Oleh: Taufik Arbain
Tadi malam saya menyaksikan acara Metro Files Metro TV yang menayangkan perjuangan para putera bangsa dalam memperjuangkan pendidikan bumi putera dari keterkungkungan masa penjajahan, baik dilakukan oleh personal, kelompok maupun organisasi kemasyarakatan di masa itu. Pandangan Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangkan bangsanya tidak sebatas mengajarkan berhitung, menulis, membaca dan budi pekerti, tetapi memperjuangkan pendidikan yang demokratis.
Ungkapan Ki Hajar Dewantara yang menarik adalah;” …mereka yang bersekolah di Taman Siswa harus melepaskan gelarnya baik Raden Mas, Kanjeng atau lainnya. Namun ditetapkan kalau laki-laki menjadi “ Ki” dan kalau perempuan menjadi “ Nyi”. Ini bertujuan agar semua yang bersekolah tidak ada perbedaan satu sama lain.
Dibandingkan sekarang, factor kultur yang masih sulit orang untuk menyekolahkan anak karena faktor nilai anak untuk bertahan hidup dan tekanan pihak pemerintah Hindia Belanda, masih sempatnya memikirkan pendidikan yang demokratis terhadap peserta sekolah agar memiliki kesetaraan yang sama dalam aspek status sosial.
Pendidikan hari ini, terkadang masih kita dapatkan institusi pendidikan yang tidak menyentuh nilai-nilai luhur dari para pendahulu. Padahal tujuan pendidikan merupakan proses panjang memanusiakan manusia.
Ungkapan Ki Hajar Dewantara ini, mengingatkan saya pada pengalaman Sekolah Dasar di kampong. Pada masa itu ada perlakuan istimewa dari guru terhadap murid yang kebetulan orang tuanya seorang PNS atau Polisi, dibandingkan dengan anak-anak petani yang sekolah tanpa alas kaki kala itu.
Kemudian nasib serupa hadir lagi semasa SMP. Betapa tidak lomba pidato dan mengarang antar kecamatan hingga kabupaten, mereka anak-anak kelas menengah pula yang direspon dan mendapatkan juara I. Saya hanya mendapatkan juara III lomba Pidato tingkat Kabupaten. Demikian pula di tingkat SMA, jika kelompok kegiatan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) ada anak kelas menengah semisal ayahnya pejabat, maka aparat dinas pendidikan juga memperlakukan sangat istimewa.
Nyatanya ini masih berlaku dalam dunia pendidikan. Saya sangat miris mendengar mahasiswa di Unlam khususnya Fakultas Kedokteran. Apabila mahasiswa yang kebetulan anak pejabat atau anak dokter masih ada perlakukan yang diskriminatif ini.
Jika hari ini kita ramai memperbincangkan biaya sekolah yang mahal, rendahnya gaji guru, rendahhya honor guru honor, tidak memadainya fasilitas sekolah, sekolah yang bocor, tidak kompetennya guru yang mengajar mata pelajaran maupun sekolah-sekolah terpencil yang kekurangan guru.
Maka kenyataannya juga masih ada fakta tidak demokratis dalam proses belajar dan perlakuan-perlakuan ketidakadilan masih mewarnai dunia pendidikan hari ini. Jadi adalah sebuah pikiran cerdas Taman Siswa jauh kedepan memikirkan bahwa pendidikan yang demokratis adalah saham yang mendorong tingginya partisipatif dan semangat anak bangsa bersekolah.
Ironisnya hari ini, nampaknya soal pendidikan justru semakin kompleks. Buru-buru memikirkan pendidikan yang demokratis, soal fasilitas, sekolah mahal bagi orang miskian dan rendahnya gaji saja belum tuntas diselesaikan di negeri yang sudah 60 tahun lebih merdeka ini.
Kemirisan ini semakin menjadi ketika adanya insentif guru yang belum dibayar oleh pemerintah daerah. Insentif yang berkisar Rp. 60 ribu hingga Rp. 100 ribu perbulan ini diperuntukan bagi guru honor. Parahnya ada saja kelakuan aparat dinas dengan alasan birokratis tidak jarang insentif yang dibayar rapelan ini, dipotong mencapai 10 hingga 20 persen. Sudah lambat dibayar, disunat lagi. Padahal mimpi dan harapan untuk keperluan ini- itu bagi guru harus sebagian tidak tercapai.
Kelompok-kelompok ini adalah mereka yang tidak memahami tujuan utama pendidikan dan nilai-nilai luhur diantara rumitnya memetakan sengkarut persoalan pendidikan di negeri ini. Jadi apakah kebijakan dan perilaku aparat yang menyebabkan guru berperilaku jauh dari nilai-nilai luhur yang diajarkan Ki Hajar Dewantara? Ataukah kedua kutub memang melakukan hal yang sama.
Namun yang jelas, aparat penyunat honor guru, mark up pembangunan fasilitas pendidikan (korupsi) dan guru yang diskriminatif boleh jadi adalah sebenar-benarnya Teroris Pendidikan! Jadi kita mesti menjadi guru yang sejati, belajar dari pengalaman hidup yang pahit***(Idabul, 4 Mei 2009)
No comments:
Post a Comment