Oleh: Taufik Arbain
Istilah rasuah baru saya kenal tahun 1990-an, sejak booming nonton TV3 dan TV1 Malaysia. Biasalah waktu itu di rumah om saya ada antenna parabola, sehingga memungkinkan menonton tayangan banyak Negara, dan TV3 –TV1 Malaysia adalah langganan. Sederhana saja, tontonan yang menarik adalah Film India, Mandarin dan P. Ramlie.
Nah sesekali ada tayangan lain seperti berita nasional Malaysia. Disitulah mengenal istilah rasuah atau di Indonesia dikenal dengan korupsi. Saya sekalipun masih SMA, sempat berpikir, bahwa di Malaysia sudah ada semacam badan anti rasuah atau sekarang di Indonesia sejak tahun 2003 dikenal dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) lewat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Sisanya, saya sering menyaksikan pejabat Negara dan bahkan Presiden di Negara-negara Asia ditangkap karena kasus-kasus soal rasuah itu. Terlihat sekali pihak pengadilan dan aparat Kepolisian dengan kewibawaan dan keberaniannya membawa mereka menuju pengadilan atau penjara atas kasus begini. Pertanyaan saya waktu itu, kawa kada lah di Indonesia?
Ketika kasus kriminalisasi terjadi terhadap dua orang anggota KPK, nampak sekali kegeraman oknum-oknum penegak hukum; Kejaksaan dan Kepolisian ingin sekali menghabisi dua orang yang dituduh karena pemerasan dan penyalahgunaan wewenang, sekaligus untuk membuat opini publik bahwa Indonesia Tidak Memerlukan Lagi Kehadiran KPK, sehingga DPR-RI harus menyetujui kalau urusan pemberantasan korupsi kembali diserahkan pada dua lembaga semula yakni Kejaksaan dan Kepolisian.
Dalam konteks ini bisa dibayangkan, belum dibubarkan saja misalnya pihak Kejaksaan begitu gampangnya menyatakan kasus Bank Century ditutup. Atau seperti kasus di daerah ini dugaan mark up honor pegawai oleh Dinas PU Tala yang dilaporkan LSM setempat, lagi-lagi oleh Kejaksaan Tala mengatakan tidak ada unsur korupsi sebagaimana kabar dari media cetak.
Apalagi soal-soal narkoba, shabu-shabu yang ditangani kepolisian tiba-tiba sebelum ke kejaksaan sudah selesai urusannya. Kalau pun sampai ke kejaksaan bisa saja shabu-shabu tadi belum memenuhi bukti kuat karena bukan shabu-shabu, tetapi hasil tes laboraturium adalah tawas, maka bebaslah sang pelaku yang justru buat apa membawa tawas disertai dengan bong bagian dari peralatan untuk menyabu. Habis itu…tatawaanlah mereka membawa “uang rasuah” untuk membahagiakan anak – istri dan poya-poya
Mendengar kasus demikian yang begitu gampangnya antar lembaga bersengkongkol untuk melenyapkan perbuatan-perbuatan yang merugikan Negara antara pelaku baik itu pejabat pemerintah, mafia bisnis dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Oleh pakar secara teoritis, persengkongkolan model seperti ini mengantarkan pemikiran pada konsepsi,”oligarki kekuasaan” sebagai akar korupsi.
Bahwa persengkongkolan banyak pihak antara lembaga penegak hukum apalagi mendapat dukungan otoritas politik justru membangun bangunan koruptif yang amat kuat. Ya… contoh lain semisal ada dugaan koruptif pada APBD Provinsi atau kabupaten/kota yang dianggap oleh BPK disklimer. Tetapi dengan kepentingan politik diam-diam diredam dengan alasan ada perbaikan, sementara pihak Kejaksaan dan Kepolisian ikut dalam upaya peredaman tersebut.
Tentu saja upaya-upaya peredaman tersebut kada liur basi wara. Ada dugaan lembaga tertentu di daerah ini misalnya, harus menyetor uang 4 Milyar per-bulan ke Jakarta. Soal kipang-kipuh anak buah di lapangan bacari duit dengan cara-cara koruptif dan menindas rakyat daerah itu soal lain. Sebab jika tidak mencapai target, maka sang pimpinan di daerah harus out dari daerah “basah”. Nampaknya kesuksesan oknum aparat demikian di mata keluarganya, atau koleganya adalah kemampuan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dari hasil rasuah, bukan mengumpulkan sebanyak-banyaknya kebaikan.
Nah, drama kasus rekayasa kriminalisasi atas komisioner di KPK adalah semacam penampakan nyata dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Bahwa bersatunya pilar-pilar oligarki kekuasaan yang korup hampir tidak mungkin penegakan hukum berjalan dengan baik dan benar. Sederhananya begini,..” buhan Jakarta ja kaya itu, soal korupsi di daerah gampang diatur untuk ditutupi..”. Kalau begini, boleh jadi para pejabat daerah yang dipenjarakan karena kasus korupsi bergumam,..” bah caka semalam-semalam buaya makan cicak, kada masuk bui kita!:”
Kalau begini, masih terngiang janji salah satu partai dan kampanye calon Presiden RI bahwa Pemberantasan Korupsi. Lanjutkan!!! Rupanya hari ini yang terjadi adalah Pemberantasan KPK. Lanjutkan!!!. (idabul, 2 November 2009)
No comments:
Post a Comment