Thursday, May 3, 2007

Mudik Lebaran ke Hulu Sungai

Amat menarik mencermati mobilitas penduduk dalam arus mudik lebaran. Aktivitas rutin tahunan ini dalam perspektif demografi justru semakin menjelaskan definisi urbanisasi, yakni tidak sekadar yang dipahami selama ini sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Tetapi terjadi sifat kekotaan baik pada penduduk maupun kewilayahan yang diikuti bertambahnya jumlah penduduk. Dengan kalimat lain, mudik lebaran akan mendukung terjadi proses urbanisasi.

Terminal dan pelabuhan sebagai sentra penduduk yang memanfaatkan jasa transportasi, khususnya di Kota Banjarmasin pada H-7 hingga H-1 menampakkan intensitas arus mudik yang semakin tinggi. Pemandangan ledakan arus penumpang demikian berpengaruh terhadap tingginya permintaan jasa transportasi, baik kuantitas alat transportasi maupun waktu angkutan. Sesuai hukum ekonomi, kondisi ini melahirkan tuslag yakni meningkatnya tarif tranportasi pada waktu yang terbatas.
Dalam tulisan ini penulis menjelaskan semua fenomena yang terjadi terhadap arus mudik dan balik lebaran pada masyarakat Banjar, dengan batasan daerah hulu sungai sebagai daerah asal (tujuan mudik).
Fenomena Mobilitas
Arus mudik lebaran dari satu tempat ke tempat lain tidak akan berlangsung jika tidak didahului aktivitas manusia berupa mobilitas penduduk, baik permanen maupun nonpermanen. Kecenderungan manusia melakukan mobilitas ini dikarenakan kota atau daerah tertentu, memberikan kemungkinan kehidupan lebih baik dibandingkan daerah yang ditempati sebelumnya (Alatas, 1988).
Jika hulu sungai kita analogikan sebagai daerah asal/induk, maka Kota Banjarmasin, Palangka Raya, Sampit, Pangkalan Bun, Kapuas, Muara Teweh, Batulicin, Kotabaru, Samarinda, Grogot dan lainnya disebut daerah tujuan (keseluruhan kota yang disebutkan penulis asumsikan paling tinggi terjadi arus mudik, selain Banjarmasin).
Dua faktor --daerah asal dan tujuan-- ini yang menjelaskan adanya fenomena arus mudik lebaran. Tidak dapat disangkal, setiap tahun menjelang Idul Fitri daerah hulu sungai akan mengalami pertambahan penduduk sesaat. Sementara daerah tujuan tempat mencari nafkah, cenderung mengalami penurunan sesaat khususnya selama musim lebaran. Meskipun arus mudik ini berlangsung setiap tahun, dalam pengamatan penulis justru jarang ditemukan atau diikuti adanya keinginan kembali menetap di daerah asal.
Kondisi seperti ini akhirnya berpengaruh positif bagi daerah tujuan. Kekuatan migran Banjar hulu sungai ini cenderung berkeinginan hidup menetap (permanen) di daerah tujuan jika cocok mencari nafkah, memberikan kesejahteraan dan keamanan hidup, ketimbang pengalaman kebanyakan migran Minang yang cenderung balik ke kampung. Situasi demikian dari beberapa teori akan menguntungkan perkembangan pembangunan daerah tujuan, karena migran memberikan saldo positif. Artinya, hasil pencarian nafkah tidak dibawa pulang sepenuhnya ke daerah asal.
Ada beberapa faktor yang menjelaskan mengapa intensitas arus mudik lebaran bagi penduduk Banjar hulu sungai di wilayah Pulau Kalimantan begitu kuat, terkecuali luar Kalimantan. Pertama, jarak. Kedekatan jarak tempuh dan kemudahan transportasi selama ini merupakan dorongan kuat melakukan mudik lebaran. Oleh Norris (1972), ini dibahasakan dalam teorinya dengan rintangan antara yang memberikan akses dalam melakukan gerak atau mobilitas. Minimnya rintangan antara ini pun memberikan kekuatan lain, semakin banyaknya anggota keluarga yang diajak mudik. Faktor jarak ini pula yang mampu mengesampingkan rintangan lain berupa tingginya ongkos mudik. Militansi mudik ini biasanya diistilahkan dengan sakakawanya bulik. Bagi mereka yang memiliki frekwensi tinggi melakukan ulang-alik (commuting) dalam setahun, memang tidak terlalu signifikan menjelaskan faktor ini. Seperti Banjarmasin atau Martapura ke hulu sungai.
Kedua, tradisi tahunan. Sejak kapan, Idul Fitri menjadi tradisi tahunan migran pulang kampung bagi masyarakat Banjar ketimbang Idul Adha. Tidak ada data atau literatur yang memberikan informasi soal ini. Namun yang jelas, rutinitas ini menjadi bagian dari esensi spritual membangun silaturahmi dengan sanak saudara serta tradisi ziarah kubur. Sementara Idul Adha digunakan untuk membangun silaturahmi di daerah tujuan dengan penduduk sekitar.
Keberadaan kerabat dekat (resistance), tersedianya rumah induk (rumah tempat dilahirkan yang masih ditempati orangtua, nenek, saudara), status pernikahan, kecenderungan mudik ke rumah orangtua istri adalah bagian terpenting terjadinya arus mudik. Jika keintiman hubungan kekeluargaan agak jauh, kecil sekali kemungkinan terjadi mudik lebaran. Kalau pun ada kubur orangtua, biasanya ziarah dilakukan sebelum lebaran seorang diri atau sekadar ditemani anak atau istri.
Dalam perspektif sosiologis, hal yang menarik selain membangun silaturahmi, kembalinya ‘sang anak’ dari madam merefleksikan status sosial tentang keberhasilannya di daerah perantauan. Ini dimanifestasikan berupa adanya kiriman zakat untuk kerabat atau orang tidak mampu di kampung. Kiriman zakat ini biasanya diberikan sebelum lebaran, keluarga dekat di daerah asal memberikan informasi tentang siapa saja yang layak menerima sekaligus menginventarisasi pengamplopan uang zakat.
Hubungan ini terus berlangsung dengan hadirnya sanak keluarga bertamu pada hari ‘H’ untuk mengucapkan terima kasih kepada pemberi zakat. Adalah sebuah kebahagiaan dan kebanggaan bagi keluarga daerah asal, ketika saudaranya atau anaknya mudik berlebaran bersama di kampung. Kehadiran ini biasanya lengkap dengan atribut keberhasilan, baik dari kelompok pedagang, jasa, pegawai negeri/swasta termasuk yang bekerja di sektor pertanian atau ‘mendulang emas’ (Kareng Pangi dan Batulicin).
Aspon Rambe (1978) dalam Migrasi Orang Alabio, cukup signifikan menjelaskan kasus mudik lebaran ini. Mengapa orang Alabio harus meninggalkan kampung halaman, karena kekayaan dianggap menunjukkan status seseorang dalam masyarakat. Penulis mengasumsikan ini salah satu motivasi orang, mengapa melakukan mudik lebaran.
Kedatangan ini biasanya selain diikuti zakat dan informasi, juga pasangan hidup dari daerah tujuan sudah berhaji, materi yang dibawa atau dikirim menuju daerah asal yang disebut remitan (remitance). Namun remitan yang dibawa kecuali zakat, tidak ada yang berdampak besar bagi daerah asal. Sangat jarang remitan yang dibawa berupa sumbangan untuk pembangunan daerah asal. Kalaupun ada, biasanya berupa sumbangan untuk pembangunan atau rehabilitas masjid dan langgar.
Arus Balik
Seperti dikemukakan di atas, sempitnya pekerjaan dan keinginan mengubah nasib membuat seseorang cenderung melakukan mobilitas ke suatu tempat yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Informasi positif dan negatif tentang daerah tujuan ini pada saat mudik lebaran dibawa oleh migran, akan direspon oleh orang di kampung asal, tentang pekerjaan yang patut dilakukan atau barang yang patut dijual di Palangka Raya, Batulicin, Kotabaru, Sampit, Muara Teweh misalnya.
Kondisi demikian yang mendorong terjadi arus balik babawaan. Tetapi di daerah ini berbeda dengan arus balik yang terjadi di propinsi di Pulau Jawa menuju Jakarta, dengan tampilan yang begitu mencolok. Arus balik babawaan ini justru terjadi pascalebaran satu hingga tiga bulan, setelah mendapatkan informasi dan alamat ‘transit’ dari migran terdahulu (karena kedekatan jarak, biasanya melakukan survai langsung daerah tujuan). Berapa jumlah penduduk yang melakukan arus mudik ke daerah asal dan jumlah penduduk berikut yang melakukan arus balik ke daerah tujuan, memang belum ditemukan data akurat.
Tetapi fenomena mobilitas arus balik ini akhirnya meningkatkan pertumbuhan penduduk daerah tujuan yang bergerak linear dengan meningkatnya angkatan kerja. Jika arus balik ini bergerak menuju daerah urban, maka semakin menjelaskan betapa intensnya proses urbanisasi baik pada wilayah (spatial), jumlah penduduk termasuk perilaku migran. Ayo Pabila Mudik?
* Dosen FISIP Unlam, tinggal di Banjarmasin
http://www.indomedia.com/bpost/112005/2/opini/opini2.htm

No comments: