Oleh: Taufik Arbain
Hari pahlawan di republik ini selalu diperingati setiap tanggal 10 November yang dirujuk dari kepahlawanan dan sengitnya pertempuran rakyat Surabaya tahun 1945. Gegap gempita heroik rakyat Surabaya dengan tokohnya Bung Tomo dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dianggap paling dahsyat dibandingkan dengan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat dari daerah lain di nusantara sehingga ianya ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Para sejarawan dan desecion maker negeri ini melegitimasi dengan produk hukum atasnya, maka perjuangan apa pun yang setara dengannya di luar pertempuran rakyat Surabaya tidaklah menjadi rujukan dalam kisah-berkisah pada teks pidato pejabat bagi penduduk negeri lainnya.
Jadi momentum pertempuran Surabaya dijadikan pijakan untuk meniru semangat para pejuang dan pahlawan dalam mengisi kemerdekaan ini, lebih-lebih pada siswa sekolah. Paling tidak bagaimana berani mengorbankan diri demi kepentingan bangsa. Fakta ini hanya salah satu dari bagaimana pemerintah pusat sedari dulu baik masa orde Lama maupun orde Baru mengkonstruksi betapa tanah Jawa adalah sumber inspirasi untuk membentuk karakteristik anak bangsa yang berbhineka ini.
Pemerintahpun dalam mencapai tujuan untuk membentuk karakteristik bangsa untuk menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia membuat program-program yang mengarah pada pendidikan berbasis sejarah, simbolik, monomental dan penjustifikasian terstruktur yang dimulai sejak pendidikan SD.
Cerita masa SD kata teman saya, kalau dinding-dinding sekolah selalu dihiasi dengan poster-poster pahlawan se Indonesia, kecuali sekolah Laskar Pelangi yang dindingnya bolong ditutupi dengan poster Lagu Hujan Duit Rhoma Irama.
Saya sedari SD atau pembaca sendiri tentu mendapati buku pelajaran sejarah dan heroiknya perjuangan bangsa ini didominasi perjuangan dari penduduk negeri Jawa sampai ke buncu-buncu perjuangan. Penulis sejarah di negeri ini membuat space narasi perjuangannya selalu lebih besar dalam lembaran buku sejarah, ketika cerita tentang Pahlawan Aceh, Kalimantan Sulawesi, hingga Ambon,...paling tiga sampai lima baris.
Sadarkah anda, bahwa jalan provinsi atau kabupaten yang anda lintasi di daerah Anda adalah nama pejuang daerah anda atau pejuang dari daerah lain? Lalu apakah nama pahlawan daerah anda yang diakui lewat legitimasi hukum pahlawan nasional ada di jalan utama provinsi dan kabupaten di pulau Jawa?
Sadarkah anda, bahwa ketika ditanyakan kepada siswa SD hingga SMA siapakah Patih Gajah Mada? Dipastikan mereka lebih banyak tahu dibandingkan mengetahui siapakah Patih Masih atau Pangeran Antasari. Apalagi patung Gajah Mada dibangun didepan kantor salah satu institusi negara dengan asumsi adanya nilai-nilai NKRI yakni menyatukan seluruh bangsa-bangsa di nusantara. Bukankah dalam kajian antropologi bahwa tidak ada kerajaan masa lalu yang menyatukan kerajaan bangsa-bangsa, kecuali paradigma menaklukkan dan menjajah dengan membayar upeti!
Pernahkah anda temui sosok orang lokal dan sosok pahlawan di atas uang kertas pahlawan dari daerah anda? Yang anda temui, lembaran uang dengan sosok pahlawan orang daerah selalu dalam pecahan yang kecil. Pecahan dari Rp. 20.000-50.000,- bahkan Rp.100.000,- selalu kaplingan pahlawan dari etnis dominan.
Sedangkan langganan sosok pahlawan etnis pinggiran paling tinggi Rp. 10.000,- dengan sosok Sultan Mahmud Badaruddin II. Sosok Imam Bonjol pada lembaran Rp. 5000,- . Lembaran Rp.100,- dengan perahu Pinishi nan gagah kebanggaan etnis Bugis. Kemudian lembaran Rp.500,- Orang Utan dan rumah adat Kutai simbol kebanggaan etnis Kalimantan. Seorang teman bertanya, ” Umai, itukah pahlawan dari kalimantan?”.
Sulit menemukan seseorang yang menyempatkan waktu untuk memandangi sosok pahlawan nasional Pangeran Antasari atau Tjilik Riwut kalau tidak melalui instrumen yang go-national. Termarjinalnya sosok-sosok pahlawan lokal bukan disebabkan rendahnya heroik, tetapi akses yang tidak bisa lepas dari institusi dan individu pengambil keputusan.
Pandangan-pandangan demikian bukanlah untuk membenturkan pikiran-pikiran yang bernuansa separatis, tetapi sebagai sebuah pengingatan saja bahwa di negeri ini dibutuhkan keadilan atas seluruh penduduk negeri, bukan konstruksi sismatis sehingga memberikan pandangan bahwa pahlawan lokal tidak ada apa-apanya dalam memberikan sumbangan kepada republik ini yang akhirnya melahirkan tidak percaya diri.
Jadi memahami soal kepahlawanan ini justru mendalami bagaimana para pahlawan berani bicara dan berjuang terhadap ketidakadilan dan penjajahan termasuk bentuk-bentuk hegemoni terselubung dari sesama anak bangsa sendiri, termasuk penjajahan penguasaan aset daerah atas nama kebijakan pusat. Cukup sudah jadi penonton**(idabul, 10 November 2008)
No comments:
Post a Comment