Thursday, October 3, 2013

Zakat Rp.50 Ribu

Oleh: Taufik Arbain
Kasus menginap, menduduki dan demonstrasi para buruh Daya Sakti Group di Gedung Dewan menjadi perhatian banyak pihak. Tidak tanggung pejabat daerah dari Gubernur, Wakil Gubernur, Kepala Instansi berwenang termasuk anggota DPRD Kalsel turut serta memberikan apriasiasi terhadap tuntutan para buruh berkaitan dengan Gaji, THR dan PHK yang jelas dari pihak perusahaan. Intinya, para buruh tidak akan meninggalkan gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan mereka dipenuhi.

Rupanya sekretariat dewan dan Pemprov melihat fakta ini, mau tidak mau harus mengalihkan Prosesi Pelantikan Para Wakil Rakyat Kalsel Periode 2009-2014 ini harus ke Gedung Mahligai Pancasila (semula sewaktu awal ke Banjarmasin saya mengira gedung ini bernama Pendopo Pancasila, karena saking kuatnya hegemonik budaya Jawa di Indonesia sehingga setiap gedung pertemuan selalu dinamakan Pendopo, bukan mahligai atau balai).
Pasca pelantikan sebagaimana diberitakan media, wakil rakyat luar biasa mau menemui para demonstran buruh PT Daya Sakti Group untuk mendengarkan keluhan mereka bahkan menyarankan agar menghentikan kegiatan, sebab dewan yang akan mengagendakannya lewat rapat-rapat dewan di gedung DPRD Kalsel yang saat ini mereka duduki.
Saking baik hati dan dermawannya salah seorang anggota DPRD Kalsel kemudian menawarkan angka Rp. 50.000,- sekali lagi uang sebesar Lima Puluh Ribu Rupiah untuk diberikan kepada demonstran yang berjumlah sekitar 1.500-an orang tersebut. Sebuah angka yang “baik hati” dikeluarkan untuk 1.500-an. Jar urang Banua Kaliakan hanya saurang betapa banyaknya. Padahal belum menerima gaji lagi beserta tunjangan lainnya.
Angka Rp.50.000,- diberikan adalah dana dengan status zakat (kalau dihitung sekitar Rp.75 juta yang harus dikeluarkan), bukan status sadaqah atau status yang lain, apalagi BLT versi Pemerintah untuk orang miskin menurut indikator BPS. Pemberian dana zakat kepada para buruh yang demo diberikan dengan syarat agar pulang dan meninggalkan kegiatan aksi demonstrasinya agar memudahkan kerja dewan memakai gedung tersebut. Apabila tidak memenuhi syarat yang dimaksud, maka dana zakat batal diberikan. Dan buruh pun memilih yang terakhir untuk terus melakukan aksinya hingga terpenuhi tuntutan kepada perusahaan.
Membaca pemberian zakat dengan ikatan kepentingan, saya jadi bertanya-tanya? Hukum zakat yang mana pula digunakan sang politisi sehingga kalau ditafsirkan dalam bahasa fatwa, “barangsiapa yang tidak mengindahkan meninggalkan gedung dewan dalam berdemonstrasi, maka gugurlah akan ia penyerahan zakat itu”.
Saya mencoba bertanya kepada ahli agama tentang soal zakat dan siapa saja yang pantas menerima zakat, termasuk niatan dan afdholnya kepada siapa saja diberikan. Tak satu pun fatwa jika ditafsirkan pemberian zakat berkaitan dengan kepentingan pragmatis lebih-lebih terkesan politis.
Analisis akademis saya bergerak. Bagaimana bisa seorang wakil rakyat bisa memainkan hati orang dan seenaknya mendermakan harta dengan cara-cara yang tidak etis dalam menyelesaikan masalah publik. Ini adalah persoalan publik, yang ditangani dengan cara politis dan manajerial, bukan individual. Sangat terkesan ketidakcerdasan yang ditunjukkan, tidak bisa membedakan perilaku dalam institusi publik dengan institusi privat. Buruh adalah rakyat, masa diperlakukan seperti segerombolan orang yang melakukan aksi, kok bisa diselesaikan dengan berpikir cash and carry, dikasih duit selesai dan pulang. Ironisnya lagi, uang tersebut dibahasakan sebagai zakat, dan jika tidak mau memenuhi syarat maka kada jadi. Kalu handak membarii, tak perlu pakai syarat, apalagi logistik demonstran semakin menipis.
Sekalipun menurut orang awam apa yang dilakukan itu sebagai sesuatu kedermawanan, tetapi ketika masuk dalam ranah publik terlebih institusi yang disandang, ianya bukanlah sesuatu yang pantas dilakukan. Ini menyangkut etika politik dan lebih dari itu mempermainkan “kebanyakan duit” dalam bahasa agama (zakat) dengan segala kepentingannya.
Ini pikiran yang sangat naïf dan menyesatkan bagi seorang anggota dewan jika paradigma berpikir selalu dengan duit-duit. Pola berpikir cash dan carry ini membawa dampak pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sebab ianya tidak mengedepankan berpikir analitis, sistematik dan mengedepankan pengambilan keputusan yang berorientasi pada pemenuhan keadilan dan hajat orang banyak. Ianya cenderung kearah arogansi dan individual.
Dalam ranah pengambilan keputusan publik, cara/model berpikir seperti ini jika terjadi pada lebih separo dari anggota dewan yang ada misalnya, maka Institusi Wakil Rakyat yang akan datang mirip perusahaan milik para komisaris yang mementingkan keuntungan jangka pendek. Niscaya Rakyat Kalsel tidak akan bisa berharap banyak pada keputusan publik yang berorientasi keadilan dan keberpihakan. Perlu dibangun penyadaran bagaimana menghargai orang lain, tanpa harus dengan ukuran duit. Kita mengkhawatirkan, jika pola pikir demikian merambah pada figur-figur calon pemimpin daerah. Terjadi pada anggota DPRD yang keputusannya bersifat kolektif saja sudah membahayakan, apalagi jika pada figur calon pemimpin daerah. Bangaatt lagi!!! Kata orang Kelua!.(idabul, 14 September 2009)



No comments: