Oleh: Taufik Arbain
Dalam sebuah diskusi interaktif di TVRI Kalsel, Jumat lalu tentang fenomena pasca pemilu, saya dengan seorang pengurus DPW dari Partai Amanat Nasional Kalsel, Rahmat Nofliardi yang juga narasumber, pandangan kami ditanggapi salah seorang pemirsa. Dikatakannya bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi soal DPT, money politic, intimidasi dan lainnya. “ Kalah ya kalah, menang ya menang” demikian ucapan pemirsa via telepon.
Menarik tanggapan pemirsa ini, paling tidak ada sebuah kelucuan dan sikap pasrah dengan keadaaan yang terjadi. Perilaku pemilih model seperti ini bisa dikatakan memahami soal demokrasi belum pada tataran subtansial, tetapi baru masuk dalam tahapan prosedural saja dari rekruitmen caleg di parpol, proses kampanye dan pemungutan suara. Kesan ungkapan memang seperti seseorang tidak mau berkonflik, arif-bijaksana, menerima apa adanya proses demokrasi yang berlangsung.
Fakta ini dapat kita bayangkan, apakah kita bisa mengasumsikan bahwa hampir 75 % misalnya masyarakat kita terjebak pada pola pikir seperti ini dalam memahami substansi demokrasi. Kemudian sisanya misalnya ada sebagian masyarakat yang mempersoalkan substansi demokrasi. Dua pokok ini sebenarnya berpulang pada bentuk siapa yang berkepentingan atas pemilu. Setidaknya perilaku pemilih dapat dilihat dari derajat ini.
Saya katakan, bahwa pasca pemilu ini soal kalah menang itulah adalah hal lain, dimana penentuan kalah menang atas perolehan suara telah ada aturan mekanismenya. Sementara persoalan lain dalam proses pemilu adalah catatan-catatan strategis yang harus mendapat perhatian publik untuk pencapaian kebaikan dan substansi demokrasi dari penyelenggaraan pemilu yang benar.
Catatan-catatan seperti lemahnya kinerja KPUD dan Panwaslu misalnya adalah catatan penting ke depan bahwa tim seleksi yang menetapkan orang-orang yang menjadi anggota KPU/KPUD bukan orang yang tidak memiliki kapasitas dan pengetahuan minim tentang pemilu. Demikian juga anggota Panwas bukanlah orang yang sekadar mampu bekerja pada terpenuhinya tataran prosedural dimana melakukan tindakan pembiaran atas ragam pelanggaran dengan alasan habis tengat pelaporan. Wajar jika banyak pihak mengatakan pemilu kali terburuk dalam penyelenggaraan dan terburuk dalam proses demokrasi yang cenderung transaksional.
Atau catatan adanya money politic dari partai politik yang memanfaatkan pragmatisme kegalauan pilihan publik sehingga mendorong pembodohon politik masyarakat. Atau catatan-catatan betapa tidak pahamnya petugas TPS mana suara yang sah dan tidak sah dan rekapitulasi perhitungan, karena lemahnya sosialisasi.
Belum lagi catatan longgarnya seseorang menjadi caleg yang hanya bermodal semangat tanpa dibarengi mental dan kapasitas yang cukup sehingga berdampak pada psikologis/stress ketika gagal mendulang suara dan berpredikat “orang gila”. Atau seorang perempuan yang terpilih tiba-tiba berkomentar akan memperjuangkan ibu-ibu bersenam erobik. Suatu cara pikir caleg remeh temeh yang tidak layak diperjuangkan.
Inilah catatan lain dari pasca pemilu yang seharusnya menjadi perhatian publik. Sebab tahapan demokrasi yang dihadapi selanjutnya adalah Pilpres dan Pilkada. Proses tahapan ini menjadi lebih baik apabila ada analisa dan evaluasi yang diapresiasi oleh banyak pihak baik penyelenggara, parpol, pemerintah dan publik sendiri.
Jika pandangan-pandangan seperti dipahami sekadar angin lalu dan tidak dipersoalkan, demokrasi kita mengalami situasi deficit kalau tidak ingin dikatakan bangkrut. Bahwa proses demokrasi kita sekali lagi hanya prosedural belaka. Apalagi proses yang prosedural ini oleh kalangan anti demokrasi yang menjadi elit-elit dari proses demokrasi itu sangat menginginkan terus berlangsung. Sebab kehadiran kalangan ini menjadi elit dari proses situasi demokrasi yang deficit tersebut. Apakah kita masih menginginkan situasi yang sangat merugi ini? Terlalu kata Rhoma Irama jika demikian.Heh!*** (idabul, 20 April 2009)
No comments:
Post a Comment