Oleh: Taufik Arbain
Gempa di Sumatera memang menyisakan kesedihan dan gundah gulana. Hampir ribuan saudara kita di sana harus tewas, termasuk yang tersisa dengan luka-luka dan patah tulang.
Miris hati ketika mendengar keluhan korban yang masih hidup, bernaung diantara reruntuhan rumah yang bias dibayangkan rata-rata rumah tangga yang terkena korban gempa tidak memiliki aset atau uang yang bisa dijual atau dibelanjakan.
Uluran tangan para dermawan dan relawanlah yang setidaknya mampu mengurangi beban mereka.
Solidaritas pengumpulan dana pun berlangsung seluruh nusantara, baik atas nama institusi pemerintah daerah,swasta maupun masyarakat. Menariknya politisi di Senayan pun segera ambil bagian untuk menunjukkan kepedulian nyata dengan memberikan gaji pertamanya untuk korban gempa di Sumatera.
Politisi kalangan artis dari salah satu partai politik ini segera mengambil langkah populis sebagaimana pendekatan yang dilakukannya sebelum masuk ke Senayan. Menurutnya, sebagai bukti wakil rakyat prihatin atas korban gempa,dirinya menyerahkan gaji pertamanya untuk korban gempa.
Tidak sedikit masyarakat memuji dan terkesima dengan langkah yang diambil politis kalangan artis tersebut. Bahkan ada masyarakat, termasuk di daerah ini berkomentar,” han..tapintar buhan artis jadi anggota DPR, langsung melakukan aksi nyata”. Begitulah komentar banyak orang terhadap langkah nyata dilakukan politisi tersebut.
Perilaku politisi ini sebenarnya menarik untuk dikaji. Sebab selama ini ada kecenderungan politisi bersikap dan berperilaku latah terhadap fenomena yang terjadi. Latah adalah sinomin perilaku uumpatan, ikut-ikutan (follower) dari apa yang dilakukan orang lain, apalagi sifatnya masal dan mendapat respon publik sebagai objek berharga dalam membangun pencitraan sebagai kepentingan personal campagne.
Ketika publik sudah memberikan pembenaran salah satu perilaku populis ini sebagai sebuah bentuk nyata kinerja yang paling gampang dinalar oleh publik, maka disitulah sudah mulai hadir keterjebakan pandangan publik bahwa kerja-kerja anggota DPR atau DPRD adalah sebatas dan sesempit itu.
Menurut saya ini bentuk nalar publik yang membahayakan yang diciptakan sendiri oleh para politisi untuk kepentingan personal campagne. Sangat gampang mengidentifikasi bentuk-bentuk perilaku populis politisi yang mengarah pada nalar sempit publik dan situasi keterjebakan ini. Bukannya melakukan pendewasaan politik rakyat sebagai bagian dari demokratisasi, tetapi justru melakukan bentuk-bentuk pembodohan yang dibungkus dengan symbol-simbol kebaikan dan kedermawanan.
Perilaku ini, saya teringat ucapan Mario Teguh pada acara MTGW di Metro TV,bahwa seseorang terkadang terlihat berbuat kebaikan, namun sebenarnya dirinya itu menunjukkan ketidakcerdasannya. Dalam konteks ini kita bias melihat siapa saja politisi termasuk yang ingin jadi Bupati, Walikota termasuk Gubernur melakukan tindakan populis seperti ini?
Memberikan sumbangan secara personal kepada pihak yang sangat memerlukan tidaklah keliru sebagai bentuk aksi nyata solidaritas . Tetapi mengapa dikesankan dari gajinya kepada publik?
Inilah yang saya katakan bungkusan simbolik yang menjebak dan membuat nalar public terkesan sempit. Publik tertutup nalarnya untuk membedakan mana kerja-kerja dewan sebenarnya yang paling penting seperti mengawal dan mengontrol anggaran pembangunan dari korupsi lewat perdebatan dan pembahasan kebijakan dibandingkan dengan perilaku populis dari sekedar memberikan gaji pertama sebulan penuh kepada korban gempa!
Kecerdasan sebenar seorang anggota parlemen adalah kemampuan dirinya menyelamatkan uang rakyat dari korupsi, mengoptimalkan pemanfaatan anggaran untuk pembangunan dan membuat regulasi untuk mencapai kesejahteraan, bukan latah perilaku populis yang murahan.
Nah, untuk ukuran anggota parlemen pusat, mana dari kalangan artis yang menjadi “macan” dan militant membahas kebijakan yang urgensial? Tidak ada ditemukan dalam sejarah parlemen Indonesia. Apakah politisi lain yang lebih cerdas harus latah demikian yang sebenarnya menyempitkan nalar public dalam memahami tugas dan fungsi anggota parlemen.
Cukuplah sudah bentuk-bentuk populis demikian, di banua ini saja menjelang Pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota sudah banyak kita saksikan penjebakan nalar publik yang sempit seperti pembungkusan dalam nuansa keagamaan oleh para politisi yang diniatkan mengejar kekuasaan. Mungkin ini tanda-tanda kiamat, jika perilaku umara menyerupai ulama, atau memang sebaliknya**(idabul, 12 Oktober 2009)
No comments:
Post a Comment