Oleh: taufik arbain
Seminggu sebelum hari “H” pemilu , dalam sebuah seminar di IAIN saya bersama ketua KPUD Kalsel, Ketua Panwaslu Kalsel dan narasumber dari POLDA Kalsel berbicara soal kesiapan dan antisipasi kecurangan pelaksanaan pemilu. Bahkan sehari sebelum hari “ H” di TVRI dan Duta TV. Saya mengungkapkan bahwa ada tiga hal utama kecenderungan kecurangan yang dihadapi menjelang pemilu. Pertama, money politic. Kedua, intimidasi politik dan ketiga maal administratif.
Point pertama, semua sudah mafhum dilakukan sebelum kampanye, saat kampanye bahkan serangan fajar dengan alas an uang ucapan terima kasih.
Point kedua, sesuatu yang dilakukan dengan gaya premanisme, dimana partai tertentu menyewa preman dalam mengawasi kesaksian perhitungan suara, atau dengan modus pengurus KPPSnya diformat dari komunitas preman yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan pihak yang mengorder kemenangan .
Point ketiga adalah fakta yang menjadi celah yang akan dialamatkan kepada pihak KPU /KPUD khususnya berkaitan dengan soal Daftar Pemilih Tetap (DPT). Saya katakan fakta di Jatim merupakan sinyal untuk dijadikan komoditas politik sebagai instrumen serangan dari partai yang tidak puas dengan perolehan suara. Di sisi lain, KPU/KPUD akan menjadi sasaran tidak becusnya dalam penyelenggaraan pemilu.
Soal DPT ini, sangat disayangkan kalau semisal untuk menghindar dari kesalahan akibat ketidakcermatan dan optimalnya dalam penyusunan DPS/DPT berlindung dibalik fakta yang terjadi se-Indonesiaan.”Seindonesia sama haja”, demikian ucapan petinggi KPUD. Ini bukan jawaban yang cerdas sekalipun ada upaya untuk melakukan pemutakhiran data untuk melakukan Pilpres. Padahal kerugian nilai-nilai demokrasi yang atas kelalaian ini menjadikan demokrasi bangkrut.
Kita menyayangkan pihak pemerintah yang turut memiliki otoritas atas data penduduk pemilih seperti lempar tangan seadanya saja menyerahkan karena dianggap bisa haja KPUD mengurusnya. Kemudian KPUD untuk mengejar tahapan dan rangkaian pelaksanaan pun asal-asalan mengumumkan DPS yang sifatnya pasif. Akibatnya sempurnalah kekeliruan jika banyak penduduk yang tidak mendapat undangan, tidak terdaftar bahkan orang gila dan yang sudah meninggal masih memiliki hak pilih. Wajar jika kinerja KPUD hanya masih dalam tataran birokratis dan tahapan prosedural saja. Berat berharap pada kualitas.
Kemudian soal intimidasi politik. Saya mengatakan bahwa ada modus pembentukan KPPS dan saksi akan menjadi ajang pelanggaran berjamaah. Bagaimana tidak ditemukan fakta partai tertentu melakukan intimidasi dengan iming-iming sejumlah dana kepada panitia sehingga sangat nampak kejanggalan ditemukan. Tidak ada yang berani protes, kecuali menjadi pembicaraan di warung kopi yang tentu saja bagi Panwaslu tidak bisa dianggap laporan gugatan karena tidak memenuhi azaz-azaz sebagaimana diatur undang-undang harus ada pelapor paling tidak sebelum tiga hari dari kejadian sehingga kasusnya masih bisa diperkarakan.
Sensitif mengungkapkan temuan fakta kecurangan yang ada di Kalsel. Pas hari “ H” sekitar sore hari, seseorang dari Desa Lamunti, Kecamatan Mantenge Kabupaten Kapuas yang pernah mendapatkan pelatihan politik dan demokrasi menelpon saya tentang kecurangan yang sangat dahsyat dan berani. Bahwa para pemilih mendapatkan kertas suara saat di meja bilik telah diconteng atas nama seseorang dari partai tertentu. Dahsyatnya saat dibuka kertas suara langsung ada dana Rp. 25.000.
Bayangkan, ini sebuah kejahatan yang nyata dan sangat berani. Kalau modus money politik sering dikenal dengan serangan fajar operasinya pagi-pagi atau malam hari sebelum hari pemilu. Tetapi kalau fakta yang disebutkan diatas adalah sesuatu yang jelas ada intimidasi tidak sekadar pada warga pemilih, tetapi para petugas telah dibeli hingga terjadi fakta demikian.
Bagi saya, fakta di Kalteng ini sebenarnya relatif sama ada yang melakukan di Kalsel. Kejadian di Kalteng yang bisa saya lakukan hanyalah menyarankan hal-hal yang bersifat normatif sebagaimana di atur dalam undang-undang. Tapi sayang memang, faktor sumber daya manusia, faktor kecurangan sistematik dan faktor ketidakberanian menyebabkan kasus itu menguap begitu saja. Namun demikian, saya sangat menghargai geliat penduduk yang sebelumnya saya training bersama teman-teman lewat kegiatan kontrak menjelang pemilu 2009 se-Kalteng oleh GKE Banjarmasin.
Itulah sebabnya, ketika indikasi motif kejahatan demokrasi telah kita kemukakan,maka kita menyarankan satu-satuya untuk mengawal demokrasi adalah dengan cara mengawasi proses perhitungan hingga rekapitulasi hingga akhir. Sekalipun ada saksi, sangat memungkinkan saksi dan oknum petugas KPPS pun bisa saja terbeli, sehingga yang kita saksiskan pemilu 2009 hanyalah simbolik belaka. Demokrasi pun masih saja babak belur!!!.(idabul, 13 April 2009)
No comments:
Post a Comment