Oleh: Taufik Arbain
Pengantar
Perubahan yang terjadi di Indonesia selama setengah abad ini sesungguhnya telah membawa masyarakat ke arah yang penuh fragmentasi sosial. Kondisi bangsa yang kompleks terbawa arus kemajuan peradaban dunia awalnya melahirkan kelas-kelas sosial di masyarakat. Lahirnya kelas-kelas sosial paling dominan karena perebutan kepentingan-kepentingan baik politik,
ekonomi maupun budaya hingga melewati batas teritorial adatnya. Perkembangan selanjutnya sebagian kelas-kelas sosial berorientasi pada agama dan etnis. Ketika orientasi sudah memasuki fase ini, maka nasionalisme antar anak bangsa mulai tidak stabil.
Para pendiri kemerdekaan sangat memahami karakter bangsa Indonesia yang multikultural ini, sehingga meletakkan dasar-dasar nasionalisme yang bersumber dari budaya nusantara dengan pendekatan bhineka tunggal ika dan ideologi pancasila yang menghantarkan pada persamaan hak dan kedudukan sesama warga negara, termasuk jargon-jargon yang terkonstruksi dari sejarah masa lalu seperti sumpah pemuda yang memberikan inspirasi dahsyat soal nasionalisme antar anak bangsa se-nusantara.
Jika sebagian besar pakar sejarah berargumentasi bahwa sejarah terbentuknya nasionalisme karena penderitaan yang sama dan adanya musuh bersama (commun enemy) yakni penjajah untuk merdeka. Selanjutnya kehancuran kerajaan-kerajaan kecil masa lalu karena penjajah sebenarnya juga memberikan kontribusi lahirnya nasionalisme indonesia, demokrasi dan kekuasaan politik komunal. Maka dalam konteks sekarang problem nasionalisme semakin kompleks dan justru berhadapan dengan perilaku kelas elit, kelas middle elite dan sebagian kelas masyarakat bawah (grass root), sedikit sekali kontribusinya karena pengaruh luar maupun tekanan asing.
Ketidakadilan dan proses nasionalisasi
Ada dua hal yang paling krusial tantangan menggerusnya nasionalisme anak bangsa adalah. Pertama, Ketidakadilan politik, ekonomi dan budaya. Bahwa perubahan masyarakat yang terfragmentasi mendorong kehadiran kelas-kelas sosial. Sebagian kelompok masyarakat yang masuk dalam jejaring birokrasi, politisi, aparat keamanan dan pengusaha memungkinkan menciptakan situasi perebutan sumber-sumber kekuasaan atas politik dan ekonomi. Kemiskinan masyarakat sekarang oleh pakar kemiskinan sering ditengarai disebabkan oleh kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan politik yang memberikan akses pada para pengusaha asing dan nasional untuk mengeruk sumber daya alam sebesar-besarnya, praktek monopoli dan kebijakan yang kurang memberikan ruang berusaha bagi rakyat kecil dan orientasi kebijakan yang tidak pro-rakyat miskin serta aturan hukum maupun kebijakan pusat yang memiskinkan daerah.
Proses kemiskinan struktural ini sebenarnya fakta yang mendorong terjadinya ketidakpuasan yang mengarah pada tergerusnya nasionalisme dan disintegrasi bangsa. Kondisi daerah yang tidak mendapatkan pemerataan pembangunan, dimana penduduknya akan mengukur dan mengkalkulasi komitmen kebangsaan serta nilai-nilai keadilan.
Persoalan yang bermula dari kebijakan politik berdampak pada ketidakadilan ekonomi dan pasti bergerak ke ranah politik kembali. Kondisi psikologis ini akan terjadi proses kritik terhadap capaian keadilan dan pada giliranya mempersoalkan ranah-ranah ideologi, kebangsaan,simbolik dan jargon-jargon nasionalisme yang selama ini dibangun. Sumpah Palapa-nya Gadjah Mada, Sumpah Pemuda 1928, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Wawasan Nusantara dan lainnya akan dianggap sampah, nonsen!
Akibat fragmentasi dan dorongan penciptaan kelas sosial itulah, sehingga perebutan sumber-sumber politik hari ini memungkinkan untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi. Para elit bersikap nepotisme terhadap kerabat untuk mencapai posisi strategis politis dan menafikan kemampuan dan kapabilitas anak bangsa yang lain. Moralitas dan menjaga keutuhan bangsa ini digadaikan hanya untuk kepentingan dan memperkaya dirinya sendiri.
Kedua, proses nasionalisme itu sendiri. Proses nasionalisasi yang terjadi dengan pengharapan mencapai nasionalisme pada anak bangsa telah menyebabkan pengabaian terhadap keberadaan kebudayaan yang beragam. Abdulah (2006:71) mengkonstruksi pengabaian keberadaan kebudayaan yang beragam pada aspek kebudayaan material dan kebudayaan non material di beberapa tempat, institusi lokal yang berfungsi dengan baik sebagai dari kemampuan penataan sosial, maupun ideologi dan nilai-nilai yang mengandung kearifan lokal.
Pemerintah menawarkan konsep-konsep kebangsaan atau wawasan kenusantaraan pada anak bangsa demi kepentingan nasionalisme, tetapi tidak cermat memahami soal negara bangsa (nation state) yang multikultural. Tawaran keseragaman baik aspek politik dan kebudayaan dan kurikulum pendidikan nasional khususnya soal sejarah mengesankan proses pemaksaan tawaran kultur komunitas tertentu kepada komunitas yang lain. Pepatah lain padang, lain belalang.....hanyalah lips service dalam pencapaian politik sesaat. Proses sentalisasi pemerintahan berlebihan pada masa lalu telah melahirkan keseragaman istilah, bentuk bangunan, sistem pemerintah desa, pengagungan budaya etnis tertentu adalah upaya pengebirian terhadap hak hidup budaya entitas etnis yang lain di republik ini ( Arbain, 2004).
Dalam konteks ini pemerintah bukan saja gagal dalam menemukan kebudayaan nasional, tetapi juga telah melahirkan resistensi yang sangat besar dari pelbagai daerah. Kehadiran konflik di berbagai tempat sesungguhnya merupakan bentuk resistensi masyarakat terhadap tindakan kebijakan pusat. Pemerintah tidak menawarkan sistem yang mampu melestarikan tentang resistensi kebudayaan daerah, karena pemerintah takut akan berhadapan dengan kepentingan gerakan modernisasi yang dibawa sendiri oleh pemerintah/negara dan pasar global dalam berbagai bentuk, dan ironisnya ini sering dan banyak berlaku di luar pulau Jawa (lihat kasus tanah adat Dayak konflik perbatasan Tanbu-Banjar).
Langkah strategis (Penutup)
Dua hal penting problem nasionalisme sebagaimana dipaparkan sebelumnya, paling tidak pemerintah terus-menerus melakukan re-orientasi persoalan karakter bangsa yang multikultural ini (national character). Jika dulu negara-negara Eropa mengembangkan kajian tentang ilmu karakter bangsa ini sebagai tujuan memahami karakter bangsa negara-negara jajahan untuk tujuan memperkuat landasan kebijakan kolonial, maka dalam konteks Indonesia tentu saja kajian karakter bangsa lebih berorientasi pada sifat-sifat suatu masyarakat atau bangsa, yakni isu identitas, kemajemukan unsur pembentuk bangsa dan isu perubahan kekinian dalam tujuan memperkuat ketahanan nasional dalam menghadapi ancaman baik dari dalam maupun dari luar (Fedyani,dkk,2008).
Dalam penelusuran jalan panjang nasionalisme Indonesia, menarik mengutif pandangan Suparlan (2000:48) bahwa nasionalisme yang dibangun dari pendekatan bhineka tunggal ika paling tidak ada empat syarat yang harus dipenuhi, yakni didasarkan pada (1) pembentukan masyarakat sipil, (2) adanya demokrasi sebagai pedoman dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara (3) memperlakukan hak satu dengan yang lain secara sama dan (4) harus ada penegakan hukum untuk menjamin keteraturan.
Meskipun diakui bahwa sebenarnya empat syarat yang diajukan tersebut terlampau berat, mengingat ke empat syarat tersebut justru telah terjadi kerusakan yang parah di negeri ini dan membutuhkan waktu yang lama. Proses pendidikan kebangsaan atau civic education sering terganggu oleh masih menguatnya perilaku buruk elit politik yang gerakannya lebih cepat dibandingkan dengan proses pendidikan kesadaran berbangsa. Jika tidak dilakukan, akan banyak daerah yang berkeluh, terlalu lelah sudah hidup bersama republik!!!
Referensi:
Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arbain, Taufik. 2004. Prahara Budaya Rumah Banjar. Banjarmasin: Pustaka Banua
Suparlan,Parsudi.2000. Masyarakat Majemuk dan Perawatannya,dalam prosiding simposium International Jurnal Antropologi Indonesia I,Makassar
Fedyani, Achmad, dkk.2008.Refleksi Karakter Bangsa.Jakarta, FKAI.
No comments:
Post a Comment