Oleh: Taufik Arbain
Pengantar
Tulisan ini dipersiapkan beberapa bulan yang lalu, ketika bergulir wacana adanya pemekaran kecamatan di Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Kampung Jajangkit yang terdiri dari Jajangkit Muara, Jajangkit Pasar, Jajangkit Barat dan Jajangkit Timur plus Desa Bahandang, Sampurna dan Tatah Pandan akan dikukuhkan menjadi sebuah kecamatan yang beribukota di Jajangkit Pasar.
Lalu bagaimana sebenarnya deskripsi sosial budaya dan sosial ekonomi calon kecamatan tersebut; dan bagaimana aspirasi masyarakat atas calon kecamatan tersebut.
Hal ini menarik menjadi kajian CRDS Kalsel (Center for Regional Development Studies), sehingga Jajangkit menjadi salah satu objek kajian terbatas tim CRDS. Jajangkit pernah dikunjungi tahun 2000 sekedar manapaki cerita-cerita seputar hutan raya “PULAU KADAP” yang ada kaitannya dengan perkampungan-perkampungan kehidupan masa lalu, kemudian terakhir Maret 2004 yang mengesankan perkampungan tersebut belum banyak mengalami kemajuan berarti.
Berkelana di Tengah Badai
Catatan lapangan tim CRDS sepanjang kajian ini, masyarakat ke tujuh desa menyambut hangat adanya rencana pemekaran tersebut. Harapan ini sejalan ketika tahun 1984 yang menjadikan Jajangkit sebagai Perwakilan Kecamatan Mandastana, mengingat jumlah penduduk yang masih belum memenuhi menjadi sebuah kecamatan (<5000 6000="" alalak.="" alalak="" aliran="" anak="" anjir="" bahandang="" berhubungan="" br="" dalam="" dan="" data="" desa="" di="" dihimpun="" dua="" empat="" jajangkit="" jiwa="" jumlah="" kasar="" ke="" kemudian="" lain="" mana="" mencapai="" menyebutkan="" oleh="" pada="" pandan="" penduduk="" sampurna="" satu="" sungai="" tatah="" terakhir="" terdistribusi="" terpisah.="" tersebut="" terusan="" tujuh="" wilayah="" yang="">Dalam perspektif demografi, pertumbuhan penduduk yang lamban ini berkorelasi dengan sosial ekonomi yang ada di ke tujuh desa tersebut. Pertumbuhan penduduk hanya disebabkan oleh adanya fertilitas saja dan program transmigrasi yang berlokasi di Desa Bahandang. Kedatangan penduduk pendatang sebagaimana kasus era 80-an, justru terjadi sebaliknya. Inilah sebenarnya persoalan mendasar yang terjadi di ke tujuh desa tersebut, terutama di Jajangkit.
Ada empat catatan kritis yang menarik menjadi perhatian khususnya bagi pemerintah Kabupaten Barito Kuala; Pertama, Jajangkit dan beberapa desa lainnya merupakan penghasil padi dan ikan serta kayu khususnya di hutan raya “Pulau Kadap”, yang memberikan penghasilan signifikan bagi masyarakat. Panen besar setiap tahun menjadikan penduduk berdatangan untuk membuka lahan dan jeda musim lacak (menanam padi) memberikan penghasilan bagi penduduk untuk mencari ikan. Jajangkit dan sekitarnya hingga akhir tahun 1990-an termasuk penyuplai ikan terbesar untuk Pasar Antasari dan Pasar Lama. Panen yang besar menyebabkan perkebunan belum menarik diperkenalkan pada penduduk setempat. Awal tahun 1990-an, merupakan masalah besar yang dihadapi penduduk khususnya Jajangkit, ketika kebijakan pemerintah melakukan pengerukan di ujung Desa Jajangkit Timur yang menyebabkan air menjadi masam. Asumsi masyarakat bahwa air menjadi masam disebabkan oleh aliran air di ujung Desa Jajangkit Timur yang tidak mengalir. Semula air dari gunung Desa Garis Kabupaten Tapin dan Pulau Kadap mengalir menuju muara sungai Jajangkit yang terus mengalir ke sungai Alalak. Tentu saja ini perlu dilakukan kajian mendalam pada bidang pertanian, tetapi hal ini diasumsikan sebagai faktor determinan yang menyebabkan kerusakan lahan pertanian, di samping ikan tidak mampu berkembang biak dengan baik sebagaimana sebelumnya. Harapan masyarakat pengerukan tanggul keliling tersebut bisa dibelah untuk mengalirkan air tersebut.
Kedua, jenis pekerjaan penduduk yang mayoritas sebagai penebang kayu, pencari ikan dan petani oleh kondisi kampung halaman yang tidak mampu memberikan akses ekonomi yang lebih baik menyebabkan penduduk laki-laki setempat melakukan mobilitas mencari pekerjaan ke luar daerah seperti ke Banjarmasin menjadi buruh bangunan, ke Kalteng untuk menebang kayu dan mencari emas. Akibatnya sex ratio yang menunjukkan <100 1990-an.="" ada.="" akibatnya="" aluh-aluh="" anjir="" apalagi="" belum="" berpengaruh="" bertahan="" br="" bubuhan="" buruh="" daerah="" dalam="" dan="" di="" dinamika="" ekonomi="" era="" gambut="" hingga="" ini="" jika="" jumlah="" kehidupan="" keluar="" kemiskinan="" konteks="" lahan="" maka="" masih="" melakukan="" mendera="" menetap="" menggarap="" menjadi="" menjelaskan="" mereka.="" mereka="" migrasi="" musim="" optimal="" panen="" pangagarun="" penduduk="" perempuan="" permanen="" pernah="" produktifitas="" sebelum="" sedikit="" sesuatu="" setempat="" sosial="" tani="" terhadap="" terjadi="" terus="" tidak="" tujuan.="" yang="">Ketiga, faktor sosial ekonomi yang menyedihkan tidak sekedar menyebabkan mereka melakukan mobilitas dan migrasi (madam), berhubungan erat dengan kemampuan ekonomi untuk mengecap pendidikan yang lebih baik. Didirikannya SMP tahun 1996 cukup membantu dalam meningkat SDM yang diharapkan akan membantu pola pikir masyarakat untuk memberikan partisipasi dalam pembangunan. Namun problem faktor ekonomi yang mengandalkan pada pertanian, menebang kayu dan mencari ikan menyebabkan motivasi menyekolahkan anak rendah. Mayoritas anak-anak lulusan SD dijadikan sebagai komoditas untuk membantu mencukupi penghasilan orang tua hingga terlibat melakukan mobilitas berbagai tempat.
Keempat, Jajangkit dalam catatan CRDS diumpamakan sebagai “Gang Buntu”, artinya wilayah yang bukan merupakan daerah lintasan. Ini berakibat pada rendahnya perhatian dan kontrol terhadap setiap pelaksanaan kebijakan pembangunan. Kebijakan pemerintah yang diharapkan mendorong akselarasi pembangunan sering dilaksanakan “seadanya” oleh aparat maupun kontraktor yang terkait sehingga tujuan pembangunan tidak tepat sasaran. Proyek Air Mikro misalnya, merupakan fakta yang seadanya, dan bencana banjir kemaren akhirnya menjadi pembenar kegagalan proyek tersebut untuk “cuci tangan”. Fakta ini tidak jauh berbeda dengan sektor pertanian yang terkesan “mengeksploitasi” hak-hak rakyat.
Selanjutnya imej “Gang Buntu”, untuk Jajangkit, bisa pupus, jika Pemerintah Batola kembali meneruskan pembanguan Jalan Budi Aziz yang menghubungkan Jajangkit dengan Antasan Sutun Sungai Tabuk Kabupaten Banjar yang sebelumnya dirintis oleh Bupati H. Abdul Aziz era 1980-an.
Arti Sebuah Nama
Penamaan kecamatan baru untuk ke tujuh desa tersebut, sedikit mengalami perdebatan. Catatan lapangan sepanjang kajian ini menyebutkan, bahwa ada keinginan elit pemerintah Kecamatan dan Kabupaten memberikan nama kecamatan tersebut dengan Jajangkit Baru. Motif apakah yang mendasari keingian yang tidak bertolak pada prinsip-prinsip button up planning tersebut, sebenarnya sudah bisa dibaca oleh penduduk Jajangkit yang terdiri dari etnis Bakumpai, Jawa, Banjar dan mayoritas Hulusungai. Masyarakat Jajangkit justru menghendaki pemberian nama berasal dari keinginan mereka, bukan keegoan seorang pejabat yang ingin “punya nama dan populis”. Mereka menginginkan kecamatan baru tersebut dengan nama JAJANGKIT RAYA, yang berarti keagungan, besar dan luas serta mengakomodir empat Desa Jajangkit dan tiga desa lainnya.
Tentu saja aspirasi ini penting diperhatikan oleh pemerintah, sebab pemberian nama yang tidak dikehendaki oleh pemilik negeri akan menyebabkan sulitnya penerimaan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan berikutnya. Ketika aspirasi demikian tidak didengar, maka kecurigaan-kecurigaan terhadap kebijakan pembangunan yang dilaksanakan justru tidak memberikan dampak yang optimal. Jika tidak percaya, mari kita kaji latar belakang sosial budaya penduduk Jajangkit yang merupakan penduduk pendatang era 1960-an yang membuka perkampungan dari hutan belantara.(diterbitkan Banjarmasin Post 2004)100>5000>
No comments:
Post a Comment