Tuesday, November 4, 2008

Trotoar Hilang

Oleh Taufik Arbain

Trotoar adalah lintasan yang diperuntukan bagi pejalan kaki. Trotoar dibangun di sisi jalan utama untuk memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi pejalan kaki dari kerawanan kecelakaan. Trotoar dibangun dominan di kawasan perkotaan, selain didasari oleh banyaknya lalu lalang kendaraan bermotor, juga memberikan keindahan kota yang memberikan kenyaman bagi warga kota.

Tapi apa pasal hilangnya trotoar di kawasan Jalan A. Yani? Pertanyaan ini mengusik saya. Lalu teman saya bilang dengan spontan, ” karena tidak ada yang berjalan kaki lagi, dan semua naik kendaraan bermotor!”. Berarti orang Banjarmasin sudah kaya-kaya dong! Teman saya kemudian melanjutkan soal kaya. ”Ya kaya masalah, kaya sakit hati dan kaya kasangkalan”.
Rupanya visi-misi Pak Wali dan Wawali ingin menjadikan masyarakat Banjarmasin yang aman dan sejahtera, hanya dalam tataran konsep saja. Atau barangkali tataran sejahtera indikatornya hanya dalam perspektif ekonomi dan material dengan ketercukupan kebutuhan hidup, bukan dikonstruksi dengan dukungan indikator lain. Nyatanya itupun belum mampu dirasakan dalam batasan minimal. Sebab selama ini warga kota bergerak dengan irama yang telah mereka konstruksi sejak dulu sebelum adanya konsep sejahtera Pak Wali dan Wawali. Ujar orang Hulusungai, buhannya hidup babibisa saurang haja, supaya bisa bertahan hidup dalam persaingan yang ketat.
Kembali ke soal trotoar. Hilangnya trotoar mendorong saya bangun pagi-pagi di hari Minggu untuk menyaksikan orang-orang yang berolahraga. Tak syak lagi. Mereka yang berolahraga di pagi Minggu yang semula seperempat memakan badan jalan jalur kiri atau kanan, dengan hilangnya trotoar tergeser ke pinggir memperluas ruang jalan bagi kendaraan bermotor. Nyatanya, kendaraan bermotor masih handak mamakan pawa (mengambil ruang pejalan kaki). Alasan mereka yang berkendara sederhana saja, bila ada jalan warna hitam dan beraspal berarti adalah hak penuh bagi yang berkendara. Kasiannya pang!
Saya melihat fenomena ini mencoba mengkontruksi dengan teori Max tentang pertentangan kelas. Max melihat bahwa kelompok kapital cenderung merebut ranah-ranah orang miskin untuk menjadikan mereka sebagai objek produksi dan pasar. Kelas burjois-kapital yang minoritas selalu diuntungkan oleh kebijakan negara untuk merebut hak-hak kelompok egaliter yang mayoritas.
Pertanyaannya adalah apakah Pemkot telah mementingkan kelompok kapital yang berduit dibandingkan kelompok warga kota lainnya yang pejalan kaki? Atau kebijakan menghilangkan trotoar karena pertimbangan sudah tidak ada lagi pejalan kaki, dan semua orang harus mengeluarkan duit untuk berkendara dan serendah-rendahnya naik taksi atau angkutan kota?
Jika benar, rupanya kota ini sangat tidak ramah dengan publik pejalan kaki. Apalagi kota ini tidak suka keindahan trotoar yang dibangun berdampingan dengan pepohonan. Katanya mau menjadikan kota Banjarmasin yang nyaman,indah dan hijau.
Soal tidak ramah dengan publik pejalan kaki ini, saya teringat bagaimana anak-anak orang miskin yang tidak cukup memiliki duit untuk masuk ke kawasan kebun binatang Ragunan Jakarta untuk bermain dan menyaksikan habitat hewan di sana. Anak-anak yang bermukim di sekitar kawasan ragunan hanya bisa bermain memanfaatkan lahan kosong. Pemandangan yang kontras dari sebuah pertentangan kelas. Fenomena semacam ini rupanya terjadi dengan hilangnya trotoar di Banjarmasin.
Saya kemudian berdiaspora dalam analisa yang lain. Bahwa jangan-jangan penghilangan trotoar sebagai strategi untuk meniadakan area bagi PKL yang biasanya memanfaatkan badan trotoar sebagai tempat berjualan. Asumsinya jika trotoar hilang, maka area PKL sempit dan berbatasan langsung dengan selokan besar. Intinya Kada kawa bajualan buhannya, dan fakta memakan badan jalan dijadikan alasan mengganggu lalu lintas bagi mereka yang berkendara. Di tangkap!!! Jadi sekali lagi kota tidak ramah bagi pejalan kaki dan orang miskin. Sulit berharap memberikan kesejahteraan***

No comments: