Tuesday, September 2, 2008

Kota Tebang Pilih


Oleh: Taufik Arbain
Beberapa waktu lalu Pemko menyatakan ketidakmampuannya dalam menertibkan bangunan-bangunan liar yang sudah terlanjur dibangun dan melanggar IMB. Hal ini didasarkan pada aspek dampak yang ditimbulkan berupa kerugian di pihak pemilik, efek konflik baru dan kerumitan mengeksplore procedural. Yang paling krusial membebani langkah penertiban dan penataan masa yang akan datang.

Tidaklah mengherankan kalau ketegasan Pemko yang penting menata yang akan datang dikesankan tebang pilih oleh publik lebih-lebih beraninya hanya mereka yang kelompok bermodal kecil seperti PKL. Apalagi publik melihat, kalau pun menata yang akan datang, tapi jika bersentuhan dengan kelompok tertentu yang punya hajat seperti pikir-pikir untuk menindak semisal kawasan bangunan di jalur Gatsoe.
Kata teman saya, hari gini ada alat Negara yang masih arogan batatajak warung tanpa bapadah, dengan alasan memanfaatkan lahan dan keamanan kawasan. Ini sama juga dengan kecakahan oknum Brimob di Tabalong asal batatampar dengan salah seorang warga lokal yang membawa kayu olahan untuk minta jatah. Sementara truk milik pemodal besar maangkut kayu, lancar saja. Sebuah tindakan pola pembiaran yang berlangsung. Saya pikir usut tuntas arogansi oknum terhadap orang kecil di Hulusungai.
Kembali ke soal kota. Dalam kebijakan publik, memang bagi pemerintah relatif cukup sulit menangani persoalan dari sisa masa lalu, atau dari pola pembiaran masa lalu. Ianya membutuhkan waktu dan proses. Pembiaran masa lalu adalah sebuah tindakan pelanggaran yang cenderung ke arah korupsi. Yakni regulasi yang dibuat untuk konsisten dilaksanakan dan pina musti digodok dan dipublikasikan, tetapi oknum pegawai dan pejabat justru membiarkan adanya pelanggaran karena mendapatkan kompensasi illegal dari power yang disandangnya. Bahayanya jika berlangsung lama dan setali dua uang dengan anggota legislatif. Maka yang terjadi kekacauan implementasi kebijakan.
Inilah sebenarnya fakta yang ada di Kota Banjarmasin. Pas giliran pejabat yang ada sekarang kada kaawakan menyelesaikannya. Dalam konteks ini Pemko harus ekstra energi untuk membuktikan konsistensi atas regulasi yang dibuatnya, sehingga pola pembiaran sebagaimana masa lalu tidak menjadi celah publik untuk dikritisi.
Penanganan PKL, bangunan yang sesuai IMB, layar-layar baliho dan penataan kebersihan kota selama ini misalnya, harus diakui mengalami sebuah kemajuan yang signifikan di beberapa kawasan. Karena tegas,wani, istiqomah dan rajin. Namun demikian, membiarkan kebijakan masa lalu yang melanggar, justru telah menegaskan terjadinya dua kali pola pembiaran masa lalu.
Jadi sebenarnya, ada langkah dua jalan yang dilakukan. Pertama, adanya konsistensi penataan masa sekarang dan akan datang diperlukan dalam koridor regulasi yang dibuat dengan penguatan pada aspek pengawasan pra IMB maupun pasca IMB . Ini menegaskan fungsi penjabaran system satu pintu (one gate system) diterapkan, agar realisasinya sudah sesuai dengan konsep, sehingga tidak menggunakan pola lama.
Kedua, sembari melakukan identifikasi terhadap beberapa bangunan yang melanggar IMB sebagainya sebagai bahan kajian kebijakan maupun dijadikan sebagai bahan sanksi sosial untuk dipublikasikan. Hal ini dapat dipetakan banyak hal tentang kapan dan siapa yang memberikan izin. Agar pola pembiaran pelanggaran terhadap kebijakan publik dikemudian hari dapat diminimalisasi, Paling tidak hal ini sah dilakukan, mengingat strategi pengungkapan Pemko lewat data ini bisa mendorong kesadaran dan partisipatif stakeholder dan warga kota dalam memahami persoalan yang dihadapi bersama dalam menata kota. Bahwa kada gagampangan, tahu lah!
Bahwa tidak semua persoalan yang dihadapi pemerintah semua ditangani pemerintah. Tetapi ada persoalan yang diperlukan dari aksi warga kota dalam turut serta memberikan pressure terhadap tindakan arogansi institusi dan oknum. Inilah yang dimaksudkan kebijakan yang partisipatif. Artinya warga diajak memahami dan mengetahui setiap emberio terjadinya pelanggaran kebijakan baik dilakukan oleh oknum aparat, pimpinan, intervensi anggota legislatif sehingga pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan dan warga bersama mengembalikan kepada jalan yang benar.
Ini sebagian dari trik menangani kebijakan publik yang sempat diboncengi oleh pola pembiaran masa lalu. Menurut Peter deLeon, seorang pakar public policy bahwa dalam formulasi dan desain kebijakan yang demokratis meniscayakan adanya sebuah akomodasi berbagai kepentingan publik dan legitimated groups. Setiap kebijakan publik yang dibuat oleh elit birokrasi harus melalu proses pada formuasi yang menjembatani semua kepentingan publik melalu proses pemetaan yang valid dan demokratis. Maka Pemko tidak tertuduh dalam dugaan tebang pilih. Jadi Kepala Dinas dan Pak Walikota kada pacah kepala memikirkan. Amin!!**

No comments: