Wednesday, October 28, 2009

Pemuda

Oleh: Taufik Arbain
Sekitar dua minggu lalu dalam sebuah perbincangan santai di salah satu café di kota ini, kami asyik membicarakan soal pelantikan anggota DPR/DPD-RI. Kata teman hampir 50 persen lebih komposisi anggota DPR/DPD-RI berusia muda kisaran 30-an hingga 50-an tahun. Hal ini berkorelasi dengan tingkat pendidikan yang memadai, setidaknya rata-rata S1 dan S2 bahkan sebagian kecil S3.

Lalu teman-teman mengemukakan gagasan yang menarik, bahwa apa yang bisa kita lakukan sebagai orang muda dalam rangka momentum Sidang Umum MPR/DPR/DPD-RI nanti? Berbagai usulan banyak, paling tidak bagi kami tidaklah jauh-jauh sesuai dengan kemampuan, pengamalan dan profesi.
Sejenak saya berpikir, kemudian lompatan pikiran itu langsung saya kemukakan. Bahwa dalam konteks Sidang Umum ini, kita jangan terjebak pada paradigma lama yang sering melakukan aksi ketika momentum apa saja berlangsung, namun tidak berlanjut pada agenda berikutnya. Kepuasan hanya pada satu hari terlebih ketika di ekspos media cetak dan elektronik.
Menurut hemat saya, yang dilakukan orang-orang muda bukanlah sekadar memanfaatkan momentum SU dalam ranah yang sempit atau momentum apa saja, Justru bagaimana merekonstruksi kembali semangat orang muda dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Tidak terlalu penting momentum SU tersebut. Sebab jika pandangan ini ditanyakan kepada para politisi dan pejabat, tentulah tekanannya pada soal bagaimana rakyat dalam hal ini orang-orang muda untuk menjaga keamanan, kedamaian dan ketertiban berlangsungnya sidang tersebut. Intinya tidak perlu ada unjuk rasa atau demonstrasi yang notebene dilakukan orang-orang muda.
Paham-paham seperti ini sudah terkonstruksi sejak lama dalam versi dan kepentingan para penguasa (politisi dan pejabat pemerintah). Memahami sidang hanyalah sebuah keberpihakan terhadap amannya kepentingan para wakil rakyat di parlemen. Justru sedikit sekali berpihak pada kepentingan rakyat. Inilah yang saya katakan kita terkadang terjebak dalam sebuah wacana berbungkus manis, tetapi hanya milik kelompok yang berkepentingan terhadap kekuasaan.
Orang-orang muda dalam konteks pelantikan anggota DPR/DPD-RI justru yang dibangun adalah sikap kritis terhadap peran dan kinerja DPR/DPD-RI maupun DPRD di daerah dalam menjalankan fungsi legislasi, budgeting dan controlling sepanjang masa kerjanya. Bangunan sense of critis-lah sebenarnya nadi dan jantung keberartian seorang pemuda dalam membela kepentingan-kepentingan rakyat. Karena sepanjang catatan sejarah pemuda di Indonesia perannya justru pada ranah pembelaan terhadap kepentingan orang banyak dengan segala gelora jiwa mudanya. Jadi agak lucu, jika keberperanan orang muda hari ini hanya sekadar pelengkap penderita saja dari agenda kegiatan pemerintah yang sering dilabelkan dengan “kegiatan pembinaan”.
Pemuda Indonesia selama ini memiliki takaran sejarah tersendiri, yakni sebuah kebangkitan yang mencapai derajat kesuksesan yang menghantarkan bangsa dari situasi kolonialisme Belanda ke situasi merdeka, dan atau menghantarkan dari situasi pemerintahan otoritarian ke pemerintahan yang relatif demokratis.
Penting menjadi catatan hari ini, kiprah pemuda yang mampu melakukan perubahan sosial tidaklah berdiri sendiri, ianya diikuti oleh banyak variabel determinan. Salah satu situasi yang sangat memungkinkan adalah kondisi zaman. Situasi zaman yang tidak memberikan ruang kebebesaan dan adanya perampasan hak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan perlawanan. Bangsa Indonesia selalu mengalami situasi ini berulang-ulang, dan pemudalah yang melakukan perlawanan secara berulang-ulang dalam zaman yang berbeda-beda.
Sekali lagi, bukankah sangat lucu, jika aktifitas kepemudaan sebatas pada hal menjawab tantangan zaman yang diselesaikan dengan kegiatan pembinaan semisal tantangan narkoba dan miras serta perilaku individualis lainnya, lalu dilakukan pembinaan dengan menyiapkan anggaran di APBN dan APBD dalam bentuk adanya festival, konser atau lomba dan pertandingan bagi orang-orang muda?
Terlalu kecil keberartian orang muda kalau digiring semua ke ranah demikian. Perlu ada pendekatan yang memberikan ruang melakukan upaya-upaya aktifitas pemuda yang cenderung berideologi keberpihakan terhadap kepentingan publik. Intinya tidak sekadar menjawab tantangan zaman, tetapi justru “menoreh” zaman itu sendiri. Sebab menjadikan bangsa ini maju jika orang-orang muda memiliki modal sosial (social capital) yang mumpuni berupa kecerdasan berpikir memahami persoalan bangsa yang berintikan kepercayaan (trust).
Menurut Fukuyama, hanya sedikit bangsa-bangsa di dunia yang memiliki modal sosial yang tinggi (high trust society), sedangkan bangsa yang memiliki modal sosial yang rendah akan sulit mencapai kemajuan dan kesejahteraan bangsanya. Karena jika salah pendekatan terhadap orang muda, kita menakutkan pemuda di negeri ini dominan perilakunya seperti para artis di televisi yang asyik dengan dunianya sendiri. Bangsa kita dengan orang mudanya bukan untuk menjadi bangsa para artis!!!.(idabul, 26 Oktober 2009)

No comments: