Oleh: Taufik Arbain
Kabar busung lapar (marasmus) sebagaimana diberitakan Banjarmasin Post membuat warga HSU tersentak. Saya mendapati kabar busung lapar yang mencapai ribuan sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan HSU dr.IBG Dharma Putera, ketika sarapan di Kandangan dalam sebuah perjalanan melakukan penelitian tentang kemiskinan pedesaan di utara Kalimantan Selatan. Kawan-kawan baik para politisi,
birokrat, akademisi, pengusaha, aktifis pergerakan, mahasiswa dan kalangan medis putera-putera HSU yang ada di Banjarmasin mengabarkan perihal ini baik lewat telepon maupun sms untuk dicermati bersama-sama karena menyangkut masa depan orang banua HSU.
Dalam sebuah diskusi simpul, sederatan pertanyaan menghinggapi pikiran kami, mengapa Pemerintah dan masyarakat HSU dihadapkan persoalan bertubi-tubi seperti perihal kemiskinan, infrastruktur pemerintah yang sering terbakar, bencana banjir dan terakhir kasus busung lapar (marasmus). Di lain pihak, sederetan pemberitaan tentang masalah ini dipahami oleh masyarakat seakan-akan ada sebuah strategi yang dikembangkan untuk meningkatkan kucuran dana dari pusat. Persoalannya adalah apakah problem kekurangan dana dalam pembangunan HSU diiringi dengan adanya kucuran dana dari pusat benar-benar efektif diperuntukkan bagi pelayanan terhadap masyarakat HSU?
Hal ini belum lagi jika diiventarisir berbagai persoalan seperti penggelapan gaji guru bantu oleh oknum Dinas Pendidikan HSU yang sampai hari ini belum tuntas dilakukan oleh pihak kepolisian dan kejaksaan, termasuk sisa gaji bulan Desember untuk guru bantu yang belum diselesaikan hingga hari ini. Pertanyaan-pertanyaan demikian sebenarnya agak terlambat diapungkan dan dikritisi, sehingga banyak persoalan yang tidak pernah tuntas dan pemerintah HSU seakan tidak memiliki indikator yang jelas untuk memberikan penilaiaan terhadap kinerja setiap instansi di bawah koordinasinya.
Dari sekian pertanyaan strategis, tulisan ini memfokuskan persoalan kinerja sebagaimana data dan informasi yang telah dikumpulkan kawan-kawan di lapangan guna membantu Pemerintah HSU dalam mencermati setiap pilihan-pilihan alternatif dan kebijakan yang dibuat selama ini, termasuk mengapa ada kasus busung lapar mencuat di HSU.
Menjual Kemiskinan
Jika tahun 1990-an kalangan NGOs sering mendapat tuduhan dari rezim Orde Baru menjual kemiskinan bangsa Indonesia kepada dunia, sehingga mendapatkan dana dalam upaya melakukan pemberdayaan dan advokasi kepada masyarakat sekalian dijadikan sebagai jembatan untuk membawa gerbong demokrasi, termasuk ide-ide kapitalis dan berbagai boncengan lainnya dalam upaya melemahkan penguasa yang tiran lewat proses pembelajaran demokrasi pada rakyat.
Hari ini sangat berbeda, bahwa bukan saja NGOs yang mendapat tuduhan, tetapi justru pemerintah daerah melakukan hal yang sama menjual kemiskinan agar mendapat kucuran dana dari pusat. Fakta ini berkembang, ketika pemerintah pusat meminta data kemiskinan kepada para Kepala Daerah. Kebanyakan Kepala Daerah enggan menyampaikan data kemiskinan karena hal itu menyangkut informasi kinerja yang buruk dibawah kepemimpinannya. Tetapi ketika pemerintah pusat benar-benar menyalurkan dana untuk daerah yang menyajikan data kemiskinan, tiap Kepala Daerah berlomba-lomba “menjual kemiskinan” daerahnya kepada pemerintah pusat.
Dalam konteks kasus busung lapar di HSU, Pemerintah HSU dalam hal ini bupati dan anggota legislatif dan masyarakat semestinya tidak terpaku pada angka-angka busung lapar, tetapi mencermati pada kinerja yang selama ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan termasuk lembaga ujung tombak yang ada di bawahnya mengapa busung lapar mencapai ribuan? Pemerintah dan anggota legislatif HSU jangan terjebak pada paradigma bahwa informasi “kemiskinan/busung lapar” adalah langkah strategis dalam merebut dana dari pusat. Pikiran-pikiran demikian adalah sesuatu yang menyesatkan, sementara persoalan mendasar berkaitan dengan pelayanan dan kinerja tidak menjadi bahan kajian dan evaluasi bahwa problem apa sebenarnya yang terjadi di instansi Dinas Kesehatan.
Sebagaimana banyak teori tentang kinerja, jika dikaitkan dengan apa yang telah dilakukan Dinas Kesehatan HSU, bahwa kinerja dalam birokrasi ukurannya tidak sekadar menggunakan indikator-indikator seperti efisiensi dan efektifitas saja, tetapi harus dilihat juga dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas (Dwiyanto, 2002:47). Dalam pandangan birokrasi penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik sering kali memiliki wewenang monopolis sehingga pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan.
Teori ini memberikan dasar pemikiran bahwa apakah selama ini masyarakat HSU sebagai pengguna jasa benar-benar terlayani. Jika salah satu kasus seperti busung lapar didata dengan cermat, maka seperti yang dikatakan Kepala Dinas Kesehatan HSU masih banyak lagi. Lalu apakah ada sesuatu yang tidak beres dalam pelayanan kesehatan selama ini, atau barangkali tidak efektifnya program kerja yang dibuat, atau motivasi paramedis dan dokter yang rendah, atau di sisi masyarakat yang memang rendah partisipasinya dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Variabel kinerja ini sebenarnya dapat juga diamati dalam kurun waktu tiga atau lima tahun terakhir misalnya berkaitan dengan derajat kesehatan penduduk HSU, Human Development Index (IPM), frekuensi berobat penduduk, tingkat morbiditas (kesakitan), mortalitas (kematian) maupun angka harapan hidup penduduk. Jika terjadi penurunan pada derajat kesehatan, HDI, angka harapan hidup dan meningkatnya tingkat morbiditas dan mortalitas, berarti telah terjadi kinerja dan kualitas layanan yang buruk bagi pengguna jasa.
Sebenarnya beberapa program yang dilakukan tidak sekedar diamati pada proses dan efektiftas pelaksanaan saja, tetapi pada faktor efisiensi dalam hal ini pendanaan yang dikucurkan termasuk mitra kerjasama dalam memberikan pelayanan kesehatan. Misalnya program seperti Family Health Nursing (Perawatan Kesehatan Keluarga) salah satu tujuan dalam mengatasi gizi buruk (marasmus kwashiorkor) maupun pengobatan dan sunatan massal semisal bekerjasama dengan perusahaan besar seperti PT Adaro Indonesia. Efektifitas dan efisiensi yang dimaksudkan adalah adanya pelayanan prima yang berkesesuaian dengan kucuran dana yang didapatkan, demikian pula jasa bagi pelaksana seperti paramedis dan para dokter. Terkadang, paramedis dan para dokter sebagai pelaksana sering kali dikebiri jasanya oleh arogansi organisasi strukturalnya. Hal ini salah satu faktor berakibat rendahnya motivasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Disinilah sebenarnya Pemerintah HSU mesti memahami apa saja indikator dalam menilai kinerja sebuah organisasi, bukan malah terjebak dalam paradigma menyesatkan hanya untuk mengejar bantuan dana karena PAD HSU selama ini sangat minim. Adalah sesuatu yang kontraproduktif, jika daerah selalu mendapat kucuran dana dengan “menjual” kemiskinan bukan dengan program yang cerdas. Ironisnya lagi, jika pelaksanaan program, penyediaan sarana fisik dan infrastruktur tidak efisien dan hanya menjadi “serbuan para tikus berdasi” yang suka membagi “persen” agar tetap langgeng.
Indikator-indikator kinerja ini seperti dikemukakan di atas sebenarnya dapat dijadikan instrumen sederhana untuk menilai dan mengevaluasi kinerja dinas-dinas di lingkungan Pemkab HSU. Pemkab HSU mesti memiliki responsivitas yakni kemampuan dalam memahami kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pengembangan. Misalnya lontaran masyarakat HSU yang mesti direspon, apakah ada Kepala Dinas di lingkungan Pemkab HSU menjabat sangat lama, bahkan hampir tiga bupati yang berkuasa? Lalu bagaimana kinerjanya selama ini? Mengapa mampu menjabat dalam kurun waktu yang lama? Jika lontaran masyarakat HSU ini benar adanya, maka cukup direspon dengan teori kekuasaan Lord Action bahwa seseorang yang berkuasa lama cenderung korup. Teori ini setidaknya agar bisa memberikan pengertian pada Pemkab HSU khususnya Bapak Bupati agar pada pilkada HSU 2007 nanti tetap bersinar. Jika tidak, catatan dan data-data kinerja Pemkab HSU akan menjadi isu hangat dalam menyongsong perubahan dan putera-putera HSU lainnya bersiap-siap untuk melakukan perubahan, pergantian dan bertemu di 2007 nanti. Salam! (Banjarmasin Post, 2004)
Penulis: Alumnus SMA Negeri Alabio HSU
No comments:
Post a Comment