Oleh: Taufik arbain
Kemarin adalah hari terakhir masa kampanye. Ini bermakna bahwa instrument dan kegiatan apa pun yang termasuk kategore kampanye dinyatakan tidak ada lagi. Nah, tentu saja untuk kegiatan berupa arak-arakan dan terbuka dipastikan tidak ada lagi, karena para kader,
tim dan caleg kauyuhan rundak rakai ka sana ka mari melakukan kampanye. Cuma yang tersisa adalah spanduk, poster dan baliho yang terpampang di median dan pinggir jalan atau di tempat-tempat terbuka.
Perkara demikian, tentu saja kewalahan dinas kebersihan dan tata kota untuk melakukan pencopotan, katakanlah se-Banjaran atau se- Barabaian atau se-Kotabaruan. Perilaku para caleg yang memasang sebenarnya memiliki tanggung jawab untuk melepaskannya. Tetapi dianggap masa bodoh dan dibiarkan petugas menyelesaikannya.
Hal demikian kada gagampangan. Sebab membutuhkan waktu 2 sampai 3 harian untuk membersihan se-kampungan bebas dari atribut kampanye partai dan DPD RI. Kalau dilakukan secara matematis, maka efektif masa tenang tanpa atribut bukan empat hari, tetapi cuma satu hari.
Perkara demikian, terkadang dianggap remeh dan biasa. Padahal ini berkaitan dengan taat hukum dan aturan. Saya melihat fakta ini sama halnya dengan pelanggaran kampanye yang hampir dilakukan semua caleg dari partai-partai. Jadi pelanggaran seakan dianggap sah karena dilakukan secara berjamaah. Sementara Panwaslu sangat sulit melakukan tindakan, selain disebabkan kababanyakan yang melanggar, juga pasal yang dikenakan multi tafsir.
Contoh, ketika caleg dituduhkan melakukan kampanye yang bukan jadwalnya, sang caleg mengatakan melakukan sosialisasi. Lucu memang, padahal jika perilaku sifatnya mengajak sekalipun tidak diucapkan, tetapi diikuti dengan aktifitas melakukan sesuatu yang sifatnya menarik simpatik, ya beda tipis dong antara sosialisasi dengan kampanye. Bukankah istilah sosialisasi itu sering digunakan oleh institusi pemerintah atau NGO sebagai kelompok kepentingan yang netral untuk memberikan pengetahuan demi kebaikan bersama. Sedangkan partai kan demi kebaikan sepihak.
Kembali ke soal baliho usai. Seyogyanya, agar pasal-pasal dalam undang-undang benar-benar terlaksana bahwa masa tenang itu efektif empat hari, maka jauh-jauh hari sudah ada planning berkaitan dengan koordinasi dan kebijakan untuk melepaskannya apakah pihak KPU, Panwaslu dan Pemerintah setempat hingga ke kelurahan dan desa, dengan orientasi efektif tanggal yang telah ditetapkan sudah bersih. Jar urang Hulusungai, jika perencanaannya jelas, tengah malam pukul 12. ting sudah dilakukan gerakan pembersihan atribut kampanye.
Kalau berharap dengan pihak caleg atau partai. Ditatawaakannya. Karena dianggap telah ada pihak yang bertanggung jawab untuk melepaskannya. Cuma persoalanya, kalau baliho di pinggir jalan, di muka gang masih mudah untuk dirobohkan. Tetapi kalau baliho yang besar di median jalan, tentu membutuhkan waktu dan resiko besar kalau tersetrum listrik mun kada bisa!!! Karena dinas yang katuju bapacul-pacul baliho kelihaiannya hanya bisa bajujurak spanduk saja, bukan melepaskan baliho sing ganalan itu.
Jadi kalau menunggu menyurati dulu kepada yang bertanggung jawab, namanya masa tenang sudah tidak ada lagi. Ini memang boleh jadi hal kecil dari serangkaian tahapan pemilu. Tetapi ini menunjukkan kemampuan kinerja pada aparat yang berkepentingan atas hal tersebut. Bahwa ini menyangkut kewibawaan lembaga dan pemerintah, apakah konsisten dengan aturan yang dibuat dan soal kapabilitas dalam menjalankan tugasnya.
Memang kata teman, jika anggota KPUD kah atau anggota Panwaslukah, jika memahami pekerjaan rangkaian tahapan pemilu saja loadingnya lambat, maka sulit berharap terpikirkan hal-hal yang kecil seperti soal rencana koordinasi pelepasan atribut kampanye. Artinya kemampuan pekerjaannya mereka dalam ranah prosedural saja yang miskin kualiatas.
Soal pelepasan baliho ini, sebenarnya agak terbantukan karena besarnya partisipasi warga yang mau membantu melepaskannya. Tetapi untuk baliho-baliho kampanye yang ukuran besar-besar saja. Sebab seperti perbincangan saya dengan pakacil warung, bahwa, “ baliho 2 buah dimuka warungku ni jam 12 malam aku cabut saurang. Malaran gasan tikar manjamur banih dan atap warung supaya kada tampias”. Jadi bersyukurlah petugas dan para caleg karena ada yang memaculkan.***(Idabul, 6 April 2009)
No comments:
Post a Comment