Masalah yang menjadi perhatian banyak kalangan akhir-akhir ini dan sepertinya belum menemukan titik kesepakatakan adalah rencana pemindahan ibukota propinsi Kalimantan Selatan ke kota Banjarbaru. Alasan yang dikemukakan dan menjadi perhatian tidak sebatas pada isu-isu ketidaklayakan lagi Banjarmasin menjadi ibukota propinsi dalam berbagai aspek, tetapi sudah meluas pada isu konvensional untuk menjadikan Banjarmasin hanya sebatas kota jasa dan perdagangan.
Atas dasar alasan ini, muncullah rekomendasi berbagai kalangan, kota Banjarbarulah sebagai alternatif untuk dijadikan sebagai ibukota propinsi karena cukup representatif dengan kondisi infrastruktur kota yang memadai dan masih luasnya lahan dalam mendukung perkembangan kota, sehingga pertumbuhan kota tidak sekedar terkonsentrasi di Banjarmasin, namun akan meluber ke pinggiran kota sekitar.
Penulis berpendapat, dengan melihat pertumbuhan Banjarmasin dan dampak pembangunan kota sekarang dilihat dari aspek space (ruang) bagaimanapun perkembangan Banjarmasin yang sudah memasuki tahapan ekspansionis ke pinggiran-pinggiran kota di kabupaten tetangga seperti Kabupaten Banjar dan Batola plus Banjarbaru yang jelas mendukung kota-kota regional tersebut berkembang, paling tidak mendorong kota Banjarbaru sebagai kota utama kedua (primate cities) menjadi kota metropolis.
Meskipun demikian, perkembangan kota-kota lain di propinsi Kalimantan Selatan pertumbuhannya akan bergerak lambat, jika kota Banjarbaru dijadikan sebagai ibukota propinsi.Alasan sederhana yang bisa dikemukakan karena Banjarbaru sebagai kota utama kedua Kalsel masih dalam lingkup satu konsentrasi perkembangan dengan kota utama pertama (Banjarmasin) dengan kedekatan jarak hanya mencapai 30 km, sementara kota-kota di kabupaten lain perlu adanya pusat pertumbuhan. Dengan melihat aspek tata ruang wilayah, perkembangan kota, mobilitas penduduk dan pekerjaan, luas lahan dan kepadatan penduduk serta sosial ekonomi kedepan, tepat jika kota Kandangan dijadikan sebagai ibukota propinsi Kalimantan Selatan dibandingkan Banjarbaru.
Problem Kota Tua
Tulisan Todaro (1981) mengenai migrasi desa-kota cukup relevan dijadikan rujukan dengan kasus Banjarmasin bagaimana ia menekankan betapa gawatnya ketika muncul gejala urbanisasi berlebih dimana kebijakan hanya menekankan pada satu titik pertumbuhan yang mementingkan kota. Pengabdian terhadap desa semakin menyebabkan dan merangsang kaum miskin desa untuk bermigrasi ke kota dengan segala konsekuensi ekonomi dan sosial. Dalam konteks Banjarmasin sekarang, hal ini menarik diketahui sebab-musabab kecenderungan tersebut. Fakta-fakta kesesakan lalu-lintas, munculnya pemukiman baru termasuk pemukiman kumuh dan pesatnya perkembangan pembangunan infrastruktur kota mencerminkan bahwa kota Banjarmasin menuju ke arah kota besar, meskipun dalam perspektif jumlah penduduk belum mencapai 1 juta jiwa.
Laporan BPS tahun 2000 menyebutkan tingkat kepadatan penduduk mencapai 7.325 jiwa per-km2. Sementara tahun 1990 mencapai 6.685 jiwa per-km2 dengan laju pertumbuhan penduduk hanya mencapai 0,91 persen pertahun selama sepuluh tahun terakhir. Laju pertumbuhan penduduk yang terungkap dari data tersebut termasuk kategori rendah dan tidak signifikan dengan realitas perkembangan kota Banjarmasin. Data tersebut hanya meregistrasi penduduk yang tinggal permanen, sementara arus migrasi penduduk menuju kota sangat kuat disamping tidak terregistrasi sebagai penduduk tetap. Analisis ini juga menjelaskan berkembangnya kabupaten-kota yang berbatasan langsung dengan kota Banjarmasin. Kabupaten Banjar, Batola dan kota Banjarbaru sebagai bagian konsentrasi mengalami pertambahan penduduk yang meluber dari kota Banjarmasin akibat berkurangnya lahan dan kenyamanan untuk pemukiman bagi penduduk.
Fakta kuatnya arus migrasi yang tidak terkendali menuju satu titik pertumbuhan tidak menguntungkan dalam upaya pengembangan wilayah. Ini suatu kelemahan dalam sistem ekonomi yang selalu mementingkan "modernisasi" industri, jasa dan perdagangan disamping melemahkan pertumbuhan wilayah lain yang di"buat" dependen oleh kota utama (primate cities). Ini adalah masalah pembangunan yang cukup berat dihadapi propinsi Kalimantan Selatan di masa mendatang.
Realitas yang bisa diungkap adalah tingkat pertumbuhan penduduk di wilayah Banua Lima menunjukkan angka rendah bahkan minus karena arus migrasi meninggalkan daerah baik menuju Banjarmasin, Kota Baru, Pelaihari maupun Kalteng dan Kaltim semakin meningkat karena meningkatnya pertumbuhan kesempatan kerja. Bukti-bukti rasio jenis kelamin misalnya memberikan penjelasan jumlah penduduk laki-laki mencapai angka dibawah 100 yang berarti berkurangnya penduduk laki-laki. Migrasi ini akan berkurang jika rangsangan ekonomi untuk pindah tidak ada lagi. Artinya jika ada dukungan keseimbangan titik pertumbuhan yang tidak terkonsentrasi satu pusat.
Apalagi rata-rata kepadatan penduduk Banua Lima Plus yang mencapai dibawah 100 jiwa per-km2 tidak menguntungkan dalam perspektif ekonomi. Sementara sebaran penduduk dalam suatu pemukiman akan memiliki skala ekonomi apabila tiap Km2 terdiri paling tidak 300 KK (Maulani,200:16). Semisal menjawab persoalan ini dengan merangsang pertumbuhan penduduk lewat hadirnya kebijakan transmigrasi, penulis berpendapat tidak relevan lagi untuk Kalsel dalam konteks proporsi luas wilayah bahkan akan menghadirkan konflik baru antara penduduk setempat dengan pendatang.
Langkah Strategis
Sebagaimana adanya kebijakan pengembangan wilayah industri dan pendidikan menuju kota Banjarbaru masa lalu merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka pengembangan wilayah setidaknya sepanjang jalan negara. Konsep ini sama halnya ketika Pemerintah Belanda membangun jalan tersebut menuju Banua Lima guna memudahkan pengawasan terhadap penduduk karena terkonsentrasi dalam kelompok bubuhan (Potter,1998). Sekitar seabad lalu, pemerintah kolonial merencanakan pengembangan wilayah ke arah pedalaman (Banjarbaru sekarang) sebagai pusat pemerintahan. Logikanya, pertumbuhan pembangunan tidak difokuskan pada satu titik saja, apalagi titik pertama kota tua (Banjarmasin) sebagai bandar utama gerbang laut diyakini tidak akan surut.
Faktanya saat ini, perkembangan Banjarmasin sebagai kota utama tempat artikulasi globalisasi dan integrasi regional. Dalam konteks ini wilayah Banjarbaru telah bergeser tidak lagi sebagai pusat pertumbuhan yang berdiri sendiri dengan kekuatan mengambil alih fungsi ibukota propinsi, tetapi sudah bergerak satu konsentrasi dengan pertumbuhan kota Banjarmasin seiring Kabupaten Batola dan Kabupaten Banjar. Karena ada kawasan lain yang perlu keserentakan pertumbuhan pembangunan dan pengembangan wilayah (regional development) dengan mensupplai alih fungsi Ibukota propinsi.
Di sinilah pemahaman pembangunan Kalimantan Selatan mendatang dalam pengembangan wilayah (regional development) perlu memiliki tiga integrasi regional yakni Banjarmasin, Banua Lima Plus dan Batulicin. Integrasi regional pada kawasan Banua Lima Plus akan mengalami pertumbuhan sejalan dengan kedua integrasi Banjarmasin dan Kapet Batulicin apabila pemindahan ibukota propinsi di kota Kandangan sebagai satu-satunya alternatif yang murah dan mudah dalam mengkonsentrasikan elit ekonomi, politik dan budaya sebagaimana Banjarmasin, Banjarbaru dan Batulicin. Analisis Ginsburg (1976) sebagaimana ia melihat perkembangan kota-kota di Asia Tenggara, ketika suatu kota menjadi kota utama dan terkonsentrasinya elit-elit disertai institusinya semakin menguatnya eksistensi wilayah dan menguatnya proses perubahan sosial politik, ekonomi dan budaya.
Posisi kota Kandangan yang menurut penulis sebagai Banua Lima Plus Center bahkan Kalimantan Selatan Raya Center, tidak akan menurunkan derajat keutamaan kota Banjarmasin dan Banjarbaru karena masing-masing memiliki keunggulan komparatif baik sebagai kota Jasa dan Perdagangan maupun sebagai kota Jasa dan Pendidikan. Disinilah paling tidak urbanisasi penduduk terdistribusi ke beberapa kota dan menghadang arus urbanisasi berlebih sebagai ancaman kompleksitas kota. Potensi geografis yang strategis yang menghubungkan tiga kawasan penting, apalagi akses jalur transfortasi menuju sebelah timur Kawasan Terpadu Batulicin yang notabene pelabuhan laut Kalsel mulai rampung.
Di samping itu sebelah barat adanya sungai amandit menuju perairan dan kota legendaris Negara Daha. Kemudian akan sangat menguntungkan jika isu pembentukan propinsi Barito Raya dengan Ibukota propinsi di Buntok semakin menguat, maka persiapan Kandangan menjadi ibukota propinsi sangat layak dan tepat saat ini seperti rekomendasi pikiran Todaro bahwa perlunya pembangunan yang mementingkan pertumbuhan tidak sekedar terfokus pada perkotaan tetapi pedesaan/kota kecil sebagai titik pertumbuhan baru.
Selanjutnya tumbuhnya zona-zona ekonomi baru karena perkembangan kota dan investasi pemerintah di bidang sarana umum melahirkan kreatifitas dan aktifitas ekonomi baru bagi penduduk. Kota-kota sekitar Kandangan seperti Tapin, Barabai, Amuntai, Tabalong dan Balangan akan mengikuti ritme Kota Kandangan, dan ritme tersebut seirama dengan pertumbuhan di dua kawasan lainnya. Kota-kota yang disebutkan di atas akan membentuk kota-kota khas sebagai bagian dari kota utama (primate cities) bahkan bisa di"kota utamakan" sebagaimana kota Palangka Raya sekarang.
Kabupaten HSS dengan luas wilayah 1.804.92 Km2 dan tingkat kepadatan penduduk 108 jiwa per-km2 dengan kondisi wilayah 72 persen mempunyai tekstur sedang dan tekstur halus 28 persen dari luas wilayah memberikan dukungan dijadikannya ibukota propinsi Kalsel selain faktor-faktor strategis seperti dijelaskan di atas dalam perspektif pertumbuhan pembangunan dan pengembangan wilayah Kalimantan Selatan Raya.
Sebagaimana banyak kajian pertumbuhan kota-kota di Asia Tenggara, dalam konteks Kalimantan Selatan Banjarmasin sudah tepat menjadi kota utama pertama dengan kekuatan sebagai kota Jasa dan Perdagangan. Sementara Banjarbaru sebagai kota utama kedua dengan kekuatan sebagai kota Jasa dan Pendidikan. Integrasi regional kawasan ini akan mendukung percepatan kota-kota sekitarnya seperti Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru sebagai kawasan industri dan kekhasan lainnya. Sementara integrasi regional Banua Lima Plus akan mengalami percepatan pertumbuhan dengan kekuatan masing-masing kabupaten. Namun jawaban yang tepat adalah perlu pusat kota utama baru dengan menjadikan Kandangan sebagai ibukota propinsi Kalsel.
Ini sebuah gagasan untuk menjamin keberlangsungan pengembangan wilayah (regional development) Kalimantan Selatan yang sinergi. Cuma persoalannya masih ada pikiran-pikiran tidak rasional dan naif untuk memindahkan ibukota hanya karena keinginan para pejabat yang tidak mau pindah rumah tinggal ke luar kota utama pertama. Mungkin kita perlu belajar seperti Palangkaya, Kalteng!
Oleh Taufik Arbain
Divisi Program Center for Development Studies Kalsel Mahasiswa Pascasarjana Studi Kependudukan UGM Yogyakarta
http://www.indomedia.com/bpost/062003/16/opini/opini1.htm
2 comments:
Satu gagasan yang menarik. Tapi sayangnya nampaknya tak ada tanggapan dari mana-mana pihak(?). Kenapa begitu?
Umaayyy...bungas banar mun kandangan jadi ibukota propinsi. Kada ngalih lagi kita beurusan ke Banjarmasin. Ulun dukung 101%. majulah kandangan...
Post a Comment