Taufik Arbain
Saat nonton televisi bersama isteri tercinta, kami asyik mengamati selingan iklan dari berbagai produk yang berorientasi menyambut ramadhan. Dari soal makan-minum hingga kepuasan berkomunikasi . Iklan-iklan tersebut menjadi bahan diskusi. Kata istri saya yang paling dominan ditawarkan justru dalam ranah-ranah konsumtif, sehingga menyambut bulan ramadhan menurutnya ada dua kekuatan yang bergerak yakni godaan tuntutan nafsu perut dan nafsu mencari pahala sebesar-besarnya.
Ketika berpindah pada chanel televisi lokal, tanpa disangka ada iklan ramadhan berupa ucapan dan pesan dari Mekkah. Istri saya langsung menyerahkan kepada saya untuk menjelaskan iklan yang satu ini. Saya juga terperanjat atas tuntutannya untuk menjelaskan iklan ini. Pertanyaan mendasar saya adalah siapakah yang mendesain iklan ramadhan di televisi lokal seperti ini?
Pikiran saya mencoba memahami dulu makna-makna lain dalam melakukan analisa atas iklan-iklan ramadhan yang sangat sederhana, sebagaimana argumentasi dari istri saya. Paling tidak ini memaknai bahwa bulan Ramadhan menjadi “pasar” yang signifikan dalam menawarkan produk tidak sekedar dalam bentuk ranah-ranah konsumtif harian masyarakat, tetapi menjadi ranah marketing “menjual produk politik”.
Boleh jadi bagi pemuka agama Ramadhan dimaknai bagaimana menjadikan moment untuk mengingatkan umat tentang agama dan Tuhan. Boleh jadi bagi pedagang bagaimana mendapatkan uang banyak dalam momen Ramadhan yang berlanjut dengan Idul Fitri. Pergerakan menjadi “marketing politik” bagi para politisi atau seseorang yang ingin menjadi Kepala Daerah.
Jadi berkah Ramadhan menjadi multi tafsir saat ini. Jika berkah Ramadhan untuk menangguk pahala sebanyak-banyak dan berlipat-lipat, tetapi sebagian manusia lain menjadi ajang memasarkan produk lain dalam bingkai keagamaan. Sah-sah saja memang, karena setiap orang punya hak. Paling tidak menjadi perenungan.
Agama hadir ke tengah manusia sebagai jawaban atas kegundahan manusia dalam menjalani hidup untuk menegaskan perhubungan antar manusia dan manusia dengan Tuhan. Tanpa agama manusia akan menjadi absurd tidak jelas menatap hidup. Manusia akan pincang karena kehidupan tidak cukup hanya dengan aturan manusia. Aturan agama sangat relevan mengatur untuk menata kehidupan umat manusia, demikian pandangan Max Weber.
Ramadhan dengan produk ikonnya ibadah puasa mengandung makna spiritualitas melatih kepekaan sosial untuk membantu saudara-saudara seringkali merasakan lapar dan dahaga di dalam kehidupan mereka yang terbelit oleh kemiskinan.
Di sisi lain Ramadhan yang penuh berkah ini kita dilatih untuk bisa mengendalikan hawa nafsu. Nah, rupanya hawa nafsu hanya mampu bermain ketika bisa mengendalikan tidak makan minum dan mungkin marah-marah. Tetapi nafsu berkuasa, nafsu membuat hal-hal yang tidak jujur lewat iklan-iklan politik bahkan terkesan maanduh-anduh menjadi hal yang biasa.
Barangkali pakar komunikasi akan mengatakan bahwa setiap ruang dan ranah yang memungkinkan untuk mengkomunikasikan sesuatu adalah pasar bagi seseorang untuk menjadi popularitas dan menjual image. Persoalannya adalah jika terlampaui jauh menjadikan moment Ramadhan sebagai tunggangan politik adalah sesuatu yang tidak wajar, termasuk membumbui dengan nasehat-nasehat agama. Persentase niat politiknya lebih besar dibandingkan dengan niat nasehatnya.
Tadi malam teringat ucapan Mario Teguh lewat acara MTGW Metro TV, bahwa banyak orang terkadang berbicara tanpa disadari menunjukkan kebodohan dari sikap kebohongannya. Boleh jadi iklan politik Ramadhan bisa ditafsirkan demikian. Padahal agama adalah komponen hakiki yang sakral. Rupanya pula karena tradisi dan kebudayaan lokal yang religius dan Islami sudah terbukti menjadi pasar politik yang laku, maka terbentuklah produk-produk politik yang menjadi kuda Troya di bulan Ramadhan.
Menariknya, tidak sekadar iklan dalam media komunikasi elektronik dan cetak, rupanya cetakan tak resmi berupa brosur pun ramai. Jumat lalu, saya mendapatkan jadwal puasa dan imsak tertera foto seseorang yang populer. Ingatan saya, rasanya tahun sebelumnya tidak pernah mendapatkan kebaikan mendapatkan brosur jadwal puasa.
Rupanya iklan pemanasan menjelang Pilkada 2010. Kata isteri saya, andaikata 4 hari pasca lebaran ada Pilkada, bisa jadi rumah-rumah orang akan banyak mendapatkan kado dan parcel. Paling tidak buat orang susah bisa berhari raya dengan parcel politik. Saya bilang dengan sang isteri, tidak sekadar itu, ceramah puasa malah akan tutup diganti dengan ceramah politik.***
(Idabul 24 Agustus 2009)
No comments:
Post a Comment