Sunday, May 10, 2009

Jalan Veteran

Oleh: Taufik Arbain
Seorang teman dari Jakarta saya ajak keliling kota Banjarmasin melintasi Jalan Veteran. Teman ini rupanya sejak lima tahun baru kembali ke Banjarmasin. Dia menyatakan apresiatif dan kagum dengan perkembangan jalan veteran dari perempatan lampu merah A.Yani 1 karena sungai-sungai kecil disiring dengan beton. “ Lima tahun yang lalu saya lewat disini kumuh sekali. Air sungai mengalir di kolong rumah dan warung-warung penduduk. Banyak sampah lagi. Sekarang luar biasa”, demikian kata teman tadi.

Apa yang dikatakan teman tadi benar adanya. Cuma persoalannya, upaya pembebasan rumah dan toko penduduk di kawasan tersebut sekarang seakan lebih berorientasi kepentingan daratan. Artinya pembebasan lahan seakan dominan peruntukkannya pelebaran jala, dan terkesan bukan kepentingan sungai yang diutamakan.
Saya agak kaget, ketika rumah dan warung dirobohkan, teryata sungai itu rata-rata lebarnya mencapai 2,5 – 4 meter, bahkan ada kawasan laluannya yang mencapai 5 meter. Harapan menggelora bagi banyak warga kota yang melintas di kawasan tersebut, bahwa kota ini dijamin tidak akan banjir apabila curah hujan tinggi,karena pemerintah telah memberikan perhatian pada eksistensi sungai untuk menampung air buangan banjir.
Sekalipun hanya 25 % dari jalur yang dibebaskan, impian warga kota akan menyaksikan aliran sungai dari sungai Lulut menuju aliran di samping Tempekong mengalir dan ditumbuhi pepohonan yang rindang, sudah menyelinap dalam pikiran mereka. Warga kota membayangkan ada di aliran sungai tersebut melihat penjual buah-buahan mengayuh jukungnya, itupun apabila warga tidak membuat jembatan yang rendah.
Tetapi ketika dilakukan penyiringan oleh instansi terkait justru luasan sungai rata-rata hanya 2 sampai 2,5 meter saja. Jadi apa bedanya dengan yang lalu? Yang beda kalau dulu air bisa mengalir di bawah kolong, sedangkan sekarang mengalir tanpa tidak dibawah kolong lagi, namun sayangnya dengan luasan sungai yang sempit. Belum lagi jika warga tidak diawasi membangun jembatan yang rentan menutup wajah sungai.
Tentu saja ini sekadar mengingatkan untuk proyek rehabilitasi sungai-sungai di kota ini, dimana diupayakan justru lebih berpihak pada eksistensi sungainya bukan pembebasan lahan untuk mempersempit sungai guna melebarkan jalan. Artinya bukan sungai menjadi korban untuk pelebaran jalan.
Jalan adalah hal penting dalam mengatasi kelancaran lalu lintas. Tetapi persoalan hulu berkaitan dengan meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor harus menjadi perhatian serius, demikian juga pembuatan jalan-jalan alternatif baru sebagai pemecah arus.
Ini penting dikemukakan, karena di kota ini banyak jalan yang disampingnya memiliki aliran sungai, yang bisa saja akan menjadi korban penyempitan atas nama rezim jalan darat. Jika ini terjadi pada upaya pembebasan lahan yang berada di atas sungai, maka terasa tidak memiliki makna Dinas Kesungaian yang baru dibentuk tersebut.
Kasus jalan Pangeran Hidayatullah yang lebih familiar dengan sebutan jalan tembus Banua Anyar adalah fakta pembuatan jalan alternative yang tanpa pengawasan lanjutan. Samping kiri-kanan bahu jalan berpotensi untuk dibuat selokan besar guna mengalirkan air buangan curah hujan dan berhubungan dengan anak sungai Pangambangan.
Realitasnya justru diuruk permanen oleh pemilih ruko dan warung, hingga sulit bagi pemerintah membuat kembali selokan tersebut. Inilah yang kita maksudkan bahwa perencanaan pembuatan jalan maupun pembebasan lahan serta rehabilitas sungai tidak direncanakan secara komprehensif sampai pada tahapan pengawasan dan integritas ragam rancangan, mengakibatkan membengkaknya cost pembangunan yang sia-sia.
Jadi kehadiran Dinas Kesungaian justru lebih mengarahkan bagaimana sungai-sungai di kota ini tidak hilang atau hidup segan mati tak mau. Sebab propaganda lestarikan sungai sungai dikumandangan hampir 20 tahun oleh aktifis peduli eksistensi sungai di kota. Sayang, jika perda yang ada justru hanya sebagai tameng memperkuat eksistensi rezim daratan yang menyempitkan sungai secara perlahan. Terlalu, kata Bang Haji Rhoma Irama.**(idabul, 14 Mei 2009)

2 comments:

HE. Benyamine said...

Ass.

Yap, cara pandang yang perlu dibenahi, sungai sebagai pandangan ke depan dan memang disitu ada masa depan untuk kota Banjarmasin.

Kalau tidak salah, walikota dan rombongan baru2 ini sudah ke Belanda, tentu mereka sudah melihat bagaimana sungai di sana. Bahkan, rumah terapung juga ada dan dikelola dengan baik. Kecuali, rombongan tersebut memperhatikan yang lain, karena sudah bosan melihat sungai di banua.

Terlalu memang, bila kehilangan pandangan terhadap sungai dan hanya menganggapnya sebagai lahan tambahan untuk memperlebar jalan darat di sampingnya.

Taufik Arbain said...

Jadi memang. bepergian ke Belanda sudah dirancang dan dilegitimasi dengan kehadiran perda kesungaian. Tapi rupanya tidak membawa makna apa apa.