Seorang senior saya yang aktifis mempromosikan dirinya sebagai caleg salah satu partai di media cetak lokal baru-baru tadi. Ia me-sms saya untuk mengomentari sepak terjangnya, termasuk meminta analisa mengapa para aktifis berbondong-bondong terjun ke dunia politik baik dalam ranah anggota parlemen maupun anggota DPD atau senator istilah keren di Amerika sana.
Habis shalat Jumat tadi, seorang reporter salah satu televisi lokal juga menyampari saya dan meminta komentar soal ramainya para wartawan baik laki-laki maupun perempuan menjadi caleg partai-partai sekarang. Kemudian seorang aktifis yunior meminta saya dalam minggu ini untuk menjadi pembicara tentang peran dan tantangan orang muda / aktifis dalam yang mencalonkan menjadi anggota legislatif.
Ketiga teman saya tadi setidaknya menanyakan alasan dan motif mengapa orang melakukan tindakan seperti itu. Saya memberikan jawaban sederhana saja, bahwa faktor determinan dari motif tersebut adalah uang. Faktor-faktor lain hanya sebagai pelengkap saja seperti memperjuangkan aspirasi publik, mengimplementasikan ilmu pengetahuan, alat/sarana dakwah maupun pengabdian semata karena banyaknya ketidakadilan yang berlaku misalnya.
Di antara teman saya tadi menepis dan bahkan tidak sependapat dengan alasan yang saya anggap lebih dominan karena motif duit atau pendapatan. Apalagi semisal dari sekian mereka yang mencalonkan tersebut dilakukan sosial mapping tentang profil, karakter dan track record-nya selama menjadi aktifis, bahkan semakin membenarkan alasan yang saya ajukan. Sedikit sekali karena alasan mengaktualisasikan diri sebagaimana Teori Hirarki Kebutuhan manusia yang diungkapkan Abraham Moslow.
Ini sama halnya jika seorang dosen beralasan untuk mengimplementasikan ilmu pengetahuan sehingga ia masuk menjadi anggota KPUD. Kata dosen senior saya yang menjadi kolumnus sebuah media cetak lokal, ” Taufik, untuk mengimplementasikan pengetahuan masih banyak ruang pengabdian tanpa harus menjadi anggota KPUD. Itu bukan alasan yang benar!”
Kembali soal aktifis muda yang menjadi caleg, sebenarnya terasa lebih baik dan pas memang dibandingkan dengan golongan tua yang menjadi caleg. Pikiran ini bukan membuat dikotomi tua-muda. Tetapi fakta dinamisnya fenomena politik dan pembangunan sekarang, diperlukan energi ekstra untuk membahas kebijakan-kebijakan politik dan pembangunan, termasuk membangun jaringan-jaringan kerja yang visible. Golongan tua saat ini tidak pas, karena produktifitas semakin menurun seiring kondisi kesehatan. Adapun soal keterlibatan banyaknya perempuan yang direkrut parpol, sebenarnya itupun sekadar mengikuti prosedural saja. Ya... sekadar perlengkapan politik.
Caleg muda kondisi sekarang adalah jawaban fenomena zaman. Tentu saja caleg muda adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup serta memiliki integritas dan kapasitas, dan ini hanya ada pada diri aktifis. Namun demikian, publik pun sebenarnya jangan sampai terjebak oleh caleg muda baik untuk parlemen atau DPD dari orang-orang muda karbitan menjadi aktifis atau bukan aktifis sama sekali.
Menurut saya, sangat ”membahayyaakan” kata orang Kelua, jika caleg muda representasi dari rakyat Kalsel atau rakyat Kabupaten/Kota muncul karena kekuatan orang tuanya, kakeknya atau datunya sekalian, padahal orangnya pas-pasan misalnya. Lain hal, kalau memang orangnya memiliki track record yang diakui kapasitas dan pengabdian untuk banua, tidak menjadi soal dia anak siapa. Masa anak belum tahu acan bawang sudah disuruh menjadi koki di kelas bonafide. Apa tidak memalukan dan salah masak nanti? Memang urusan banua dan bangsa ini sekadar gagah-gagahan? Ibarat pepatah Melayu, kalau hendak menari di orang ramai, pandai-pandai mengukur baju, Pak cik!
Fenomena penetapan caleg hari ini yang terkadang latah. Seseorang yang dikategorikan selebriti banua pun digadang-gadang menjadi caleg. Kelatahan dan ketidakcerdasan para pengurus parpol nampaknya tidak lagi berorientasi soal kualitas dalam menyelesaikan bangsa dan banua ini, tetapi berorientasi pada kuantitas belaka. Lembaga parlemen ke depan nampaknya harus selalu diselesaikan dengan pendekatan voting. Jika pada tahapan awal parpol melakukan rekruitmen demikian, maka pantas dinamai Partai Artis Nasional atau Partai Artis Banua. Kemudian lembaga parlemen menjadi Dewan Perwakilan Artis Daerah.
Saya pikir publik harus paham persoalan ini. Jangan terkesima caleg muda tetapi semasa kuliah yang dipikir hanya baju apa yang saya pakai, bukan buku apa yang saya baca. Perlu ada stakeholder yang berani mengekspose jejak rekam para caleg sebagai konsekuensi pendekatan transparansi. Ini sama dengan kasus orang muda yang maksa-maksa menjadi calon Wakil Bupati, padahal kada tahu di acan-bawang. Apa Kata Dunia!!!** (idabul 15 September 2008)
No comments:
Post a Comment