Oleh: Taufik Arbain
Jujurlah padaku, bila kau tak lagi cinta
Lupakanlah aku, bila tak mungkin bersama......
Bait lagu Ian Kasela Group Band Radja ini sangat berkesan bagi saya. Ian dan Mouldy (kalau dalam kajian Antropologi Banjar, dikiau Imul) sangat pandai membaca suasana hati orang-orang pada saat itu. Ini sama halnya dengan lagu TTM dari Group Band Ratu yang juga mewarnai blantika musik Indonesia.
Tapi soal ada ”Radja Sapi” di DPRD Kalsel, masih belum jelas siapakah yang dimaksud, sebagaimana tanggapan seorang wakil rakyat. Kata teman saya, jangan-jangan ada ”Ratu Sapi” juga berkait dengan soal sak wasangka tidak transparannya penggadaan sapi oleh Dinas Peternakan Pemprov Kalsel.
Rupanya ketidakjelasan dari Disnak dan polemik soal perusahaan yang disetujui dari pihak bukan penawar terendah, jadilah ianya pertanyaan dan ”meriam kritik” bagi dewan ada apa dengan pengadaan dan tender milyaran rupiah ini.
Tapi rupanya, lagi-lagi balalambat dan sepertinya enggan dipanggil, hingga terlontar pernyataan dewan untuk memanggil paksa.” Siapa Takut!”, dan Disnak pun memenuhi janjinya Sabtu kemarin.
Ada catatan menarik soal ini sebagaimana dikritisi dewan soal pengadaan, mekanisme tender maupun distribusi kepada kelompok petani penerima. Pertama, kasus ini jangan sampai tergeser dan terfokus pada ranah pemanggilan paksa Disnak sebagaimana pernyataan anggota dewan. Sebab jika hal ini menguat maka ianya menghabiskan energi untuk membahas hal-hal yang bersifat subtantif, yakni ketidaktransparanan soal pengadaan sapi, mekanisme tender dan distribusi.
Kedua, jika mekanisme dikatakan sudah benar, maka perlu dianalisa tahapan-tahapan mekanisme itu, mengapa terjadi polemik antar perusahaan dan mengapa tidak menyetujui perusahaan yang memberikan penawaran terendah dan memiliki kualifikasi. Dewan sebagai wakil rakyat jangan terkesima oleh mekanisme dan aturan hukum yang mengaturnya, tetapi perlu melakukan kecermatan atas juklak dan mekanisme yang dimaksudkan.
Ketiga, tetap difokuskan pada subtansinya. Sebab ini menyangkut kebijakan yang menggunakan dana rakyat berkaitan dengan input dan output kebijakan hingga 2010, sehingga dikemudian hari tidak lagi menjadi sebuah lelucon belaka. Masa diminta penjelasan saja habut. Why? Kondisi seperti inilah tugas dewan untuk mencari tahu ada apa dengan pengadaan sapi. Dalam hal ini pihak manapun yang telah diberikan amanah mesti siap untuk memberikan yang terbaik termasuk penjelasan. Bappeda dan Sekda Kalsel mesti cermat juga atas usulan ini.
Keempat, belajar dari pengalaman ini, dewan meminta kepada konsultan profesional seberapa baik kinerja dinas-dinas yang dalam program kerjanya menggunakan banyak duit rakyat, lebih-lebih kasus Disnak yang hanya mengembalikan 200-300 juta pertahun, padahal setiap tahun dianggarkan mencapai 2-3 Milyar dari APBD. Ini penting dilakukan agar pembangunan Kalsel tidak perlu terbebani oleh program yang menyedot kepentingan pembangunan yang lain. Hasil analisa demikian setidaknya tidak terkesima dengan penjelasan yang selalu mengedepankan ”sudah sesuai mekanisme”.
Kelima, jangan sarik. Artinya, persoalan-persoalan transparan apapun yang menyangkut duit rakyat tidak perlu ragu untuk menyampaikan, sehingga tidak perlu ada saling melecehkan antar lembaga, apalagi menciling dan bakadu-kadu lawan polisi dan kejaksaan.
Lalu teman saya berujar,”Nang menyoal itu kada samuaan, cuma 2-3 orang haja?. Justru orang yang sedikit ini, perlu ditanyakan ada apa dengan anggota dewan yang lain. Lembaga wakil rakyat setidaknya mampu meminimalkan pandangan-pandangan miring masyarakat bahwa proyek-proyek yang bernilai miliyaran rupiah selama ini sering menjadi ATM pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bakijipan, tulakan bajalanankah, gasan sumbangan pilkadakah model kaya Departemen Kelautan dan Perikanan, sehingga pihak pemegang ATM umpat ngalu.
Sebab jangankan di negara-negara berkembang, di negara maju sekalipun pendekatan birokrasi dalam hal penyuplaian dana untuk sebuah kelanggengan posisi strategis dan politis masih banyak terjadi. Inilah dalam kajian-kajian akademis bisa dikategorikan sebagai patologi birokrasi. Jadi harapan masyarakat hanya pada kemampuan, kecerdasan dan KEJUJURAN dewan. Lagu JUJUR pulang nah!
Bagaimanapun anggota dewan harus cerewit karena mereka memang ditakdirkan sebagai orang cerewit, kalau bahasa Wong Ndeso Tukul Arwana mesti memiliki sense of critic gitu loh. Jika tidak. Ampih!
”Jangan bamamai pang! Mun andika dapat bagian sapi?Hayu!!! Jangan memfitnah nah, kaina umpatan disambati Radja Sapi, jua!. ***(Idabul, 16 Juli 2007)
No comments:
Post a Comment