Tuesday, November 4, 2008

THM Tanbu

Oleh: Taufik Arbain

Sebuah Tempat Hiburan Malam (THM) di sebuah hotel di Batu Licin mulai menimbulkan keresahan masyarakat sekitar, dimana setiap malam THM pada setiap tayang ditengarai menampilkan pertunjukkan yang melewati batas norma agama, demikian topik berita Mata Banua Sabtu (1/10) kemarin.

Informasi ini tak ayal membuat anggota DPRD Tanbu menyesalkan adanya Izin yang diberikan oleh dinas terkait sebatas izin hiburan untuk karaoke, nyatanya salah gunakan justru aktifitas hiburan yang mambari sarik.
Fakta ini setidaknya mencerminkan bahwa pelayanan birokrasi pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebatas memberikan izin dan ketentuan pajak lainnya, setelah itu selesai. Padahal soal perizinan tidak THM sebenarnya tidak sesederhana itu, tetapi dilakukan adanya pengawasan atas penyalahgunaan izin tersebut. Terlebih lagi bukan menunggu laporan dari masyarakat atau asal masuk pajak pada Dispenda Tanbu.
Saya sebenarnya tidak sekadar membahas soal lemahnya kinerja yang asal berikan izin secarik kertas sebagai tanda adanya otoritas yang dimiliki pemerintah, sebagaimana sekadar memberikan izin penambangan yang selama ini terlanjur merusak lingkungan hidup. Tetapi nampaknya aparat Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu tidak benar-benar memahami visi-misi Tanah Bumbu yang bersujud, terlebih mentazbihkan kabupaten ini menggunakan pendekatan Manajemen Ilahiyah.
Ada kaitan erat antara kasus THM yang membari sarik warga dengan manajemen Ilahiyah selama ini. Nampaknya, posisi dua variabel ini bergerak berbeda. Manajemen Ilahiyah di satu sisi, pelaksanaan birokrasi di sisi lain. Padahal maksud Pak Bupati barangkali kehadiran manajemen Ilahiyah bagaimana konsep-konsep kepemimpinan, tanggung jawab bekerja untuk publik/ummat sebagai sebuah ibadah dan beranjak pada keteladanan rasul dan para sahabat nabi menjadi satu derap dan gerak langkah dalam manajemen birokrasi di Tanah Bumbu.
Dalam bahasa akademis adalah reformasi birokrasi yang melakukan perubahan pada paradigma lama yang serba berbelit dengan paradigma baru yang menekankan pada kinerja yang lebih baik dan transparan. Justru begitu pula dengan di Tanah Bumbu, bagaimana reformasi birokrasi dengan pendekatan manajemen Ilahiyah.
Menurut saya adalah pandangan keliru jika untuk menjadikan Tanah Bumbu maju harus membuka ruang adanya THM dengan hiburan yang menyimpang. Meskipun dalam teori-teori sosiologi bahwa ciri-ciri masyarakat maju menuju kekotaan (urbanize) salah satunya terdapat patologi sosial, termasuk pada kehadiran THM sebagai unsur perkotaan.
Terlalu murah upaya Manajemen Ilahiyah yang dilakukan selama ini, jika harus dibayar dengan lemahnya aparat dinas terkait berkaitan dengan kegiatan THM yang mencederai nilai-nilai manajemen Ilahiyah. Apakah manajemen Ilahiyah selama ini hanya simbolik dan formalitas di hadapan Pak Bupati sebagai pencetus gagasan MI? sehingga simbol-simbol tersebut terasa cukup dengan bebaju jubah dan bakopiah.
Jar urang di Banjar, mengapa otoritas pemerintah Tanbu memberikan izin tidak berlandaskan manajemen ilahiyah untuk melakukan pengawasan, padahal jelas perizinan THM rentan diselewengkan ke arah pemberangusan kharisma MI, karena izin THM bukan izin-izin biasa. Jika demikian, sebenarnya tidak jauh beda dengan aparat di Banjarmasin dalam memberikan izin, sedangkan pengawasan belakangan setelah ada laporan.
Ketidakmampuan aparat dalam memahami nilai-nilai MI dalam birokrasi memang perlu diinstrospeksi. Dimanakah letak kelemahannya sehingga dalam kasat mata nampak sebagai bentuk pencederaan MI. Ini sama halnya dengan banyaknya pertanyaan, mengapa izin-izin kuasa pertambangan yang diberikan kepada perusahaan selama ini cenderung tidak mengedepankan AMDAL? Padahal kerusakan di laut dan di darat sebagai Al Quran akibat ulah perbuatan manusia termasuk ulah si pemberi izin atau si penafsir/analisa.
Saya salut selama ini upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat lewat BMT (Baitul maal Wat Tamwil) sudah berjalan sebagaimana harapan-harapan dalam manajemen Ilahiyah yang memberdayakan ekonomi ummat secara syariah di Tanah Bumbu. Tentu saja pada lini yang lain juga bergerak berlandaskan MI
Lalu pertanyaannya, mengapa di birokrasi masih ada aparat yang belum paham mengejawantahkan Manajemen Ilahiyah dalam paradigma baru dan pelayanan birokrasi di Tanah Bumbu? Apakah selama ini hanya sekadar menggugurkan kewajiban saja?
Kata teman saya, ” Taufik, anda perlu melakukan survei pasca diberlakukannya Manajemen Ilahiyah di Tanbu, sehingga maksud baik itu tidak menjadi bahan tertawaan sebagai sebuah model!”.
Hati kecil saya berucap, jangan-jangan kasusnya nanti mirip seperti kerjasama Pemkab Tanbu dengan Tim Unlam yang dananya tidak wajar dalam analisa BPK, kan turut mencederai Manajemen Ilahiyah lagi.**(idabul, 3 November 2008)

No comments: