bencana alam, non alam dan bencana sosial yang melanda negeri ini. Kebutuhan bantuan cepat dan tepat adalah hak publik untuk mendapatkan bantuan segera dengan penanganan pelayanan yang prima. Kebijakan pemerintah yang sifatnya hanya merespon persoalan jangka pendek dalam penanganan bencana bukanlah solusi yang baik dan tidak memberikan daya tahan terhadap pelibatan masyarakat lebih jauh, tetapi justru menjadikan peran lembaga formal seperti Badan SAR, bukan bagian dari masyarakat, lebih-lebih mereka yang tinggal di zona rawan bencana. <br />
Pandangan ini hendak memberikan pemahaman bahwa perumusan visi lembaga professional seperti Badan SAR tidak terpaku pada ranah teknis sebagaimana diatur dalam pasal 7 tentang perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian dalam konteks bencana, tetapi melibatkan aspek-aspek sosial dan kultural. Hal Ini ingin melihat prinsip “daya guna “ masyarakat untuk menyadari potensi yang mereka miliki dalam melakukan antisipasi bencana dan penanganan bencana itu sendiri. Langkah ini sebenarnya mencoba mendorong masyarakat melakukan gerakan melek bencana; antisipasinya dan penanganannya.<br />
<br />
Kehadiran Badan SAR dalam pengembangan perannya harus mendorong gerakan masyarakat yang meliputi bagaimana mengintegrasikan peran masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan bencana, penanganan bencana, langkah siaga bencana, tanggap bencana, dan pemulihan bencana. Setidaknya hal demikian memperlambat sikap dan perilaku masyarakat (mainset) menjadikan satuan SAR hanya sebagai tontonan heroik seperti di televisi. Dalam konteks tataran elit, Badan SAR juga mengembangkan peran dalam mengkampanyekan kesadaran elit yang pro dan sensitif terhadap kebijakan penyelamatan asset alam dan penanganan bencana serta kebijakan antikorup terhadap penyediaan layanan infrastruktur publik yang berkualitas sebagai antisipasi persoalan hulunya.<br />
<br />
Jadi pengorganisasian satuan-satuan penanganan bencana seperti Badan SAR merupakan responsive Pemerintah yang memberikan rasa aman dan nyaman dari kemungkinan terjadinya bencana dan sebagai perwujudan kekuasaan pemerintah kepada perlindungan sebagai hak azasi. Disamping itu, lebih jauh sebenarnya harus terus melakukan upaya kemitraan dan partisipatif publik dimana penanggulangan bencana tidak hanya sebagai tanggung jawab pemerintah semata tetapi keterlibatan masyarakat lewat strategi manajemen resiko bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk management). Dalam kaitan ini, semua aspek penanggulangan bencana, mulai dari kebijakan, kelembagaan serta mekanisme harus membuka akses untuk peran serta masyarakat luas, serta dunia usaha. Inilah sebenarnya isu-isu strategis yang dikenal dengan Good Governance.<br />
<br />
Untuk itu perlu sekali semua pihak memiliki perubahan paradigma dalam melihat bencana sebagai agenda penting dalam menjawab tantangan bencana yang kemungkinan rentan terjadi sebagaimana paparan sebelumnya berkaitan dengan fakta global dan kinerja pemerintahan/birokrasi hari ini. Bahwa perlu ada pergeseran paradigma dalam memahami persoalan bencana. Pertama, penanggulangan bencana jangan terpaku pada respons kedaruratan (emengency response) dimana langkah ini menunjukkan ketidaksiapan penanganan dan memberikan rasa tidak aman publik. Pandangan Usfomeny (2007:4) bahwa dalam kerangka mereduksi risiko bencana yang lebih besar (disaster risk reduction), upaya penanggulangan harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi kesiap-siagaan/mitigasi, tanggap darurat serta rehabilitasi/rekonstruksi. Cara pandangnya bukan lagi bagaimana melakukan respon kedaruratan, tetapi bagaimana melakukan manajemen risiko sehingga dampak yang lebih merugikan dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali. <br />
Kedua, Political will pemerintah dalam produk kebijakan. Pandangan ini berkaitan dengan kemauan pemerintah di daerah memberikan dukungan dan komitmen politik dalam penyediaan anggaran yang pro terhadap bencana dan alokasi anggaran pembangunan dan penyediaan infrastruktur yang berorientasi pada pengurangan resiko bencana dalam perencanaan pembangunan daerah. Sebab bencana jangan dipandang sebagai musiman yang juga diiringi dengan satuan penolong musiman. Kemudian alokasi anggaran dalam APBD; didedikasikan untuk menyusun suatu rencana aksi daerah (RAD) penanggulangan bencana sebagai turunan dari rencana aksi nasional (RAN) sebagaimana diatur Pemerintah Pusat.<br />
Ketiga, institusional. Badan SAR dan satuan-satuan lainnya yang memiliki peran sebagai penyelamat, pencari dan penolong bencana adalah kelembagaan yang perlu dilakukan penguatan (capacity building). Penguatan kelembagaan dimaksudkan tidak sekadar pada ranah penyediaan peralataan teknis, pelatihan dan workshop bagi anggota, penyediaan anggaran, tetapi melakukan koordinasi antar jaringan. Sebab ketika terjadi bencana banyak kelembagaan/ad-hoc yang memainkan peran penolong melakukan gerakan-gerakan sporadis. Fakta ini terkadang menyebabkan gangguan dan kelambatan penanganan dari satuan professional, apalagi kehadiran satuan-satuan dimaksud adalah satuan yang bermotif politik, sehingga sering mengabaikan pihak yang memiliki otoritas komprehensif dalam penanganan bencana.<br />
Keempat, integritas (keterpaduan), pandangan ini dimaksudkan bahwa masalah bencana tidak terbatas dipahami pada makna; apa yang terjadi, tetapi mengapa terjadi dan bagaimana menjawab mengapa terjadi, bukan sekadar menjawab apa yang terjadi. Ini adalah merekonstruksi cara berpikir penanganan hulunya. Sekalipun Badan SAR bukan lembaga yang memiliki otoritas kuat kearah konstruksi itu, namun paradigma perbaikan bangsa ini perlu semua pihak melakukan transformasi morality values, tidak terbatas pada teknis penanganan. Perlu ada upaya-upaya penyadaran-penyadaran dan sosialiasi kepada masyarakat berkaitan dengan peran dan fungsi Badan SAR, bidang yang ditangani, tanggungjawabnya, kemitraannya dan pemahaman antisipasi dan penanganan bencana kepada masyarakat. Lebih jauh pandangan ini menegaskan setiap upaya pertolongan yang dilakukan dari pihak manapun tidak ditinggalkan begitu saja pasca bencana, tetapi ada upaya penyadaran-penyadaran antisipasi dan penanganan bencana.<br />
Kemitraan dengan masyarakat ini setidaknya sebagai langkah berbagi informasi, konsensus dan pengambilan kesepakatan bersama, kolaborasi, berbagi penguatan dan resiko, pengumpulan relawan dan anggaran. Upaya ini merupakan cara agar masyarakat merasa bagian dari satuan-satuan penolong, termasuk Badan SAR sebagaimana kehadiran Satuan Pemadam Kebakaran yang merakyat bagi masyarakat Kalsel. Bahwa kehadiran Badan SAR sebagai produk regulasi dari Pemerintah bukanlah satuan elit dan asing bagi publik dan hanya dijadikan sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam penanganan dan pertolongan bencana. Tentu saja ini belajar dari pengalaman Jepang dalam menangani bencana yang semula hanya berorientasi pada peran satuan milik pemerintah, yang kemudian berubah paradigmanya dengan pelibatan dan kerjasama masyarakat. Pengalaman Jepang telah mengkonstruksi dua pendekatan yakni, pendekatan top down berupa perlindungan dan penyelamatan dan botton up berupa pemberdayaan masyarakat itu sendiri.<br />
<br />
<br />
<br />
Penutup<br />
Setidaknya sedikit pemikiran diatas sebagai bentuk upaya bersama-sama dalam menangani persoalan bencana alam, non alam dan bencana sosial. Bahwa pikiran tersebut untuk menegaskan penanganan bencana tidak harus dibebankan kepada pemerintah dalam hal ini satuan bentukan pemerintah seperti Badan SAR, tetapi harus memiliki bagian dari masyarakat itu sendiri. Selebihnya upaya penyadaran antisipasi bencana sangat penting disosialisasiakan terhadap persoalan hulunya dan cara-cara penanganannya. Menyelamatkan umat manusia dan bencana dan kematian serta melibatkan masyarakat dalam menangani bencana itu sendiri adalah sebenar-benarnya pekerjaan mulia dan bagian dari jihad. Amin<br />
<br />
Banjarmasin, 29 November 2011.<br />
Disampaikan pada Kegiatan Rakor SAR XVI Banjarmasin Hotel A Banjarmasin, 1 Desember 2011Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-61363210522671936362011-12-12T11:14:00.000-08:002013-10-02T22:01:14.149-07:00Pelangsir BBMOleh: Taufik Arbain<br />
Tulisan kali ini soal pelangsir. Dalam sebuah perjalanan pulang minggu lalu dari Batu Licin menuju Banjarmasin, saya sengaja naik travel sekitar pukul 13.00 wita. Saya sangat menyenangi perjalanan tersebut karena bisa banyak mendengar cerita dan pengalaman para sopir travel. Dari pengalaman perjalanan sebelumnya ada saja kisah pemilik travel yang sangat ketat urusan BBM, soal penginapan menanti siang seadanya hingga soal ketika sang sopir mendapatkan penumpang dan melaporkan kepada pengelola, justru tidak mendapatkan bonus dari usaha baiknya tersebut sekadar tambahan rezeki.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Rupanya siang itu sang sopir mengatakan akan mengisi BBM di SPBU. Dari kejauhan saya sudah melihat antrean mobil taksi warna hijau. Dalam benak saya,” wah ini akan memakan waktu 30 menit dalam perkara menunggu antrean BBM!”. Rupanya sang sopir langsung menerobos ke arab berlawanan dari antrean tepat didepan mesin SPBU. Saya sangat kaget, karena sang sopir tidak mentaati aturan antre.<br />
<br />
Saya menggunakan bahasa yang mendorong sopir akan bercerita banyak soal “ kewanian “ dia itu. Dia pun bercerita, bahwa sudah menjadi hukum alam, jika mobil travel apalagi yang mengejar penerbangan untuk mengambil hak cepat mendapatkan jatah BBM. Sedangkan kelompok mobil angkutan pedesaan harus minggir dan tetap pada posisi antrean. “ karena buhannya itu adalah kelompok pelangsir!”. <br />
<br />
Saya sungguh tidak menduga, bahwa kelangkaan BBM menjadi model baru untuk mendapatkan tambahan keuangan. Boleh jadi pukul 13 dan seterusnya adalah bukan jam padat orang menggunakan angkutan, sehingga waktu yang tersisa digunakan parkir di SPBU. Bahwa kalau tidak berkeliling terjadi penghematan BBM dan kalau menjual BBM dari langsiran mendapatkan keuntungan.<br />
<br />
Pertanyaannya, lalu dimana peran pemerintah yang tugasnya memberikan pelayanan kepada publik termasuk layanan angkutan pedesaan? Saya kira Pemerintah tidak bisa membiarkan suasana demikian. Akibat kelangkaan BBM terjadi pengabaian terhadap pelayanan publik yang dimitrakan kepada pihak swasta. Kelangkaan BBM mendorong orang tidak mengindahkan kepentingan publik, malah terlibat dalam bisnis yang dilarang. Lalu siapakah yang diberikan otoritas dalam mengatasi ini?<br />
<br />
Kita patut mempertanyakan, mengapa kelangkaan BBM luar biasa menjadi persoalan pelik. Bahkan parahnya bagaimana mungkin pebisnis SPBU telah merampas hak-hak warga yang lain dalam penggunaan jalan. Mobil, truk dan motor harus antre separuh badan jalan. Hal demikian saya kira banyak masyarakat awam kurang memahami bahwa ada hak-hak publik yang dirampas oleh pebisnis. Selama ini mereka pahami hanya antrean saja tanpa mengetahu hak-hak publik sendiri.<br />
<br />
Apalagi keterlibatan aparat yang membantu para pelangsir dibiarkan begitu saja, dimana dikawasan SPBU seperti tanah lapang produk mobil hijau angkutan pedesaan. Pemandangan yang nyata demikian, saya rasa tidak mungkin tidak diketahui oleh aparat.<br />
Dalam konteks ini memang terjadi kebosanan melihat kelangkaan BBM di negeri penghasil BBM, padahal data pertumbuhan kendaraan bermotor kalsel yang mencapai 21 % per tahun bisa dijadikan dasar kouta kepada Pertamina untuk Kalsel. Data tumbuhnya perusahaan di kawasan perkebunan dan tambang pun nampaknya belum ditelah oleh Pemerintah, sehingga sangat memungkinkan BBM hak rakyat berubah menjadi hak Perusahaan.<br />
<br />
Sistem yang rusak dalam pelayanan publik khususnya pihak Pertamina kepada masyarakat telah memicu masyarakat berperilaku nakal dan menyimpang. Negara rupanya tidak bisa menjamin bahwa kasus kasus demikian berpengaruh pada aspek perilaku publik yang memperlambat dalam upaya pembentukan karakter bangsa. Negara tidak bisa bersikap tegas terhadap pihak perusahaan yang mengambil hak-hak masyarakat lewat membeli BBM langsiran, termasuk pelaku langsiran yang setiap hari nongkrong di kawasan SPBU. Jadi penderitaan Kalsel ini cukup lengkap, Listrik sering padam, BBM sering antre…lalu teman saya ada nyelutuk., “ kenapa ya kita menyerahkan pulau ini kepada Republik 1946, padahal Jakarta tidak ada kelangkaan BBM dan sering mati listrik, sementara kita tidak dianggap”! demikian ungkapan kecewa teman!<br />
diterbitkan pada kolom Idabul Mata banua, 12 Desember 2011Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-52862436932681138972011-10-26T10:04:00.000-07:002013-10-03T06:12:28.095-07:00Kontrak Setia Aparat BirokrasiOleh: Taufik Arbain<br />
<br />
<puhunlah bamiring="" br="" pinus="" tabang="">tatak barata sampai ka putting<br />badanku kurus bukanlah garing<br />Lantaran mata kada taguring<br /><br />Lirik lagu Banjar karya pencipta dari Kotabaru di atas barulah benar soal kesetiaan. Saya sangat meyakini, bila seseorang berkata-kata tentang setia kepada lawan bicaranya, atau seseorang melihat teks “setia”, maka otak orang tersebut akan mempersepsikan soal setia ini ada kaitannya dengan cinta langsung pada objek sepasang kekasih atau sepasang suami - isteri. Setelah itu,</puhunlah><br />
<a name='more'></a> jika ada variabel stimulus terhadap persepsi tersebut, maka setia itu bisa bergeser pada konteks yang lain, apakah setia kepada bangsa dan Negara sebagaimana jargon TNI kita, setia kepada pelanggan jargon yang dilakukan oleh pihak bank swasta, PLN atau PDAM dan seterusnya kepada organisasi yang sering disebut dengan istilah loyalitas. Jadi “kesetiaan” berkaitan diluar soal sepasang kekasih, hanyalah kesekian kalinya pemaknaanya.<br /> Lalu mengapa orang-orang menghajatkan kesetiaan? Tentu saja ini merupakan kontrak sosial jika berlaku pada masyarakat, kontrak politik pada interaksi antar partai politik atau pemilukada dalam koalisi pemerintahan maupun tim sukses. Kontrak cinta jika dilakukan sepasang kekasih maupun suami istri, baik di hadapan penghulu setelah mengucapkan akad nikah atau di hadapan pantai, gunung, langit desiran air sebagaimana dihiperbolakan oleh para penyair. <br />Kontrak-kontrak demikian memiliki pemaknaan sumpah setia untuk tidak ada penghianatan dengan segala konsekuensinya dan segala haknya. Ini bisa dimaknai sebagai “ketakutan” bisa juga dimaknai sebagai “ ketegasan” yang diikuti dengan konsekuensi punishment. Kemudian persoalannya bagi pihak dalam posisi superior dalam segala macam kontrak lebih banyak menuntut hak kepada pihak yang diajak berkontrak, sedikit sekali memberikan hak atau melaksanakan kewajiban dari hak pihak lain. <br />Negara biasanya memberikan punishment kepada aparat yang melanggar kontrak kesetiaan/loyalitas dan disiplin. Tetapi Negara juga memberikan reward kepada aparat yang melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan kapabilitas dan masa baktinya. Tradisi birokrasi demikian sudah berjalan dengan baik dalam menguji dan mengukur kesetiaan aparatur dengan mekanisme yang mengarahkan kepada profesionalisme. Contoh sederhana adalah bagaimana para guru diwajibkan mengurus sertifikasi guru, atau dosen dengan sertifikasi dosen agar tidak melulu “jago kandang” rutinitas mengajar kemudian pulang dan dapat gaji tiap bulan tanpa ada pengabdian dan penelitian yang mengarah kepada pencerahan publik.<br />Pada konteks ini, apakah kontrak kesetiaan dalam sebuah birokrasi harus bertumpang tindih dengan kontrak-kontrak lain yang sama kadarnya dan segala konsekuensinya apabila dilanggar sebagaimana dikeluarkan Kementerian PAN, jika pada sebuah institusi pemerintahan Kabupaten/Kota sekalipun memiliki hak otonom? <br />Saya kira kebijakan kesetiaan yang diperuntukan PNS di lingkungan Pemko Banjarmasin kepada Walikota dan Wakil Walikota sebagai tindakan kontraproduktif. Dalam konteks ini bahwa Walikota sebagai simbol pemerintah tidak percaya dengan kekuatan legal formal yang dimilikinya berkaitan dengan sumber kekuasaan yang melekat pada dirinya dan sumber kekuasaan yang melekat pada institusinya. <br />Hal ini justru membuka tabir di Pemerintahan Kota sebagai barometer pemerintahan kab/kota di Kalsel adanya “kepanikan dan ketakutan berlebihan” akan tidak loyalnya para bawahan kepada atasan. Bukankah aturan main dari produk Undang-Undang Nasional tentang Kepegawaian sudah cukup? Jadi saya kira BKD Kota keliru kalau surat edaran itu tidak ada unsur tekanan dan sekadar bersifat normatif. Justru bertendensi politis, dimana memungkinkan bersarangnya saling mencurigai antar aparatur pemkot, menyuburkan para pembisik negative thinking yang berimplikasi pada mengacauan iklim organisasi yang kondusif. <br />Selanjutnya, malah ada gejala kontra produktif terhadap prinsip-prinsip Good Governance, berkaitan dengan transparansi, yakni tidak memberikan informasi kepada publik. Selain itu membatasi kreatifitas pegawai, karena takut salah kalau bertindak kreatif dan inovatif dalam melayani publik. Sebenarnya prinsip pemerintahan otonomi daerah adalah soal kemandirian dalam melayani publik dan membiayai kegiatan pemerintahan.<br />Sebenarnya membangun loyalitas itu bukan dengan surat kontrak demikian, tetapi loyalitas tumbuh apabila seiring dengan kapabilitas, kapasitas dan komitmen pimpinan terhadap visi dan misinya dalam membangun kota yang diperlihatkan kepada bawahan dan publik. Penghormatan dan loyalitas bukan dengan pendekatan sanksional, tetapi dengan pendekatan professional dan paham Pemerintahan ini mau dibawa kemana. Dalam pendekatan kepemimpinan (leadership) sebagaimana dikemukakan G.Terry, saya kira aparat birokrasi Kota tidak perlu menggunakan pendekatan otoriter pada level middle dengan melihat kemampuan yang dimiliki aparatur selama ini, cukup dengan pendekatan partisipatif dan demokratis karena juklak dan juknis yang dimiliki pemerintah cukup memberikan gambarannya. Justru yang diperkuat adalah controlling saja (pengawasan) <br />Saya kira, ini adalah gambaran pemerintahan yang “panic”. Publik harus menjadikan pelajaran semua ini, bahwa memilih pemimpin haruslah mereka yang memiliki komitmen dan kemampuan yang cukup dalam mengelola organisasi pemerintahan. Demikian pula elit politik kalau menjadi pemimpin harus menakar dulu kemampuan yang dimiliki, bukan sekadar gagah-gagahan hanya karena mampu menyelesaikan kemenangan dengan pendekatan “politik transaksional”. <br />Penulis: Dosen Fisip Unlam Banjarmasin.(Banjarmasin Post, 26 April 2011)Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-81689326872557629042011-10-26T09:56:00.000-07:002013-10-03T06:13:01.046-07:00Demokrasi, Literasi Media dan Kesadaran PublikOleh : Taufik Arbain <br />
<br />
Pengantar<br />
<br />
Harus diakui demokrasi telah menawarkan banyak hal dalam perkembangan mengemukakan pendapat, berserikat- berkumpul dan berkreatifitas mengikuti perkembangan zaman. Sebuah bangsa memungkinkan terjadinya perubahan sistem sosial ketika pintu masuknya dimulai dari demokrasi. Sebab demokrasi tidak sekadar dipahami dari rakyat untuk rakyat sebagai bagian dari rezim pemilu yang sifatnya berkala empat -lima tahunan, tetapi justru demokrasi sebenarnya milik publik setiap saat. Dalam konteks ini akhirnya demokrasi menjadi instrument sosial movement. Lalu siapa sebenarnya yang mendapatkan peruntungan dominan atas ruang demokrasi setiap saat itu? <br />
<a name='more'></a><br />
Menurut saya adalah media! Baik media cetak maupun media elektronik dengan segala perkembangannya yang mampu menyuarakan apa saja secara terbuka ke publik. Karena medialah pihak yang paling banyak mendapatkan “jatah warisan” buah dari demokrasi baik dalam konteks subtansi demokrasi itu sendiri maupun konteks ekonomi.<br />
Atas dasar pewaris dominan peruntungan demokrasi ini, media pun bergerak setiap waktu dengan segala energinya menawarkan pikiran, wacana, opini, peristiwa, hiburan dalam ragam kemasan kepada publik, termasuk berkompetesi dengan sesamanya baik di tingkat lokal maupun nasional untuk menjadi yang terdepan dalam mengabarkan (meminjam istilah dari TV One) dan terasyik dalam menyiarkan.<br />
Kebebasan Media dan Paradoks demokrasi<br />
Menyikapi perkembangan media dan dampak yang ditimbulkannya kepada publik, pandangan Samuel Huntington (2000), saya kira menarik untuk dicermati berkaitan dengan paradox democracy. Sekalipun Huntington membahas paradoks demokrasi dalam kasus Indonesia lebih memfokuskan pada langkah-langkah pencederaan demokrasi (defektif demokrasi) oleh sebagian elit dalam meraih kekuasaan dengan memanfaatkan hadirnya demokrasi itu sendiri. Saya kira adaptasi paradox democracy dalam konteks perkembangan media sangatlah mengalami kemiripan dalam menelaah perkembangannya, dimana fakta dampak negatif tayangan media kepada publik adalah salah satu kontraproduktif dari harapan demokrasi. Contoh yang paling gampang adalah ketika media mampu memainkan “sentiment primordial” yang pekat kepada publik, ketika siapa dan partai apa pemilik industri media tersebut. Ini adalah situasi tidak aman dalam perjalanan media di Indonesia dalam rangka kepentingan bangsa, dimana kecenderungan penguasaan atas kepemilikan semakin meningkat yang otomatis semakin menurunkan kebebasan pilihan atas media independen.<br />
Adanya pengaduan dari masyarakat atas pencemaran nama baik, pelanggaran kode etik kepada Dewan Pers, tayangan kekerasan, porno, dan mistik termasuk media yang berpihak, menutup mata fakta kemanusiaan hanya karena iklan mahal dari perusahaan misalnya adalah fakta munculnya paradoks demokrasi yang pada gilirannya melahirkan tuduhan-tuduhan kesalahan kepada media. Harapan kita tentu saja, situasi tidak aman bagi media hari ini atas pemberitaan dan tayangannya, jangan sampai mendorong kehadiran Pemerintah (eksekutif dan legislative) membuat regulasi yang justru dijadikan justifikasi pengekangan atas peran-dan fungsi media sebagai tulang punggung dalam mengawal demokrasi itu sendiri. Pertanyaannya adalah apa yang bisa kita lakukan atas kinerja media seperti ini? Melakukan kutukan atau membangun kesadaran bersama?<br />
Literasi Media dan Kesadaran Publik<br />
Stuart Ewen(2000) melihat hubungan antara literasi dan demokrasi tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang informasi rakyat, fasih dan isu-isu yang menyentuh kehidupan mereka, diaktifkan dengan alat yang memungkinkan mereka berpartisipasi aktif dalam musyawarah dan masyarakat dan perubahan sosial.<br />
Ini artinya membicarakan soal literasi media sebenarnya bukan sekadar milik orang-orang yang berkecimpung di media, pengamat media, pengamat kebijakan publik maupun pemerintah, tetapi sekarang sudah harus menjadi bagian integral dari masyarakat/publik. Sekalipun tidak gampang mendorong kemampuan publik dalam menilai sebuah tayangan mana yang baik dan mana yang buruk, karena berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kemampuan pada olah otak analisis (sense of critics) lebih-lebih bagi publik Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tentu saja diperlukan waktu yang cukup menumbuhkan kesadaran publik dalam konteks literasi media.<br />
Kehadiran literasi media bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan atas paradoks demokrasi dari peran media, dimana literasi media sebenarnya sama –sama memberikan penguatan terhadap peran publik dan peran media dalam rangka posisi setara antara penjual jasa dan pengguna jasa media.<br />
Kemampuan penilaian konten tayangan dan bacaan selama ini sebagai salah satu kegiatan literasi media hanya pada kemampuan melahirkan kutukan atau pujian yang pada gilirannya melahirkan konflik terbuka antara publik dan pengelola media. Ianya belum lagi masuk dalam ranah penyadaran dan introspeksi masing-masing. Diasumsikan kompetesi antar media dalam terdepan melayani publik dan kebutuhan financial bagi pengelola media, serta pilihan orientasi hiburan bagi publik sendiri sebagai faktor determinan membuat lambat proses pengembangan literasi media. <br />
Pengembangan literasi media dan membangun kesadaran publik, tidak hanya terfokus pada publik sebagai pihak pengkonsumsi layanan media, tetapi diperlukan juga kewajiban etika dan moral praktisi media sekalipun harus berada dalam tekanan kompetesi dan aturan main/regulasi boleh tidaknya suatu tayangan semisal kekerasan (perdebatan etis dengan regulasi). Sisi lain, sebagaimana pendapat Horsey, media bisa menjadi “orang ketiga” yang mempengaruhi kehidupan publik. Ketidakmampuan publik dalam mengembangkan literasi media, seumur hidup publik akan dipengaruhi komunikasi massa dari buatan pengelola media.<br />
Diantara varian pengembangan literasi tentu saja hanya mampu dilakukan oleh elit menengah publik, jika merujuk rating tertinggi diminati publik adalah hiburan atau berita-berita menyenangkan, seperti kemampuan berpikir kritis dan mengembangkan penilaian independen, memahami proses komunikasi massa, memahami konten, menghargai kekuatan pesan media, membedakan emosi dari sebuah reaksi, kemampuan memahami kontens dan efek-efeknya, termasuk unsur-unsur keterampilan yang diperlukan dan sebagainya dalam literasi media.<br />
Di Negara-negara maju dalam membangun kesadaran publik terhadap media telah mengembangkan kurikulum literasi media (Kanada,Britania dan Australia) karena kehadiran media selalu menanti setiap saat dimana pun mereka berada. Pemahaman literasi media bagi Negara – Negara maju menjadikan media memainkan perannya untuk juga menampilkan tayangan dan bacaan yang mendapatkan akseptabilitas publik. Adanya kolom-kolom anak muda atau mahasiswa misalnya merupakan langkah pengembangan literasi media yang mendorong pada peningkatan keterampilan literasi media, tidak sekadar sebagai pihak penerima layanan.<br />
Dalam konteks ini pengembangan literasi media dalam rangka publik sadar media setidaknya; pertama, harus menjadi komitmen publik dan kelompok elit publik (ormas,NGO dan Perguruan Tinggi) dimana jangan absen dalam melihat persoalan kritis terhadap tayangan dan bacaan publik ini untuk turut mengajarkan pemahaman literasi media. Komitmen ini tidak sekadar membantu dalam memainkan seleksi alam terhadap kehadiran media(memilih dan memilah) di tengah publik tetapi melakukan grand design dalam menghadapi secara cerdas dan kritis.<br />
Kedua, komitmen pengelola media untuk menampilkan tayangan dan bacaan yang menggemakan nilai-nilai edukasi dan etika moral termasuk komitmen memberikan ruang aduan publik berkaitan dengan tayangan dan bacaan. Komitmen ini tentu saja pemahaman untuk tidak selalu mengagungkan ketakutan Napoleon Bonaparte sampai abad ini, tetapi komitmen untuk saling menghargai dan pemahaman keterampilan jurnalistik sendiri. Ketiga, komitmen pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan literasi media dan kesadaran publik dalam rangka bagian dari fungsi turut mengawal demokrasi, bukan terlibat dalam intervensi pengekangan kebebasan menyampaikan pendapat. Kalaupun ada regulasi adalah yang membangun sinegis antara banyak pihak.<br />
Penutup<br />
Literasi media tidak sekadar menjadi kesadaran elit publik, tetapi literasi media harus menjadi sebuah social movement, sama seperti pergerakan demokrasi itu sendiri. Karena efek media turut mempengaruhi seluruh kehidupan publik sebuah bangsa dari tradisi mendongeng sampai ke tradisi menonton, sekalipun tradisi membaca belumkah kuat.<br />
<br />
Banjarmasin, 21 Oktober 2011<br />
Disampaikan pada seminar Forum Pengembagan Literasi Media Kementrian Informasi dan Pemprov Kalsel.Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-82364127941802550102011-10-26T09:55:00.000-07:002013-10-03T06:15:13.225-07:00Otonomi Daerah, Politik Transaksional dan Implikasi Kebijakan PublikOleh: Taufik Arbain<br />
<br />
Hadirnya otonomi daerah sebenarnya didasarkan untuk mensejahterakan masyarakat di daerah ketika pembangunan dengan pendekatan sentralistik selama ini dianggap belum dan tidak mampu memberikan kesejahteraan rakyat. Sempitnya otoritas yang diberikan oleh pemerintah pusat sebagai alasan implikasi pemerintahan di daerah tidak mampu mengembangkan inovasi-inovasi dalam memanage pemerintahan dan pelayanan publik yang prima kepada masyarakat di daerah.<br />
<a name='more'></a><br />
Namun, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, memberikan gairah dalam pelaksanaan pemerintahan bagi aparat, elit politik dan masyarakat di daerah. Salah satunya adalah tingginya kuantitas produk-produk kebijakan publik (perda) yang mengatur kepentingan-kepentingan daerah dan tuntutan-tuntutan para elit politik atas pemekaran daerah guna tercapainya implementasi otonomi daerah yang hakiki. <br />
<br />
Sebagai salah satu produk reformasi, otonomi daerah hadir beriringan dengan proses demokratisasi yang memberikan kemerdekaan kebebasan masyarakat dalam mengemukakan pendapat hingga melahirkan elit-elit politik baru di daerah yang memanfaatkan eksistensi partai-partai politik sebagai instrument efektif meraih kekuasaan di tingkat lokal. Apalagi sejak tahun 2005 memungkinkan dilaksanakannya pemilu kada dengan pendekatan direct democracy. Sebagaimana pandangan Bryan Smith (1985) tujuan pemilu kada sebenarnya adalah untuk menciptakan pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif serta terbangunnya persamaan hak politik di tingkat lokal.<br />
<br />
Dalam konteks ini situasi politik di tingkat lokal terjadi perubahan yang signifikan dimana pemilu kada secara langsung telah memindahkan arena politik dalam institusi perwakilan (DPRD) menjadi arena terbuka, tidak hanya melibatkan kekuatan-kekuatan politik formal tetapi melibatkan kehadiran yang rakyat sebagai objek penyeleksi kepemimpinan lokal. Pelibatan rakyat dalam kepemimpinan lokal di era otonomi daerah ini memiliki implikasi terhadap janji-janji politik dalam masa kampanye hingga berimplikasi pada out put – out put kebijakan publik setelah memegang tampuk kekuasaan. <br />
<br />
Lebih jauh, setiap kebijakan publik yang diimplementasikan memberikan ruang terbuka tingginya partisipasi publik karena proses pemilu kada menjadi pijakan esensial untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat dalam menjalankan pemerintahan sebagai wujud pelaksanaan sistem demokrasi di tingkat lokal (Diamond, 2003).<br />
<br />
Situasi politik lokal atas implementasi otonomi daerah dan demokratisasi ini memberikan eksternalitas positif kepada berbagai lapisan masyarakat baik dunia usaha maupun sosial budaya, dan pada aras lanjutannya menjadi isu-isu publik hingga menjadi kebijakan publik (Dunn, 2000). Celah-celah ranah demikian, justru akhirnya memiliki implikasi negatif secara komprehensif dimana ragam kepentingan personal, tim sukses, partai politik maupun pemodal ekonomi yang melibatkan diri dalam proses demokrasi (pemilu legislatif dan Pemilu kada) mengambil “hak-hak politik ekonomi” mereka lewat sumber-sumber yang “diamankan” dengan kebijakan publik (perda). Tidak jarang kebijakan yang dibuat seolah-olah merupakan usulan dan hajat publik, dimana “partisipasi prosedural “ dijadikan sandaran terpenuhinya unsur demokratis dalam pengambilan keputusan dan memenuhi perintah undang-undang. (baca: musrenbang ).<br />
<br />
Harapan kebijakan publik pada awalnya untuk kepentingan semua masyarakat, memungkinkan dibalik kehadiran kebijakan publik oleh pemerintahan di daerah justru adalah kepentingan segelintir pihak yang menjadi bagian dari kekuasaan dimana sebelumnya telah membuat kesepakatan praktek “politik transaksionis.” Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan atau fasilitas umum yang tidak prioritas dan tidak terukur dalam analisa manfaat yang tidak memberikan multiplier effect yang besar serta inefesiensinya pemanfaatan dana APBD adalah contoh dari kebijakan model ini.<br />
<br />
Menariknya, perkembangan terakhir politik lokal, ketika sebelumnya para pemodal ekononi yang berorientasi pada pengurasan alokasi sumber dana APBD lewat proyek-proyek pembangunan di daerah sebagai penyokong dana politik kandidat termasuk pengkaplingan lahan-lahan perkebunan dan tambang, kini terjadi pergeseran signifikasi atas posisi-posisi politik formal. Perebutan posisi leader di ranah partai politik misalnya, adalah “jalan lain” menuju kekuasaan politik yang lebih luas termasuk implikasinya pada arah kebijakan publik yang dibuat.<br />
<br />
Ragam kecemasan out put kebijakan publik yang didasarkan pada “politik transaksionis” pada gilirannya mendatangkan problem baru terjadi konflik kepentingan antar masyarakat dan pelaku kekuatan politik formal dan kekuatan non formal. Fakta inilah pemicu lahirnya kebijakan populis - pragmatis yang justru tidak dikategorikan sebagai kebijakan publik yang rasional, teknokratis dan strategis yang lebih substainable serta menyentuh pada kepentingan masyarakat luas. Inilah mengapa para analis kebijakan publik melihat implementasi otonomi daerah dimana harapan untuk mendekatkan pelayanan publik prima, justru masyarakat menjadi pihak yang menanggung implikasi negatif dari kebijakan publik atas perilaku “politik transaksional” tersebut.<br />
<br />
Penulis: Dosen FISIP UNLAM BANJARMASIN. diterbitkan Banjarmasin Post, 29 maret 2011Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-58752682382708085912011-10-26T09:54:00.001-07:002013-10-03T06:15:38.579-07:00Mereka Menenteng Airmata dari Saudi ArabiaOleh: Taufik Arbain<br />
<br />
Banjarmasin Post beberapa waktu lalu aktif mewartakan soal TKI di Arab Saudi yang dihukum pancung, demikian pula TKI asal Kalsel yang terancam pancung. Kisah ini mengingatkan saya tentang TKI illegal (pendatang haram dalam pandangan orang Malaysia) di Malaysia yang dihukum cambuk sebanyak 17 kali tepat di HUT RI tahun 2002, dan yang berlari terbirit-birit melintas perbatasan Kalimantan-Malaysia. Lalu dimana harga diri bangsa dan pembelaan atas rakyatnya?<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ruyati binti Satubi misalnya sebagai news booming hanyalah salah satu potret dari kepedihan hidup seorang migrant international yang mencari nafkah di jauh dari tanah kelahirannya, termasuk TKI asal banua yang juga terancam pancung. Sebutan pendatang haram atau cerita-cerita memilukan yang berulangkali ditayangkan media cetak dan elektronik tentang kepedihan hidup para TKI misalnya, tidak menyurutkan mereka untuk tetap melaju menuju Arab Saudi. Sebab sebagaimana hukum migrasi, Arab Saudi memang menjanjikan 3 faktor penting bagi para migrant internasional yakni; mendapatkan upah yang mampu memperbaiki taraf ekonomi di daerah asal, meninggikan status sosial di mata orang kampung dan ketiga terkonstruksi prestise sebagai seorang hajjah, sebagaimana cultural pressure khususnya bagi orang banua jika telah menginjakkan kaki ke Mekah sekalipun berstatus seorang TKI dengan profesi pembantu.<br />
<br />
Kebijakan kependudukan Pemerintah kita nampaknya masih menggunakan paradigma demographic oriented, dimana yang terpenting konsentrasi kemiskinan pada suatu wilayah bisa diselesaikan dengan cara memindahkan sejumlah penduduk baik dengan cara transmigrasi, migrasi spontan termasuk migrasi internasional sebagaimana dilakukan TKI ke Malaysia dan Arab Saudi. Ketidakberesan menangani soal kependudukan dan TKI ini adalah sangat ironis pernyataan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi baru memulai berpikir dan berencana memperbanyak pengacara, melipatgandakan tim ahli untuk pembelaan termasuk usulan memiliki handpone. Padahal akar masalahnya sudah terpetakan sejak dulu, bahwa soal kemiskinan penduduk dan soal managemen professional dalam pengiriman TKI dan pengawasan intensif Pemerintah terhadap pihak swasta yang diberikan ruang melakukan bisnis pengiriman ini. Ragam kasus pahit soal TKI selama ini, tidak menarik pihak pengirim ke meja hijau untuk memberikan efek jera atas asal-asalan dalam pengiriman TKI ke luar negeri dan lepas tanggung jawab.<br />
<br />
Cara yang sangat berbeda dilakukan oleh Negara-negara Asia yang juga turut melakukan langkah pengiriman tenaga kerja ke luar negeri seperti Philipina, Thailand maupun India. Di Arab Saudi dan Dubai misalnya, kita akan mudah menemui penjaga toko, counter dan petugas ranah publik muka-muka orang Asia, tetapi bukan Indonesia. Artinya level tenaga kerja Negara-negara Asia yang lain masuk dalam ranah publik, bukan ranah domestik yang seakan disembunyikan dan rentan penyiksaan termasuk gaji yang tidak dibayar. <br />
<br />
Belum lagi sebagaimana kajian-kajian yang dilakukan para peneliti migran internasional misalnya, kondisi bertahan hidup di perantauan sering para TKI “menjual” apa yang ada pada dirinya sebagai sebuah perilaku yang menyimpang. Nah, fakta-fakta para buruh migran (TKI) ini sudah terpetakan oleh Pemerintah, tetapi tidak ada langkah kongkret yang nyata kecuali semakin meningkatnya jumlah TKI yang dikirim dengan minim pengawasan. Saya yakin, tak satu pun para TKI yang pulang akan bercerita tentang kesedihan dan kepahitan di Arab Saudi yang selama ini dibangga-banggakan, karena MALU!<br />
<br />
Belajar kasus ini, di Pemerintah perlu mempetakan perusahan para penyalur TKI dan melakukan pengawasan sebagai bentuk rekonstruksi arus migrant internasional. Hal ini sudah dilakukan oleh Negara Philipina dengan lembaga Philippina Employment Overseae Administrations (PEOA) sebuah lembaga yang memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja agar tidak dieksploitasi oleh majikan dan jasa pengiriman tenaga kerja.<br />
<br />
Selain itu Pemerintah Provinsi dan Kab/Kota perlu mengkampanyekan kepada warganya untuk berhenti menjadi migran yang melintas batas Negara baik ke Malaysia maupun ke Arab Saudi, sebelum adanya kebijakan Pemerintah Republik benar-benar memberikan rasa aman bagi rakyatnya yang menjadi TKI internasional dan memiliki skill sehingga ruang bekerja berada di ranah publik. Tentu saja menyelesaikan urusan kemiskinan di daerah asal adalah faktor utama agar tidak terjadi kuatnya push-pull factor dalam proses migrasi penduduk.<br />
<br />
Dalam konteks ini sebagai langkah strategis awal Media lokal perlu menginvestigasi perusahan penyalur yang beroperasi di Kalsel dan yang tidak bertanggung jawab atas kasus warga Kalsel yang terancam dipancung termasuk yang tidak ada kabar beritanya seperti TKW asal Batola.<br />
<br />
Tentu saja kasus pancung dan terbirit-biritnya warga Indonesia karena kemiskinan di Negara asing adalah harga diri bangsa yang tergadai dan terlalu ewuh pakewuh atas nama Islam dan Arab. Boleh jadi, besok hari keluarga para migrant tidak bisa lagi berharap mereka datang menenteng air Zam-zam dari arab Saudi, tetapi justru banjir airmata yang seharusnya masih bisa disisakan untuk menangisi mayat-mayat TKI yang akan dipancung .<br />
<br />
Penulis: Dosen FISIP UNLAMTaufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-49717619392920180562011-10-26T09:53:00.000-07:002013-10-03T06:15:59.904-07:00Mudik Lebaran: Ruang Need for Achievement dan Aras Kebijakan PublikOleh: Taufik Arbain<br />
Dalam perspektif keilmuan arus mudik lebaran tidak bisa dikaji hanya dalam kajian demografi sebagai proses arus balik migrasi dari daerah tujuan ke daerah asal, dan atau merupakan pula bagian dari proses kultural (antropologi) ala Asia khususnya berpenduduk muslim sebagai bentuk konstruksi silaturahmi tahunan, tetapi ianya menjadi ranah bagi kebijakan publik karena menyangkut pergerakan manusia (social movement) yang melibatkan peran pemerintah untuk melakukan pelayanan.<br />
<a name='more'></a><br />
Arus mudik selalu dikaitkan dengan soal tempat kelahiran, tempat leluhur sebagai fenomena yang tidak sekadar milik orang kecil tetapi juga milik sekelompok elit, sekalipun pergerakan arus memiliki pembeda atas transportasi mencapai daerah tujuan. Namun demikian “pentas drama” yang terkadang menyengsarakan karena berdesakan dan mahalnya ongkos angkutan tidak pernah membuat orang menyerah untuk terlibat dalam drama tahunan ini. <br />
Di Kalimantan Selatan, kawasan Hulu Sungai merupakan basis daerah asal (udik), dibandingkan dengan kawasan pesisir (Tanbu dan Kotabaru) karena konsentrasi manusia sejak berabad-abad semula berada disana kemudian menyebar ke seluruh negeri termasuk Banjarmasin baik sebagai pusat tujuan, pintu masuk laluan maupun leaping frog ke kawasan lain. Dalam hal ini, Naim (2000) telah mencatat orang Banjar khususnya Hulusungai memang memiliki tradisi merantau (madam) dalam lima besar etnis di Nusantara, setidaknya ada korelasi atas fenoemena arus mudik. Lebih-lebih semangat tidak menjadi hayam berumahan atau supan meukur kartak di kampung.<br />
Dalam konteks proses Need for Achievement justru mendorong banyak orang berkompetisi di daerah rantau dalam merebut sumber-sumber ekonomi termasuk sumber-sumber kekuasaan politik dan persaingan sosial. Implikasinya mudik melahirkan distribusi pendapatan, distribusi informasi dan pengetahuan di daerah udik (remitance). Bagi sanak saudara di kampung turut dipandang izzah keluarganya sebagai keluarga sukses. Menariknya terjadi pula distribusi penokohan peran lewat distribusi spanduk-spanduk ucapan Selamat Lebaran di sepanjang jalanan wilayah territorial politik Kabupaten. Inilah tren baru dalam fenomena mudik lebaran pasca direct democracy yang memberikan ruang luas bagi setiap orang untuk menegaskan sebagai orang sekampung atau istilah “orang banua” untuk menjadi pemimpin daerah.<br />
<br />
Jadi fenomena mudik lebaran tidak melulu dipahami sebagai silaturahmi, rindu-kangen keluarga, ziarah kubur orang tua, berbagi rezeki, pengungkapan status sosial (pamer) termasuk mengontrol harta warisan di kampung, dimana hal ini oleh sebagian orang bisa diwakili dengan teknologi berupa paket kiriman atau telepon. Namun mudik lebaran menjadi kekuatan memaksa seseorang untuk menghadirkan dirinya di kampung termasuk penegasan akseptabilitas sebagai komunitas urang banua yang akan memberikan jalan terlibat dalam perkumpulan-perkumpulan sosial di daerah asal dan daerah rantau. Sementara bagi kelompok grassroot mudik sebagai ruang pengungkapan bahwa tujuan merantau dengan motif ekonomi berbuah hasil peningkatan kehidupan lebih baik dari semula. Mudik dengan mengendarai sepeda motor kredit berbonceng anak isteri dan barang bawaan sekalipun adalah kegagahan yang tiada tara gembiranya.<br />
Sebagai bagian dari kultural Indonesia yang mendarah daging dan sulit diubah di hari pengganti selain lebaran, mudik akhirnya menjadi agenda kebijakan publik oleh pemerintah. Kehadiran Pemerintah Daerah bersama Kepolisian misalnya lewat kebijakan pengamanan mobilitas arus mudik, perbaikan ruas jalan dan tersedianya pelayanan kesehatan di tiap pos laluan adalah kemampuan peran Pemerintah membaca fenomena sosial yang merupakan milik personal dalam memaknai lebaran baik melakukan interpretasi ajaran agama, tradisi dan Need for Achievement sebagai kebutuhan mencapai status tertentu dan revitalisasi hubungan-hubungan sosial.<br />
Sebab keterlibatan pemerintah menyangkut hajat orang banyak sangat memiliki implikasi politik atas kapabilitas Pemerintah melayani publik, tidak sekadar memahami Lebaran dalam hal berbagi THR, Pasar Murah atau penyediaan Bus Angkutan buat karyawan Pemda menuju daerah mudik. Itulah sebabnya peristiwa mudik ini selalu dirancang dengan berbagai skenario agar proses mudik termasuk arus balik mudik tidak memberikan implikasi negatif bagi kebijakan-kebijakan yang telah dirancang. Sebab tidak jarang pemerintah hanya terfokus pada fenomena mudik, tetapi tidak terfokus pada implikasi kedatangan arus balik yakni meningkatnya pencari kerja dan kelompok miskin kota. <br />
Dalam aras lain, Pemerintah harus menunjukkan keberanian dirinya mengontrol Pertamina akan ketersediaan BBM di daerah. Run teks pada salah satu televisi swasta Nasional misalnya terungkap kesanggupan Pertamina akan ketersediaan BBM di pulau Jawa dalam arus mudik. Pertanyaannya apakah hal ini berlaku juga bagi Kalimantan? Tidak jarang kasus langka BBM membuat harga melambung dan tertundanya arus balik. Masalah ini biasanya tercecer dibandingkan soal perbaikan ruas jalan, pengamanan lalu lintas maupun pelayanan kesehatan.<br />
Oleh karena itu, perlu usaha-usaha strategis yang dirancang matang dalam memahami fenomena arus mudik lebaran dan pasca arus balik. Karena fenomena arus mudik adalah bagian dari hajat orang banyak dan itu menjadi tanggungjawab pemangku Pemerintahan dalam menyelesaikan masalah-masalah publik untuk menjadi agenda kebijakan publik. Selamat Mudik Lebaran!!!<br />
<br />
Penulis: Dosen Fisip Unlam.Diterbitkan Banjarmasin Post, 26 Agustus 2011.Taufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4436862766664120923.post-69164871131758745252011-10-26T09:48:00.000-07:002013-10-03T06:16:32.904-07:00Cubitan Politik di Ring Setengah (Catatan kecil Buku Wisnu: Pak Beye dan Politiknya; Pak Beye dan Istananya)Oleh: Taufik Arbain <br />
<br />
Pengantar<br />
Saya kaget membaca buku ini. Kenapa? Sebagai orang yang berada di Ring 500 (begitu saya menyebutnya) tidak akan banyak memahami sesuatu yang remeh-temeh dan tidak penting berada dibalik politik orang nomor satu di republik ini dalam merebut kekuasaan termasuk mempertahankan kekuasaan. Catatan Mas Wisnu sebenarnya memberikan masukan berarti terhadap perkembangan ilmu politik khususnya strategi pemenangan perebutan kekuasaan dalam versi Indonesia bagi politisi lokal dengan cara gampang dipahami dan futuristik, ketimbang menimba ilmu ke Amerika atau membayar mahal konsultan politik yang belajar banyak dari praktek pemenangan pemilu di Negara-negara maju. <br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Dalam konteks ini Mas Wisnu justru menawarkan perspektif baru bagi politisi Indonesia yang lagi “mabuk” dalam memahami politik lewat tulisannya “yang tidak penting” ini dengan uraian yang lugas disertai dengan foto yang terkadang fotonya duluan, tulisannya belakangan atau justru sebaliknya. Setidaknya, Mas Wisnu menghantarkan ketidakterpakuan dan statis memahami politik negeri ini dalam sebatas perspektif ; who gets what, when, how.<br />
<br />
Ada 2 hal yang menarik dicermati dari catatan Mas Wisnu ini; pertama, buku ini ingin mengabarkan sesuatu dibalik sesuatu berkaitan dengan strategi perebutan kekuasaan lewat cubitan-cubitan genit terhadap tingkah polah politik Pak Beye, ketimbang mengabarkan dalam analisa berat yang tidak berbasis Pak Mayar (symbol koalisi kerakyatan) . Namun demikan tulisan ini sebenarnya menjadi rangkaian menarik saling terintegrasi antar variable yang justru sangat membantu dan menginspirasi dalam mempetakan bagaimana politik SBY “dimainkan”, sekalipun Wisnu hanya sebagai pihak yang berada di luar “badan Demokrat dan underbouwnya”, lewat kegenitan tafsirnya dan jepritan foto pendukungnya.<br />
<br />
Saya ingin katakan, siapa yang mengira jilbabnya Andi Nurpati yang anggota KPU bisa dibaca multi tafsir ? Siapa yang mengira keringat Pak Beye berkucuran saat kampanye bisa dimaknai sebagai tafsir “Siap Berkeringat Untuk Rakyat”. Siapa yang mengira bahwa berdos-dos gelas mineral dan baju teluk belanga di pelosok desa sebagai tafsir massif dan sistemik perebutan kekuasaan yang dilakukan Pak Beye? Siapa yang mengira ribuan spanduk yang terpasang dari Tim Pemenangan Demokrat menyatakan TNI, POLRI, PNS dan anak-anak dilarang Kampanye sebagai kamuflase politik? Siapa yang mengira kemenyam Jogja dan Majelis Zikir bisa bergandengan tangan dalam memenangkan pertarungan? Siapa yang mengira menyambangi pembuat tahu dan atau makan siang di warung rakyat sebagai bentuk pencitraan kedekatan pemimpin dengan rakyat. Siapa yang mengira sisa-sisa logistik dan atribut kampanye berlebih sebagai tafsir besarnya suplai dana, kalau tidak ingin menyebut bahwa kekuasaan mahal?......Mas Wisnu sekali lagi menawarkan tafsir-tafsir baru bagi pembaca sesuai dengan orientasinya. Bagi para politisi adalah informasi yang murah untuk diterapkan dalam merebut kekuasaan. Bagi konsultan metode baru dalam mengolah strategi pemenangan. Bagi rakyat biasa…….ya ternyata kekuasaan itu bukan politik biasa. <br />
<br />
Tulisan yang menginspirasi ini saya kira mencoba menandingi karya Lionel Zetter dalam The Political Campaigning Handbook; Real life lesson from the front line, untuk sekali lagi menjelaskan pola, taktis, strategi, konstruksi sel-sel/jaringan politik, sel-sel suplai dana tanpa menyebut nama sebagaimana model-model tuduhan yang sering kembangkan terhadap teroris. Strategi memainkan pemangku keagamaan yang selama ini pernah dikembangkan Golkar, PPP dan PKB zaman Gus Dur, dan tetapi tidak massif politik pak Beye. Inilah kemampuan Pak Beye membaca zaman musim “zikir ala Arifin Ilham”, padahal partai yang berhaluan nasionalis. <br />
<br />
Kedua, sangat nampak syahwat politik Pak Beye (sekalipun tergantung penafir) yang luar biasa, bahwa pukulan-pukulan dari lawan tidak menyurutkan Pak Beye untuk tetap bertahan di istana. Informasi Mas Wisnu justru menjelaskan adanya model perilaku politik yang combinating dari unit analisis individu aktor politik, agregasi politik dan tipologi kepribadian politik pada diri Pak Beye dan timnya. Bahwa Fox Indonesia sebagai penyuplai “jamu syahwat”, mengedepankan politik pencitraan.<br />
<br />
Kata, “telah” adalah teks dahsyat yang dikembangkan FI untuk menegaskan pencitraan Pak Beye dari Istana. Giliran penggunaan kata “ akan” maka yang akan melakukan komunikasi kepada rakyat adalah Pak Kalla, apakah akan dinaikan BBM, akan dikonversikan minyak tanah ke Tabung Gas Elbiji termasuk akan meledak. Pak Kalla menjebakkan diri sebagai bumper istana yang keuntungannya diraup Pak Beye. Pilihan kata dan tema oleh Pak Beye untuk menjadikan sebagai tema yang hipnotik guna mempertahankan persepsi atau merubah persepsi lewat BBM telah Turun Ibu-Ibu. Sekali lagi tulisan Mas Wisnu sama saja berujar,..” hati-hati wahai wakil Kepala Daerah dalam memilih teks Akan atau Telah jika ingin melanjutkan kekuasaan”.<br />
<br />
Dalam konteks politik pencitraan atas nama istana, misalnya Pak Beye mengedepankan pencitraan populis, bahwa disisi lain Pak Beye berjuang dalam penegakkan HAM dan hukum di Indonesia terutama korupsi, tetapi di sisi lain terjadi pembiaran terhadap kasus-kasus bentrukan pluralism dengan mengikuti tafsir-tafsir kebenaran tirani mayoritas atas kelompok lain. Akhirnya pencitraan model demikian dalam politik Pak Beye justru melahirkan keraguan pihak aparat hukum Kepolisian dalam menindak keberadaan FPI.<br />
<br />
Aman, Adil dan Makmur sebagai visi Pak Beye dikembangkan dalam politik pencitraan yang massif untuk menuju pertarungan perebutan kekuasaan kedua. Pak Beye nampaknya meyakini bahwa Negara harus mengedepankan keamanan yang stabil, maka politik pencitraan adalah tidak ada konflik/ketegangan di republik. Pencitraan ini justru ambigu, di masyarakat urban misalnya pendekatan HAM dan toleransi berlaku, namun di daerah yang jauh dari “jangkauan” istana berkaitan dengan investasi sumberdaya alam dan kepentingan ekonomi capital seperti Papua dan Kalimantan justru doktrin NKRI menjadi momok bagi anak bangsa yang lain. “ Lebih baik pulang nyawa, daripada gagal dalam menjalankan fungsi keamanan”, akibatnya tindakan represif menjadi pembenar terhadap anak bangsa yang lain. Inilah saya kira strategi yang terantuk dalam model politik pencitraan Pak Beye.<br />
<br />
Pak Beye dan Istananya, menarik melihat hal-hal yang memang sulit bagi orang tahu tentang apa aja kejadian di dalamnya. Paling tidak selama ini dipahami istana merupakan symbol kekuasaan, dan Cium Tangan adalah symbol bakti, sebagaimana dilakukan Ketua Umum PWI. Podium kenegaraan di istana adalah kewibawaan seorang pemimpin negeri, tak luput juga mendapatkan jepritan Wisnu. Saya membayangkan dipastikan banyak orang siapa pun dia akan senang berfoto-foto yang menjadi symbol istana , termasuk di podium kenegaraan. Sangat mungkin pengkabaran-pengkabaran demikian ingin menegaskan perilaku manusia sebagaimana teori Hirarki Kebutuhan, tidak sekadar milik rakyat yang suka foto-foto di sekitar tempat wisata , tetapi juga milik pejabat sekitar istana bahkan pejabat-pejabat daerah termasuk mungkin juga para Kepala Daerah. Akhirnya memang tradisi-tradisi serta peristiwa apa saja yang terjadi, menarik ditiru oleh orang-orang yang mengelola istana-istana di daerah.<br />
<br />
<br />
<br />
Penutup<br />
<br />
Mas Wisnu sekalipun sebagai jurnalis istana yang meliput dan menyingkap di sekitar kekuasaan… belum terungkap Mas Wisnu melakukan interaksi perbincangan dengan Pak Beye dari sekian tulisannya di luar tugas kejurnalisannya layaknya orang ring satu Pak Beye. Tentu saja moment seperti ini pasti tidak dilewatkan penulis sekelas Mas Wisnu. Mas Wisnu hanya merekam apa yang dilihat, lontaran kalimat Pak Beye kepada objek kemudian menganalisa, merekamnya dengan foto. Lalu Mas Wisnu berada di ring berapa? Luar biasa, Dahsyat, Yes, Yes Yes.<br />
<br />
<br />
<br />
Banjarmasin, 30 Oktober 2010<br />
<br />
disampaikan pada bedah Buku Pak Beye karya Wisnu di Gedung Banjarmasin PostTaufik Arbainhttp://www.blogger.com/profile/17800836315785793403noreply@blogger.com0