Sunday, May 17, 2009

Jalan Tambang “Nakal”

Oleh: Taufik Arbain
Sudah diperkirakan sebelumnya, bahwa kebijakan pemerintahan 2 R berkaitan tentang kewajiban bagi perusahaan tambang untuk membuat jalan sendiri bagi lintasan angkutan batubara tidak akan berjalan mulus. Mulus dimaksudkan sebagaimana kekhawatiran adalah ulah perusahaan yang “nakal” untuk tidak menggubris atau melaksanakan sesuai dengan target waktu yang ditetapkan dengan batas akhir tanggal 23 Juli 2009.

Faktanya sebagaimana disinyalir, saat ini berdasarkan evaluasi yang terlampau mendekati bulan “H” justru sebagian perusahaan tidak menunjukkan progress berkaitan dengan pembuatan jalan lintasan bagi jalur angkutan tambang dan perkebunan. Sementara berdasarkan Perda Nomor 3 tahun 2008 hanya memberikan teloransi untuk penggunaan jalan umum hingga 23 Juli 2009 ini, sehingga angkutan tambang dan perkebunan harus menggunakan jalan khusus.
Petinggi Kepolisian dan TNI justru memberikan analisa yang cukup signifikan bahwa apabila jalan khusus tersebut belum selesai sesuai jadwal akan menimbulkan chaos di masyarakat. Tentu sangat dipahami dua institusi ini dalam perspektif keamanan publik. Pertanyaannya adalah mengapa pasca dikeluarkan perda tersebut seakan tidak dianggap bermakna bagi sebagian perusahaan? Padahal lahirnya perda tersebut sungguh dianggap publik Kalimantan Selatan sangat mulia dalam mengatasi problem angkutan batu bara yang begitu angkuh.
Cuma sayangnya, kok Pemprop parak hari dan bulannya hanyar melakukan evaluasi. Lalu kenapa tidak dievaluasi per-tiga bulan dan diumumkan ke publik sehingga ada pressure baik oleh legislatif, eksekutif dan stakeholder?
Ada tiga perdebatan penting tentang kehadiran Perda Nomor 3 tahun 2008 dalam konteks progress report (perkembangan) adanya jalan khusus tersebut. Pertama, bahwa kehadiran Perda Nomor 3 tahun 2008 merupakan jalan keluar dari problem langsung yang dihadapi publik berkaitan dengan kemacetan jalan umum. Bahwa kesabaran publik kalsel yang melintasi jalan umum benar-benar teruji dalam kesabaran. Sesuatu yang ironis, jalan diperuntukan bagi umum justru posisi publik terbalik seakan numpang memakai jalan perusahaan.
Ugal-ugalan dan arogansi para sopir yang dilindungi pihak perusahaan seenaknya melintasi jalan Negara. Banyak fakta pihak Kepolisian daerah ini enggan mengeluarkan laporan tahunannya berapa persentasi kecelakaan yang disebabkan oleh kegiatan angkutan tambang di jalan umum. Paling tidak sebagai instrumen penekan untuk memuluskan pentingnya Perda Nomor 3 tahun 2008 untuk diindahkan pihak perusahaan.
Demikian juga Pemkab yang memiliki SDA dan daerah lintasan angkutan tersebut. Ironisnya baik perusahaan, pihak Dephub, Kepolisian dan Pemkab kalah atau pura-pura kalah jika dihadapkan dengan diskursus antara Undang-Undang Jalan dan Undang-Undang Pertambangan, sementara kepentingan publik secara langsung baru diusahakan dengan kehadiran Perda Nomor 3 tahun 2008 tersebut. Jar kawan ini ada hubungannya dengan “adul”.
Kedua, kelompok pecinta lingkungan justru lebih ekstrem menentang kehadiran perda tersebut. Alasannya kehadiran perda tersebut justu mengakomodir dan memberikan ruang besar bagi perusahaan tambang untuk mengeruk SDA sebanyak-banyaknya tanpa pengawasan yang berarti dari Pemerintah. Kelompok ini memberikan pandangan bahwa kehadiran perusahaan hanya sedikit memberikan keuntungan bagi publik daerah. Yang terjadi kerusakan alam dan bencana alam. Maka kelompok ini menghendaki tutup dan stop eksploitasi tambang. Tapi lagi-lagi para politisi dan pihak pemburu kekuasaan tetap mempertahankan, karena perusahaan akan memberikan dana politik untuk memburu kekuasaan termasuk sumbangan bagi anak yatim bagi yang memelihara anak yatim dan pesantren.
Ketiga, jalan khusus akan sulit diakomodasi oleh pihak perusahaan yang kebetulan cenderung nakal. Sebab ada asumsi beda pemerintahan, maka beda kebijakan. Termasuk soal keseriusan baik adanya jalan khusus tambang atau izin terhadap kuasa penambangan ( KP). Fakta yang ketiga ini merupakan kebobrokan mental pengusaha yang tidak mengindahkan masalah kemacetan, debu dan kecelakaan rakyat Kalsel. Buru-buru menghadiri undangan untuk duduk bersama, justru staf yang tidak tahu apa-apa yang diutus.
Fakta ini penghinaan terhadap Pemprop Kalsel, dimana ada kesan pembiaran terhadap upaya mulia pemerintah daerah. Bagaimana tahu pengusaha di Jakarta tentang daerah. Yang mereka tahu apakah perusahaan mereka aman, sogokan aman dan uang masuk terus ke Jakarta. Maka pemprop Kalsel harus tegas terhadap persoalan perilaku pengusaha dan jalan khusus tambang. Tidak perlu lagi dilakukan cara persuasive, apabila institusi DPRD, Kepolisian dan TNI sudah menyatakan komitmennya membantu Pemprop Kalsel. Jika Tidak….. Pak Rudi tidak akan dipilih lagi!Kada gagampangan, kan?***(Idabul, 18 Mei 2009)

1 comment:

HE. Benyamine said...

Ass.
Pemerintah daerah, meskipun tanpa perda jalan tambang, dapat menekan perusahaan tambang untuk menggunakan jalan khusus, melalui beberapa pintu, misalnya:

- pintu Amdal, karena angkutan termasuk dari rona lingkungan, pemerintah bisa tidak mengeluarkan amdal bila tidak memiliki jalan sendiri.

- UU tentang jalan, ada pidana yang mengganggu fungsi jalan, dan pemisahan yang tegas antara jalan umum dan jalan khusus. Denda dan kurungannya jauh lebih banyak dari Perda jalan.

- Aparat (kepolisian dan tentara) yang memandang dari sudut keamanan hanya sisi demo truk, masih sangat bias pengusaha dan jangka pendek, tanpa memikirkan chaos yang lebih besar. Harusnya demi alasan keamanan dan keselamatan warga, aparat tidak mentolerer demo truk menutup jalan umum. Aparat punya alasan lebih kuat hanya sekedar chaos demo truk, untuk kepentingan yang lebih besar.

- Sekarang, rejim perizinan dalam pertambangan (uu minerba), yang memberikan kekuatan pemerintah (daerah) untuk mencabut izin yang tidak mempunyai jalan khusus tambang.

Semuanya, tergantung keberpihakan elit kekuasaan di daerah terhadap kepentingan yang lebih besar, kecuali mereka memang terlibat dan mendapatkan keuntungan dari kebijakan pembolehan jalan umum untuk tambang.