Uang Terima Kasih
Oleh: Taufik Arbain
Istilah uang terima kasih memang sangat lazim di telinga banyak orang. Padahal sebelumnya perilaku memberikan sesuatu karena suatu hal semisal dimudahkan urusan yang notabene cenderung mengambil atau mengelabui hak-hak orang lain menggunakan istilah yang sedikit ekstrem, misalnya uang amplop, sawap, dan lainya ketimbang menggunakan uang sogokan.
Istilah uang terima kasih adalah penghalusan kata saja. Namun demikian tetap saja orientasinya dan konsep awalnya pada perilaku korupsi dan penyogokan, cuma pemberian yang dimaksud diberikan belakangan setelah urusan lancar dan selesai. Intinya sebelum deal kontrak, ada sudah bakijipan mata, dan paham-paham haja nah!
Kasus di Dinas Pendidikan Kota yang melibatkan pejabat Dinas dan beberapa Kepala Sekolah dari penyimpangan penggunaan dana DAK non Reboisasi bidang pendidikan sebesar Rp. 390 juta, adalah kumpulan dari penyisihan yang diberikan masing-masing pihak sekolah yang mendapatkan jatah dana DAK dan distatuskan uang pemberian tersebut sebagai “Uang Terima Kasih”.
Saya melihat kasus ini hanyalah salah satu saja yang terkuak dari istilah uang terima kasih yang dilakukan pihak sekolah kepada hampir merata di Dinas-Dinas Pendidikan. Pasalnya, Kepala Sekolah yang pandai melakukan loby dan negosiasi apabila ada proyek pusat dan selalu mendapatkan jatah dengan mengalahkan sekolah lain yang sebenarnya prioritas mendapatkannya, adalah fakta seringnya terjadi deal-deal penyertaan Uang Terima Kasih (UTK).
Pejabat di Dinas bersangkutan menyenangi Kepala Sekolah yang paham adanya tradisi UTK apabila ada penyerahan bantuan proyek pusat. Dan apabila tidak paham dengan tradisi itu, maka terjadi pembiaran atas sarana prasarana sekolah bersangkutan. Jadi kata “ babisa-bisa haja memberi sawap gasan bos”, adalah kalimat biasa digunakan para pejabat dan pendidik kita.
Kasus seperti ini akhirnya membenarkan adanya praktek di tingkat rendah sekolah. Misalnya sekolah merasa kekurangan sarana prasarana fisik dan sarana pembelajaran lainnya. Lalu keputusan rapat melakukan pungutan besar-besaran terhadap masyarakat yang akan memasukan anaknya sekolah. Akibatnya banyak orang-orang miskin kota yang mengurungkan niatnya untuk menyekolahkan anak mereka karena terbebani biaya awal masuk sekolah. Apabila masyarakat yang memiki 2 atau 3 anak sekaligus yang dimasukan dari SD, SMP dan SMA. Ini salah satu permasahan yang dihadapi kota (kata temannya saya bikin anak jangan berurut menurut jenjang masuk sekolah, tadouble).
Persoalannya, mengapa dana-dana bantuan dari pusat yang diserahkan melewati Dinas Pendidikan tidak dioptimalkan sedemikan rupa dan harus melakukan penyerahan UTK kepada pejabat. Pantas saja barangkali, pihak Dinas Pendidikan tidak mampu menegur dan memberikan sanksi kepada pihak sekolah yang mengenakan biaya masuk sekolah luar biasa tingginya yang menjustifikasi Orang Miskin Dilarang Sekolah (OMDS). Akhirnya nilai luhur untuk bersama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa dan menstransformasikan nilai-nilai keilmuan harus terhalang oleh perilaku cenderung korupsi seperti ini. Padahal dampak perilaku seperti menyangkut publik dalam kapasitas yang luas dan besar.
Ironisnya lagi, ketika melakukan kebijakan pungutan terhadap murid maupun siswa baru atau terkumpulnya UTK, himung tatawaan karena mampu mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya yang kemudian dibagi-bagi, sementara efek dari perilaku yang korup seperti itu menyakitkan anak-anak orang-orang miskin yang menjadi pengemis di pinggir jalan. Memalukan!!!
Saya dan mungkin anda sangat miris, ketika kasus UTK Dinas Pemko Banjarmasin ini terungkap, ada rencana sebuah organisasi pendidik hendak melakukan upaya advokasi. Sah saja memang dalam memberikan pembelaaan. Tetapi apakah memang niat untuk menjadikan kasus ini sebagai pelajaran atas perilaku birokrasi yang menyimpang dalam dunia pendidikan atau memang sengaja untuk berterusan?
Pertanyaan ini mestinya ditakar ulang sebelum melakukan tindakan yang tidak cerdas. Sebab melakukan pembelaan terhadap perilaku yang semua orang mafhum menyimpang dan menjadi fakta tradisi adalah tindakan tidak cerdas dengan mengatasnamakan organisasi. Pertanyaannya apakah organisasi tersebut sudah intens melakukan pembelaan terhadap hak-hak guru yang sering dipotong oleh oknum dinas apabila mengambil honor atau rapelan taktis lainnya? Apakah organisasi tersebut intens memberdayaakan kepentingan dan kesejahteraan para guru? Atau bagaimana memperjuangkan dana pusat agar bisa penyelenggaraan pendidikan di daerah menjadi lebih murah.
Jadi atas kasus ini, mestinya dijadikan celah untuk melakukan reformasi birokrasi dalam dunia pendidikan kita. Sebab kegagalan seseorang masuk jenjang pendidikan SD saja misalnya, ketika sudah berumur jangan harap dia bisa menikmati pendidikan berikutnya. Betapa zalimnya diri kita. Maka patut dikonstruksi sanksi sosial dalam masyarakat atas perilaku penyimpangan seperti ini, termasuk mereka berniat membela perilaku koruptif, termasuk patut untuk ditertawakan. Heh!!!*** (Idabul, Mata Banua, 3 Maret 2008)
No comments:
Post a Comment