Nasib Banua
oleh: Taufik Arbain
Minggu lalu saya bersama rombongan para elit Universitas Lambung Mangkurat ke LIPI Jakarta untuk melakukan kerjasama dan diskusi banyak hal baik tentang kajian-kajian penelitian ilmu eksak maupun non eksak. Saya begitu takjub bagaimana ilmuwan LIPI menyimpan koleksi aneka ragam flora dan fauna nusantara yang bahkan di daerah asalnya sudah tidak ditemukan lagi.
Dalam kunjungan tersebut saya merasa bangga menjadi rakyat Indonesia, sebab jutaan flora dan fauna atau potensi sumber daya alam terdokumentasi dengan baik.
Fakta ini memberikan saya inspirasi bagaimana Pemerintah Daerah ini dan Universitas Lambung Mangkurat sekiranya mampu membuat pusat kajian seperti LIPI, meskipun dalam lingkup kecil untuk mengkoleksi, meneliti berbagai aneka ragam flora dan fauna di banua ini sebagai sarana pengetahuan, research dan wisata ilmiah di daerah.
Diskusi pun terus dilanjutkan dengan masalah-masalah nasional seperti ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah. Termasuk soal kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam, kelangkaan BBM dan sumber energi listrik.
Saya begitu tertarik dengan hasil temuan di sektor pertanian, mesin pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga air dan berbagai turunan produk teknologi yang arahnya pada peningkatan dan kecejahteraan ekonomi.
Meskipun temuan-temuan tersebut bagi saya lebih mengarah pada hasil kajian ilmu-ilmu eksak baik ilmu pertanian maupun teknik sipil, tetapi dalam perspektif sosial sangat menarik hasil temuan tersebut ditransformasikan dalam bentuk kegiatan yang mengarah pada ranah manajemen/pengelolaan dan pemanfaatan yang lebih luas.
Dengan bahasa lain, bahwa perguruan tinggi UNLAM bisa bekerja sama untuk mengembangkan pemanfaatan temuan-temuan tersebut dalam menjawab pemanfaatan dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan-perusahaan besar di banua ini. Sebab selama pelaksanaan CSR dalam rangka membangun relasi masyarakat, perusahaan dan pemerintah seakan hanya memenuhi kewajiban saja yang terkesan tidak kontinu dan permanen.
CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan", dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata hanya berdasarkan faktor keuangan belaka seperti halnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekwensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Saya miris ketika mendapatkan fakta dari diskusi dengan seorang teman, bahwa sebenarnya dana yang dikeluarkan perusahaan lewat CSR tidak seberapa dari keuntungan yang didapatkan perusahaan, termasuk dana yang didapat dari pemerintah pusat. Contoh saja dari aktifitas pertambangan batu bara yang semuanya merusak lingkungan.
Alasan adanya perusahaan tambang mampu menampung tenaga kerja, ternyata tidak sebanding dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Negara dan banua ini benar-benar tergadai. Bayangkan pada UU Migas No 22 Tahun 2001 Pasal 22 ayat 1 bunyinya membuat kita terperangah bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Maka 75 % lebih hanya untuk ekspor tanpa menjamin pasokan dalam negeri.
Tidaklah heran jika sekarang kondisi pasokan sumber energi listrik banua berkurang dan sering padam. Pertanyaannya ada apa dengan negeri dan banua ini?
Banua ini telah digadaikan oleh para penguasa dan pengusaha kepada bangsa asing lewat para anggota parlemen dan eksekutif yang membuat dan mensahkan undang-undang tersebut.
Sepertinya jargon-jargon para politisi untuk memakmurkan masyarakat jauh panggang dari api. Bagaimana tidak, orientasi kekuasaan menghalalkan bagi mereka untuk mengeruk apa saja yang diperlukan para pengusaha dan agen bangsa asing agar mampu merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Apa yang salah dengan banua ini harus menjadi bulan-bulanan dari grand desain politisi di Jakarta sana? Saya khawatir, hal ini justru akan membuat rakyat di daerah kembali meneriakkan untuk berpisah dengan republik tercinta ini karena sebuah grand desain yang menyengsarakan akibat digadaikan para pemburu kekuasaan.
Saya katakan kepada Rektor, bahwa negeri ini telah mengikuti ideologi pasar bebas, efisiensi dan mengurangi peran negara. Gejalanya termasuk UNLAM ikut-ikutan menjadi sebuah perusahaan karena negara tidak mampu lagi mensubsidi pendidikan. Bagaimana dengan andil perusahaan besar di banua sehingga pendidikan di banua yang kaya SDA ini rakyatnya harus mahal mengecap pendidikan. Saya katakan mungkin besok para dosen tidak mampu menyekolahkan dan menguliahkan anaknya.
Jika begini adanya, rasanya lelah sudah hidup bersama republik. Bagaimana dengan Manajemen Ilahiyah, apakah bisa menstop fakta ini? Terlalu!!! Kata Rhoma Irama.*** (Idabul Mata Banua, 21 Juli 2008)
1 comment:
Assalam.
Perkenalkan saya baru tinggal di Banua.
Saya sepakat dengan bapak, banua sangatlah kaya SDA tapi keropos dalam pengelolaan SDM. Sangat sulit dinalar dengan kekayaan seperti ini pendidikan ( sekolah formal ) masih harus bayar. Kenapa harus sekolah tingi?dah tinggi susah lagi cari kerjaan.Mending ga sekolah nyopir truk batubara gaji 5jt perbulan. Tidakkah konyol? Pengalaman saya di Jogja, di sana kebetulan saya aktif di AMM ( pemuda Muhammadiyah ) ketika gempa bumi melanda Jogja, dengan bekal sangat minim tidak sampai ratusan juta kita bisa bantu menghandle sekolah2 Muhammadiyah yang rusak kena gempa dan mensubsidi buku pelajaran dan alat sekolah lainnya.
Saya prihatin dengan republik ini.Benar pak kita lelah, sayapun juga lelah bahkan banyak orang kecil yang sudah putus asa bahkan memiliki asa-pun tidak sempat! Tapi bapak sebagai dosen,ilmuwan, cendekiawan,guru dan yang paling penting bapak mempunyai kedudukan yang lebih dekat ke titik kekuasaan.Maka selayaknya jangan pernah redup sedikitpun untuk menyuarakan hal tersebut. Bapak lebih memiliki kesempatan daripada kami.
Mohon maaf bila ada salah kata.
salam,
Amron
Post a Comment