Oleh: Taufik Arbain
Wahai ananda jangan menyalah
Banyakkan ingat kepada Allah
Kepada saudara banyak mengalah
Kepada sahabat berlaku murah
Di sebuah hot line media di kota ini ada pembaca mengungkapkan bahwa libur sekolah pada bulan Ramadhan yang tidak seragam di kota dan kabupaten Kalsel akan menimbulkan kecemburuan sosial. Pembaca tersebut menyarankan kalau bisa diseragamkan baik itu diliburkan atau tidak sama sekali.
Saya agak kaget ada asumsi dampak kecemburuan sosial dari fakta adanya perbedaan kebijakan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain, dan antara kota dengan kabupaten tertentu. Betapa oleh pembaca perbedaan itu seakan didramatisir akan menimbulkan kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial yang mana? Yang benar adalah kecemburuan sosial yang tidak benar untuk dicemburui.
Intinya seakan-akan bulan puasa adalah bulan yang mengganggu segala aktifitas umat Islam. Lucunya lagi , kebijakan itu dari kelompok umat Islam sendiri. Jadi subtansi yang dapat ditangkap sebenarnya sangat jelas bahwa mayoritas menginginkan bulan puasa diliburkan. Apalagi, pernah dilakukan elit pengambil keputusan meliburkan anak sekolah sebulan penuh dengan alasan menghormati anak sekolah yang berpuasa, lebih-lebih didukung oleh ulama. Efeknya jelas dipengaruhi oleh nuansa dan kepentingan politik. Padahal faktanya, justru anak sekolah yang diliburkan bermalas-malasan dan kerjaan hanya menonton televisi saja.
Menurut pendapat saya, yang diwacanakan dalam rangka menyambut bulan puasa bagi Dinas Pendidikan Provinsi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun sekolah yang berada dalam naungan Departemen Agama, adalah mencari formula proses pembelajaran dengan format dan konsep yang berdimensi nilai-nilai agama, bukan mencari alasan pembenar diliburkan dan tidak diliburkan anak untuk bersekolah. Adanya pengurangan jam belajar adalah pengambilan keputusan ”jalan tengah” yang cukup strategis. Sayangnya libur sekolah yang dilakukan oleh sekolah-sekolah di bawah naungan Departemen Agama justru membenarkan libur selama puasa telah mengurangi aktifitas siswanya. Apakah benar untuk menghormati dan memudahkan siswa menjalankan ibadah puasa atau guru-gurunya yang pangulir?
Mengapa Departemen Agama yang para pegawainya sangat dekat keilmuan keagamaan tidak membuat formula pembelajaran sekolah yang mengkaitkan ilmu-ilmu dalam teori-teori umum dengan Al-Quran atau Al-Hadis misalnya, malah meliburkan sebulan penuh. Semisalnya bagaimana teori Bang-Bang tentang terbentuknya jagat raya ini dihubungkan dengan ayat Al-quran. Atau soal politik dan kepemimpinan dengan isi Al Hadist dan Al-Quran yang disisipi dalam mata pelajaran tersebut.
Kata teman saya para pegawai Departemen ini tidak pandai menjaga citra dan wibawa agama Islam, malah sebaliknya menampakkan bahwa siswa Islam lemah, rendah etos belajar dan malas karena adanya otoritas institusi yang tidak mengedepankan kecerdasan dan menjaga wibawa agama itu sendiri. Padahal aspek demografi dan geografi justru sangat memungkinkan untuk menerapkan konsep dan formula yang dimaksudkan dalam proses pembelajaran selama bulan puasa, tanpa harus membuat formula Pesantren Kilat.
Sangat disayangkan para pengambil keputusan di Departemen Agama maupun Kepala Daerah Kabupaten/Kota masih berpikir dalam tataran bahwa dengan meliburkan siswa sekolah telah memenuhi hajat umat Islam dalam rangka menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Lebih-lebih didukung komentar dari anggota DPRD yang juga dari Partai Islam. Semakin lengkaplah ia. Padahal nyatanya telah mempermalukan diri sendiri dan agama Islam sendiri. Memenuhi hajat satu hal, tetapi soal libur sekolah hal lain.
Ego mayoritas ternyata bukan membuat kita semakin dewasa dan berwibawa untuk menjaga harga diri agama ini, justru umat dan agama kita malah menjadi tertawaan. Fakta ini tidak jauh berbeda, dengan perilaku ketika pulang Tarawih anak remajangebut-ngebutan atau orang berumur melanggar rambu trafic light di persimpangan jalan. Lepas saja kopiah dan baju teluk belanga!!! Pina pamustinya, mentang-mentang mayoritas! Kasian memang.***(Idabul 1 September 2008)
No comments:
Post a Comment