Oleh: Taufik Arbain
Dua hari sebelum Musda Partai Golkar dimulai saya dihubungi oleh seorang wartawan salah satu harian di banua ini. Ia meminta saya untuk mengomentari musda dan proses pemilihan Ketua Umum Partai Golkar periode yang akan datang. Sang wartawan mencatat dan merekam komentar saya tersebut.
Namun apa di kata, sehari sebelum Musda, setidaknya untuk diterbitkan tepat di hari Musda, sang wartawan meng-sms saya menyatakan permohonan maaf karena komentar oleh redaktur dengan berbagai pertimbangan tidak bisa dimuat. Untuk itu maklumlah saya.
Kemaren, saya membaca berita di media cetak bahwa peserta Musda menolak adanya langkah penunjukkan yang dilakukan Pak Haji sapaan akrab Haji Sulaiman HB kepada Hasanudin Murad untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Protes pun berhamburan. Intinya peserta pemegang suara tetap menghendaki Pak Haji kembali memimpin Partai Golkar periode mendatang.
Apa yang terjadi, nyatanya tidak jauh berbeda apa yang sebelumnya saya komentari (sayang tidak diterbitkan). Cuma diluar dugaan saya adalah langkah penunjukkan yang saya kira tidak demokratis di era sekarang ini. Tetapi subtansi sebenarnya dari musda Partai Golkar itu memberikan suatu gambaran politik yang kental adanya dependensia politic. Bahwa kader Partai Golkar yang ada di Kalsel belum mampu menunjukkan diri adanya arus perubahan dan transformasi kepemimpinan dinamis, progresif, reformis dan tidak mengandalkan “bergantung” pada satu figur.
Situasi ini nampaknya, para elit Partai Golkar belum mampu menangkap pandangan akar rumput perlunya regenerasi kepemimpinan. Sinyal telah dilakukan Pak Haji dengan memberikan ruang bagi Hasanudin Murad sebagai simbol kearifan beliau untuk regenerasi kepemimpinan, namun penolakan terhadap Hasanudin Murad muaranya justru meminta kembali Pak Haji memimpin Partai Golkar, bukannya malah melakukan proses pemilihan secara demokratis untuk memilih kader terbaik yang ada.
Inilah yang sebenarnya saya katakan masih kentalnya“politik ketergantungan’ menghingapi para elit kader Partai Golkar Kalsel. Pertanyaannya adalah apakah dibalik semua itu ada yang ingin mempertahankan kepentingan sekelompok elit, bukan kepentingan partai secara komprehensif?
Selama ini masyarakat, termasuk kontituen Partai Golkar saya kira tidak menafikan keberhasilan, eleganitas dan suksesnya Pak Haji membawa partai ini menjadi lebih baik dan bertahan diantara kompetetor partai-partai pendatang baru. Namun sayang, semangat dinamis ini malah tidak merasuk dalam diri elit kader. Seyogyanya, justru pasca dua periode kepemimpinan Pak Haji varian investasi sosial bagi ketercapaian dan kemajuan Partai Golkar di banua ini menjadi modal untuk melakukan transformasi kepemimpinan, sehingga ada dinamika yang bisa menjadikan seluruh elemen kader baik yang terkotak-kotak atas kepentingan menjadi lentur guna membangun Partai menjadi lebih baik.
Meminjam catatan historis politik kerajaan Eropa abad 16 dan 17, bahwa ada sekelompok pihak tidak ingin para pembisik yang mementingan diri dan kelompoknya selalu berada di sekitar raja. Barangkali inilah yang tepat untuk menempatkan aspek dinamika dalam tubuh organisasi Partai Golkar Kalsel lewat keberanian adanya regenerasi kepemimpinan.
Tidak mengherankan bagi publik, pasca dua periode kepemimpinan Pak Haji kadada buriniknya dari para elit kader Partai Golkar untuk mengusung calon A atau B menggantikan Pak Haji sebagai bagian dari proses demokratisasi, padahal di tubuh Partai Golkar dalam persentase dominan memiliki kader yang memiliki sumberdaya yang relatif bagus dibandingkan dengan partai lain.
Tetapi jika melihat fenomena politik Musda kemarin menunjukkan bahwa “tidak memiliki keberanian” yang cukup untuk mendobrak kondisi yang sebenarnya dalam manajemen organisasi modern berpotensi ke arah stagnasi akselarasi dinamika kader dalam menjemput zaman. Partai modern adalah partai yang meninggalkan unsur-unsur primordialisme dalam manajemen organisasinya, tetapi mengedepankan kinerja dan dinamika.
Sekali lagi, Partai Golkar Kalsel realitasnya belum bisa membuktikan sebagai partai kader. Kader hanya diposisikan pada level akar rumput yang dijadikan objek murni sebagai pemilih dan pengumpul suara setiap menjelang pemilu atau Pilkada, tidak berlaku bagi level elit dan menengah yang memiliki semangat perubahan.
Keberanian dimiliki hanyalah kemampuan “menolak”, tetapi tidak memulai memberikan ruang untuk memilih diantara yang terbaik dari yang terbaru di antara kader itu sendiri. Selamat berjuang di Pemilu 2014.(idabul, 23 November 2009)
1 comment:
Post a Comment