Thursday, March 26, 2009

Mahalnya Bangku Sekolah

Oleh: Taufik Arbain



Satu bulan lalu, seorang teman menelepon saya. Ia mengeluhkan mahalnya biaya
masuk TK bagi anak pertamanya di Kabupaten Banjar yang mencapai Rp500 ribu. Ia
meminta problem ini diwacanakan dan dilakukan sebuah gerakan.


Keluhan teman ini membuka kembali rekaman diskusi antar-NGO se-Indonesia di
Jakarta satu tahun yang lalu yang membahas strategi bertahan hidup penduduk
marjinal perkotaan, termasuk kesempatan mendapatkan pendidikan. Selang dua
minggu berikutnya, teman-teman NGO Sanksi Borneo mengajak sharing pemikiran di
hadapan perwakilan penduduk yang berasal dari kantong miskin kota Banjarmasin
dan memiliki minat besar untuk menyekolahkan anak mereka. Kemudian dilanjutkan
hearing dengan anggota parlemen kota yang terhormat.

Dari banyaknya informasi dan data sulitnya penduduk kota ini yang ingin
menyekolahkan anaknya, memberikan gambaran betapa mahalnya bangku sekolah hari
ini bagi orang miskin. Mereka dihadapkan pada beragam item pembayaran: dari uang
seragam, uang buku, uang bangku hingga tambahan uang membuat pagar sekolah,
parkir, dan taman yang include dalam uang pangkal. Kalkulasi dari item
pembayaran --yang mengagetkan-- mencapai Rp150 ribu hingga Rp500 ribu itu, yang
harus dibayar orang miskin untuk menyekolahkan anak mereka.

Namun di balik keluhan mereka, ada sebuah keterharuan. Yaitu, kuatnya semangat
untuk menyekolahkan anak mereka meski harus menggadaikan barang yang nilainya
tak seberapa untuk menutupi biaya pendaftaran agar anaknya bisa mengecap
pendidikan. Meskipun ini dilakukan seorang saja, sementara yang lainnya pasrah
mengikuti rezeki kehidupan yang diberikan Tuhan. Dalam pandangan mereka
diyakini, sekolah sebagai instrumen efektif dan tempat untuk mengubah nasib
anaknya.

Pertanyaannya adalah, bagaimana komitmen pemerintah dalam dunia pendidikan dan
bagaimana peran dinas pendidikan dalam melihat realitas ini? Pertanyaan ini
barangkali akan memiliki makna, ketika ada sebuah penelitian yang mengagetkan
bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan partisipasi usia
sekolah pada penduduk. Faktor utamanya bukan disebabkan oleh rendahnya
fertilitas, tetapi realitas karena mahalnya sebuah bangku sekolah buat orang
miskin. Ini sama halnya ketika kekagetan merebaknya kasus busung lapar
(marasmus) yang melanda penduduk Indonesia, akibat kurang optimalnya pelayanan
kesehatan selama ini.

Orang Miskin Dilarang Sekolah

Ivan Illich (2000) mengungkapkan pikirannya, bagaimana kapitalis telah mengubah
kebersahajaan manusia untuk hidup dipaksa mengikuti peradaban baru yang
diperkenalkan paham kapitalis. Pemenuhan kebutuhan hidup dalam paham tersebut
harus dibarengi dengan adanya uang. Pandangan Illich sebagai fakta empirik
sulitnya orang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan. Dalam konteks dunia
pendidikan, pandangan Illich semakin memperjelas terminologi bahwa 'orang miskin
dilarang sekolah'.

Keluhan orang miskin perkotaan, misalnya, adalah kenyataan berapa banyak
anak-anak terancam tidak bisa membaca, berhitung dan menulis. Generasi pertama
yang mempunyai hak atas membaca, berhitung dan menulis tanpa sadar terpaksa
terus dilarang memasuki jenjang pendidikan berikutnya. Hal ini merupakan cermin
etos kerja kita yang amat minimalis. Artinya, kita belum bisa memahami bahwa
pintu pertama untuk memberi ruang kepada anak-anak untuk mengenal dunia membaca,
berhitung dan menulis telah kita tutup rapat bagi orang miskin.

Sikap minimalis telah dibalut oleh pandangan, untuk pintar harus punya duit, dan
di dunia ini tidak ada yang gratis. Perlakuan ini menyebabkan sebagian kita
bertindak individualis yang tidak bisa lagi memberikan ruang toleransi bagi
orang lain. Celakanya, sikap minimalis ini merambah ke ranah pengambilan
keputusan dan kebijakan (policy). Akibatnya lahirlah keputusan baik berupa
dengan istilah uang pangkal, uang gedung maupun uang solidaritas pembangunan
sekolah yang dilegalkan oleh organisasi bentukan seperti BP-3 pada masa lalu dan
Komite Sekolah masa sekarang.

Sampai hari ini, penduduk selalu diributkan oleh sulitnya 'membeli' bangku
sekolah setingkat SD setiap tahun ajaran baru. Sementara kita sadari, kondisi
penduduk sebagaimana banyak terjadi di negara berkembang tidak terlalu
meributkan 'membeli' bangku setingkat SMA atau bangku kuliah, karena penduduk
kelompok umur setara jenjang pendidikan tersebut telah diterjunkan ke dunia
kerja. Sesuatu yang ironis ketika hari ini kita masih tidak memikirkan kebijakan
yang berorientasi memudahkan penduduk untuk memasuki pintu pertama sekadar
belajar membaca, menulis dan berhitung.

Kekejaman kita hari ini dengan sikap minimalis, semakin menyiapkan kuburan buta
huruf bagi generasi berikutnya. Maka, sulit berharap terjadi perbaikan HDI
(Human Development Index) di daerah ini yang di antara indikatornya tingkat
pendapatan penduduk, pelayanan kesehatan dan melek huruf (pendidikan), jika kita
tidak pernah berpikir cerdas dan kreatif untuk sekadar memudahkan orang lain
menjadikan anaknya bisa membaca, menulis dan berhitung.

Legalitas Kebijakan Keliru

Konsep pelaksanaan Komite Sekolah yang dikembangkan saat ini sebenarnya sarat
tujuan mulia, bahwa setidaknya pendidikan tidak sekadar tanggung jawab
pemerintah, tetapi oleh orangtua dan masyarakat. Secara teknis pendidikan di
sekolah baik berkenaan proses belajar mengajar dan penyediaan fasilitas,
membutuhkan dukungan stakeholder yang ada dan dibukanya kran untuk memberikan
fleksibilitas dalam pencarian dana terhadap sebagian kebutuhan sekolah.

Namun realitasnya, di ranah fleksibilitas pencarian dana untuk sebagian
kebutuhan sekolah masih menggunakan cara konvensional. Mengandalkan iuran pada
orangtua murid dan setiap tahun ajaran baru dibebankan pada calon murid dan
orangtua murid, dengan istilah uang pangkal dan uang pembangunan.

Rendahnya pemahaman pengurus Komite Sekolah, membawa konsekuensi hanya
memberikan legalitas terhadap rancangan anggaran pembiayaan yang dibuat pihak
sekolah termasuk masyarakat munculnya tuduhan pesta tahunan. Ketidakmampuan
melakukan analisa terhadap item pembiayaan prioritas dan bukan prioritas,
akhirnya berdampak membengkaknya kewajiban yang harus dibebankan pada orangtua
dan calon orangtua murid.

Dalam kondisi demikian, secara sosiologis bargaining position orangtua murid
sangat rendah karena masih menguatnya faktor psikis katakutan terhadap nilai
belajar anak yang akan didapat rendah.

Ketika kebijakan demikian mayoritas diambil oleh mereka yang amat rendah sikap
toleransi kepada sesama, yang menjadi korban adalah orang miskin yang tidak
mampu bersuara apa-apa dan memutuskan anaknya untuk berhenti sekolah. Ditambah
antrean orang miskin lain yang siap-siap mundur di depan pintu sekolah ketika
ada pengumuman bertuliskan; Biaya Pendaftaran Murid Baru Rp500 ribu.

Jadi, plang nama Dewan Pendidikan Kota patut dipertanyakan. Karena lembaga
tersebut diharapkan mampu memberikan sharing pemikiran terhadap problem
pendidikan masyarakat, ternyata begitu sombong dan angkuh. Pembentukan lembaga
yang didasarkan sekadar akomodatif politik, benar-benar tidak berpihak kepada
orang marjinal yang menjerit untuk 'membeli' bangku sekolah.

Langkah Strategis

Dalam konteks ini, Dinas Pendidikan semestinya tanggap dan memberikan arahan
atas problema pengambilan keputusan yang otonom dilakukan pihak sekolah dengan
Komite Sekolah. Setidaknya ada langkah identifikasi terhadap profil penduduk,
berdasarkan wilayah geografis keberadaan sekolah di tengah penduduk yang
berpenghasilan rendah.

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman, setiap kebijakan yang berkaitan
dengan anggaran yang dibebankan pada calon orangtua murid mesti memahami kondisi
tingkat pendapatan penduduk di mana sekolah tersebut berada. Implementasi
kebijakan ini tentu akan berbeda dengan wilayah yang tingkat pendapatan
penduduknya cenderung tinggi atau heterogen.

Mahalnya biaya masuk sekolah bagi orang miskin di wilayah heterogen,
diantisipasi dengan subsidi silang. Orangtua murid yang berpenghasilan tinggi
memberikan subsidi kepada calon murid yang miskin, dengan rumusan kebijakan
pemberian dispensasi 50 persen lebih murah atau gratis sama sekali. Diikuti
persyaratan pendukung lainnya, semisal surat keterangan miskin sebagaimana
tahapan keluarga sejahtera yang didata BKKBN (secara sosiologis kesulitan yang
dihadapi barangkali adalah masih adanya mentalitas yang sombong dan gengsi).

Berkaitan dengan persoalan minimnya fasilitas di sekolah yang tersebar di
wilayah kantong miskin ini, menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan untuk
memprioritaskan alokasi dana dan proyek infrastruktur agar lembaga ini tidak
didakwa sebagai bagian yang turut memperbesar rendahnya partisipasi usia sekolah
penduduk. Paling tidak langkah demikian sebagaimana arahan bahwa pihak sekolah
diharapkan mampu mendahulukan penerimaan murid yang tinggal di sekitar sekolah,
sebelum menerima murid dari luar wilayah sebagai upaya agar orang tetap bisa
mendapatkan bangku sekolah.

Itulah realitas yang menyayat di sekitar kita, ketika melihat bola mata anak
kecil yang berkelahi dengan waktu di perempatan jalan menawarkan suara merdunya
dengan pakaian yang lusuh sambil memainkan krecik-krecik (tamborin kayu),
padahal saat itu adalah jam sekolah. Rupanya dalam hiruk-pikuk pilkada, ternyata
mereka tidak juga mendapatkan tetesan dana pilkada buat bayar sekolah. Kasian
memang!

Staf Pengajar Fisip Unlam, tinggal di Banjarmasine-mail: lukah2001@...
Juni 2005

1 comment:

Suara Informa said...

Sebuah tulisan yang sangat bagus, salut!