Oleh: Taufik Arbain
Kalau hendak menari di orang ramai
Pandai-pandai mengukur baju.
Pemberitaan di beberapa media cetak lokal seminggu lalu tentang Partai Golkar yang menarik kembali Calon wakil bupati HSU yang digadang-gandangnya didasari oleh opini yang berkembang di masyarakat karena keterlambatan usulan calon Wabup HSU yang masih lowong dan Partai Golkar menyerahkan ”jatah” ke Partai Persatuan Pembangunan, sepertinya sebagai sebuah kepasrahan dalam pendistribusian kekuasaan, apapun alasannya.
Meskipun sebenarnya ada masalah krusial pada intern partai tersebut dalam menentukan dan mengusung siapakah yang layak menjadi Wakil Bupati HSU.
Namun demikian menarik dicermati bahwa Partai Golkar maupun PPP di HSU adalah dua kekuatan partai politik yang memiliki bargaining position dalam mencalonkan, mengusung termasuk menetapkan siapakah yang layak menduduki posisi Wakil Bupati yang sebelumnya dijabat oleh HM. Aunul Hadi.
Baik Partai Golkar maupun PPP telah mempublikasikan nama-nama yang dijaring menduduki posisi Wabup HSU. Partai Golkar misalnya pernah mengajukan, H Supian HK, H Karno, H Sadilah, H Nurani, Ari Ronaldo Fachruddin dan H Abdul Wahid. Sedangkan PPP mengajukan H Sadilah, H Haris Makkie, HM Gazali Rahman, Ari Ronaldo Fachruddin dan Hj. Iriani.
Ketika Partai Golkar mengeluarkan statement ”kepasrahannya”, peta politik dalam mengusung kandidat Wabup HSU, setidaknya secara makro tarikan-tarikan kepentingan politik menjadi lebih lentur kecuali di intern tubuh PPP sendiri masih terjadi tarikan dan gesekan kepentingan siapakah yang layak menjadi Wabup HSU. Justru dalam konteks ini, PPP satu-satunya yang dianggap memiliki alokasi sumber otoritas politik dan akan menjadi sorotan publik Kalsel dan HSU apabila keliru dalam mengusung dan menetapkan kandidat Wabup yang akan diparipurnakan DPRD HSU.
Realitas ini adalah tantangan besar sejauhmana kecerdasan PPP dalam menetapkan kandidat Wabup yang layak dan patut untuk mendampingi Bupati HM Aunul Hadi dalam memimpin dan membangun HSU, sehingga tidak melahirkan sumber-sumber konflik baik ranah elit maupun grass root. Konteks inilah fokus yang penting dipahami oleh seluruh warga HSU sehingga melahirkan adanya partisipasi politik secara tidak langsung dalam proses penentuan wakil bupati.
Dalam perspektif fenomena politik sekarang, bahwa kehadiran pasangan Wabup maupun Wagub dipahami publik sering sebagai pelengkap penderita saja, yang didasarkan pada faktor sebagai vote gether, mesin uang, atau representatif partai pengusung mendampingi kandidat bupati maupun gubernur. Itulah sebabnya mayoritas Pilkada di Indonesia posisi kandidat wakil bupati maupun wakil gubernur sangat jarang berasal dari birokrat, tetapi justru dari kalangan politisi, pengusaha, maupun selebriti dengan asumsi salah satu dianggap memiliki kapasitas dan kapabilitas mampu memimpin dan membangun daerahnya sehingga proses politik terjadi tetap merupakan the art of possible.
Tentu saja dalam konteks dan realitas kepemimpinan HSU sekarang, mutlak melengkapi kepemimpinan kabupatennya didasarkan indikator tersebut. DPRD HSU dan partai pengusung wabup harus berorientasi bahwa kabupaten HSU ke depan harus mampu menghapus dirinya sebagai kabupaten tertinggal (IPM posisi 66,8 tahun 2006), dimana selama ini kebijakan dan perencanaan pembangunannya tidak visioner dan progress. Dibandingkan kabupaten lain, HSU stagnan dalam pembangunan dan pergerakan Indek Pembanguan Manusia (IPM) hingga sekarang.
Fakta kebijakan dan realitas pembangunan HSU inilah, partai pengusung dan wakil rakyat diharapkan meletakkan pemahaman dan pendekatan bahwa wabup HSU adalah orang yang memiliki latar belakang pengalaman birokrasi/pemerintahan, keilmuan, berakar dari masyarakat serta memahami seluk-beluk daerah dan mendapat penerimaan dari publik untuk mendampingi tanggung jawab Bupati. Sebab institusi birokrasi bukan instrumen main-mainan para politisi yang sekadar gagahan ”memotong pita” atau sekadar ” pidato di ajang seremonial” karena tidak tahu apa-apa.
Institusi birokrasi level kabupaten memiliki hak otonom, bukanlah organisasi sekelas KNPI atau organisasi kerukunan mahasiswa yang tidak memiliki kompleksitas fungsi dan kinerja serta pemilik alokasi nilai-nilai otoritatif. Ianya adalah institusi negara di daerah yang bertanggung jawab melaksanakan fungsi desentralisasi bersama DPRD.
Dalam perspektif demografi, sejak dulu hingga sekarang HSU sebenarnya tidak kekurangan figur-figur potensial untuk menjadi bupati maupun wakil bupati, bahkan menjadi gubernur sekalipun. Maka terasa naif apabila anggota DPRD atau fungsionaris partai pengusung keliru dalam menetapkan figur yang patut dan kapabel untuk mendampingi Bupati HM Aunul Hadi. Sebab ketertinggalan pembangunan HSU selama ini tentu saja tidak harus stagnan dalam 4 tahun ke depan, hanya karena persoalan pendekatan asal andak figur-figur yang tidak tepat, lebih-lebih figur yang dalam bahasa orang Amuntai sama sekali kada tahu di acan-bawang.
Pandangan ini didasarkan bahwa ada fenomena politik di HSU yang bertendensi asal andak dan asal usul saja, hanya karena faktor penghormatan yang tidak pantas untuk dilakukan. Perkara demikian tidak bisa dianggap main-main. Sebab publik pun akan menilai mereka kelompok pengambil keputusan juga seperti ”anak-anak bermain-main”. Karena setiap keputusan politik di HSU menyangkut hajat orang banyak. Kita sangat miris ada kelompok pengambil keputusan (decision maker) yang menjadikan dirinya seakan seorang ”penjilat” untuk menggolkan seseorang yang sebenarnya belum dan tidak pantas yang tentu saja dalam kaca mata publik HSU menjadi sebuah lelocon.
Kita berkeyakinan partai pengusung maupun anggota DPRD HSU tidak akan menetapkan wabup yang tidak kapabel dan tidak berpengalaman dalam tujuan menjadikan HSU lebih maju dan sejahtera. HSU adalah milik bersama warga HSU, bukan milik keturunan siapa-siapa. Tantangan besar bagi PPP untuk menunjukkan kecerdasannya di hadapan publik HSU.Kita tunggu! (Radar Banjarmasin, 18 September 2008)
Kalau hendak menari di orang ramai
Pandai-pandai mengukur baju.
Pemberitaan di beberapa media cetak lokal seminggu lalu tentang Partai Golkar yang menarik kembali Calon wakil bupati HSU yang digadang-gandangnya didasari oleh opini yang berkembang di masyarakat karena keterlambatan usulan calon Wabup HSU yang masih lowong dan Partai Golkar menyerahkan ”jatah” ke Partai Persatuan Pembangunan, sepertinya sebagai sebuah kepasrahan dalam pendistribusian kekuasaan, apapun alasannya.
Meskipun sebenarnya ada masalah krusial pada intern partai tersebut dalam menentukan dan mengusung siapakah yang layak menjadi Wakil Bupati HSU.
Namun demikian menarik dicermati bahwa Partai Golkar maupun PPP di HSU adalah dua kekuatan partai politik yang memiliki bargaining position dalam mencalonkan, mengusung termasuk menetapkan siapakah yang layak menduduki posisi Wakil Bupati yang sebelumnya dijabat oleh HM. Aunul Hadi.
Baik Partai Golkar maupun PPP telah mempublikasikan nama-nama yang dijaring menduduki posisi Wabup HSU. Partai Golkar misalnya pernah mengajukan, H Supian HK, H Karno, H Sadilah, H Nurani, Ari Ronaldo Fachruddin dan H Abdul Wahid. Sedangkan PPP mengajukan H Sadilah, H Haris Makkie, HM Gazali Rahman, Ari Ronaldo Fachruddin dan Hj. Iriani.
Ketika Partai Golkar mengeluarkan statement ”kepasrahannya”, peta politik dalam mengusung kandidat Wabup HSU, setidaknya secara makro tarikan-tarikan kepentingan politik menjadi lebih lentur kecuali di intern tubuh PPP sendiri masih terjadi tarikan dan gesekan kepentingan siapakah yang layak menjadi Wabup HSU. Justru dalam konteks ini, PPP satu-satunya yang dianggap memiliki alokasi sumber otoritas politik dan akan menjadi sorotan publik Kalsel dan HSU apabila keliru dalam mengusung dan menetapkan kandidat Wabup yang akan diparipurnakan DPRD HSU.
Realitas ini adalah tantangan besar sejauhmana kecerdasan PPP dalam menetapkan kandidat Wabup yang layak dan patut untuk mendampingi Bupati HM Aunul Hadi dalam memimpin dan membangun HSU, sehingga tidak melahirkan sumber-sumber konflik baik ranah elit maupun grass root. Konteks inilah fokus yang penting dipahami oleh seluruh warga HSU sehingga melahirkan adanya partisipasi politik secara tidak langsung dalam proses penentuan wakil bupati.
Dalam perspektif fenomena politik sekarang, bahwa kehadiran pasangan Wabup maupun Wagub dipahami publik sering sebagai pelengkap penderita saja, yang didasarkan pada faktor sebagai vote gether, mesin uang, atau representatif partai pengusung mendampingi kandidat bupati maupun gubernur. Itulah sebabnya mayoritas Pilkada di Indonesia posisi kandidat wakil bupati maupun wakil gubernur sangat jarang berasal dari birokrat, tetapi justru dari kalangan politisi, pengusaha, maupun selebriti dengan asumsi salah satu dianggap memiliki kapasitas dan kapabilitas mampu memimpin dan membangun daerahnya sehingga proses politik terjadi tetap merupakan the art of possible.
Tentu saja dalam konteks dan realitas kepemimpinan HSU sekarang, mutlak melengkapi kepemimpinan kabupatennya didasarkan indikator tersebut. DPRD HSU dan partai pengusung wabup harus berorientasi bahwa kabupaten HSU ke depan harus mampu menghapus dirinya sebagai kabupaten tertinggal (IPM posisi 66,8 tahun 2006), dimana selama ini kebijakan dan perencanaan pembangunannya tidak visioner dan progress. Dibandingkan kabupaten lain, HSU stagnan dalam pembangunan dan pergerakan Indek Pembanguan Manusia (IPM) hingga sekarang.
Fakta kebijakan dan realitas pembangunan HSU inilah, partai pengusung dan wakil rakyat diharapkan meletakkan pemahaman dan pendekatan bahwa wabup HSU adalah orang yang memiliki latar belakang pengalaman birokrasi/pemerintahan, keilmuan, berakar dari masyarakat serta memahami seluk-beluk daerah dan mendapat penerimaan dari publik untuk mendampingi tanggung jawab Bupati. Sebab institusi birokrasi bukan instrumen main-mainan para politisi yang sekadar gagahan ”memotong pita” atau sekadar ” pidato di ajang seremonial” karena tidak tahu apa-apa.
Institusi birokrasi level kabupaten memiliki hak otonom, bukanlah organisasi sekelas KNPI atau organisasi kerukunan mahasiswa yang tidak memiliki kompleksitas fungsi dan kinerja serta pemilik alokasi nilai-nilai otoritatif. Ianya adalah institusi negara di daerah yang bertanggung jawab melaksanakan fungsi desentralisasi bersama DPRD.
Dalam perspektif demografi, sejak dulu hingga sekarang HSU sebenarnya tidak kekurangan figur-figur potensial untuk menjadi bupati maupun wakil bupati, bahkan menjadi gubernur sekalipun. Maka terasa naif apabila anggota DPRD atau fungsionaris partai pengusung keliru dalam menetapkan figur yang patut dan kapabel untuk mendampingi Bupati HM Aunul Hadi. Sebab ketertinggalan pembangunan HSU selama ini tentu saja tidak harus stagnan dalam 4 tahun ke depan, hanya karena persoalan pendekatan asal andak figur-figur yang tidak tepat, lebih-lebih figur yang dalam bahasa orang Amuntai sama sekali kada tahu di acan-bawang.
Pandangan ini didasarkan bahwa ada fenomena politik di HSU yang bertendensi asal andak dan asal usul saja, hanya karena faktor penghormatan yang tidak pantas untuk dilakukan. Perkara demikian tidak bisa dianggap main-main. Sebab publik pun akan menilai mereka kelompok pengambil keputusan juga seperti ”anak-anak bermain-main”. Karena setiap keputusan politik di HSU menyangkut hajat orang banyak. Kita sangat miris ada kelompok pengambil keputusan (decision maker) yang menjadikan dirinya seakan seorang ”penjilat” untuk menggolkan seseorang yang sebenarnya belum dan tidak pantas yang tentu saja dalam kaca mata publik HSU menjadi sebuah lelocon.
Kita berkeyakinan partai pengusung maupun anggota DPRD HSU tidak akan menetapkan wabup yang tidak kapabel dan tidak berpengalaman dalam tujuan menjadikan HSU lebih maju dan sejahtera. HSU adalah milik bersama warga HSU, bukan milik keturunan siapa-siapa. Tantangan besar bagi PPP untuk menunjukkan kecerdasannya di hadapan publik HSU.Kita tunggu! (Radar Banjarmasin, 18 September 2008)
No comments:
Post a Comment