Oleh: Taufik Arbain
” Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka,
tetapi bukan jiwa-jiwa mereka. Karena jiwa-jiwa itu tinggal dirumah hari esok,
yang tak pernah bisa kau kunjungi meski dalam mimpi”
(Khalil Gibran)
Pengantar
Setiap saya membuka facebook menyelusur FC milik “ teman” membuat saya merenung.
Renungannya sederhana saja, bahwa mengapa jejaring sosial yang didominasi orang-orang muda, dewasa sebagian orang tua diposisikan benar-benar seperti ruang curhat. Saya melakukan survei terbatas dari teman-teman yang telah di –add tersebut selama 3 bulan. Nyatanya, hampir 80 % isinya sangat individualis. Jika diasumsikan kelompok pemakai FC kategori individualis itu adalah saya, barangkali 100 % teman-teman saya menuliskan sesuatu di dinding FC hanyalah soal..” aduh.. makan apa ya siang ini,…rami banar buhannya di DM,….baru saja urus kartu kuning..santai ah!” Begitulah isi- isi facebook hari ini. Potret pergaulan anak-anak muda yang tidak mau disebut jadul
Jaringan pertemanan ini, nyatanya tidak sekadar membuat orang terisolasi dalam ranah fisik, tetapi justru semakin membuat tidak peduli apa yang terjadi di sekelilingnya. Realitas ini adalah contoh sederhana lahirnya entitas orang-orang muda perkotaan, yang nyatanya perlahan justru menarik kelompok orang-orang muda kritis masuk dalam situasi demikian ketika minim aktifias gerakan, dialog maupun seminar dan aksi-aksi kemasyarakatan lainnya. Justru situasi ini sebenarnya sangat disukai oleh kelompok politisi dan pejabat antidemokrasi karena tidak ada gangguan berarti atas setiap public policy yang diskresi.
Nah, jika masa orde baru pengalihan kemampuan sense of critis orang muda lewat ragam kegiatan seremonial, maka hari ini tanpa disadari dan tanpa perlu intervensi pemerintah (Negara) termasuk arsitek politik gerakan pemuda, realitasnya dunia (globalisasi) telah menghantarkan situasi yang melemahkan modal-modal sosial (social capital) orang muda atas bangsanya sendiri.
Tulisan ini setidaknya ingin mengkonstruksi catatan kiprah pemuda dalam takaran sejarah yang memiliki zaman dalam bentuk perlawanan, disamping itu tulisan ini mempetakan fenomena pemuda dalam rangka menjemput zaman.
Kiprah Pemuda dalam Takaran Sejarah
Bangsa Indonesia tidak menyangkal memiliki catatan sejarah yang heroik dan dramatik soal kiprah orang-orang muda dalam menyatukan bangsa ini. Kepeloporan orang-orang muda yang dulu masih dalam pemaknaan usia dan peran, bukan seperti sekarang ini pemaknaan lebih luas tidak sekadar usia dan profesi (mahasiswa, pen) adalah sebuah keberanian mengambil keputusan-keputusan dimana situasi masih rentan dalam soal kultur dan kebangsaan menjadi satu dalam sebutan Sumpah Pemuda. Padahal diakui telah terbentuk kesatuan maupun perhimpunan orang muda dalam berbagai latar belakang kedaerahan dan kesukuan.
Kiprah pemuda dalam takaran sejarah selalu memiliki zamannya sendiri. Momentum Hari Kebangkitan Nasional memiliki zamannya sendiri, perjuangan pemuda dalam kemerdekaan, peran pemuda (mahasiswa, pen) dalam eksponen 66 menolak PKI, demikian pula gerakan mahasiswa Mei tahun 1998 juga memiliki zamannya sendiri.
Catatan momentum ini dalam takaran sejarah adalah sebuah kebangkitan yang mencapai derajat kesuksesan yang menghantarkan bangsa dari situasi kolonialisme Belanda ke situasi merdeka, dan atau menghantarkan dari situasi pemerintahan otoritarian ke pemerintahan yang relatif demokratis.
Penting menjadi catatan hari ini, kiprah pemuda yang mampu melakukan perubahan sosial tidaklah berdiri sendiri, ianya diikuti oleh banyak variabel determinan. Salah satu situasi yang sangat memungkinkan adalah kondisi zaman. Situasi zaman yang tidak memberikan ruang kebebasan dan adanya perampasan hak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan perlawanan. Bangsa Indonesia selalu mengalami situasi ini berulang-ulang, dan pemudalah yang melakukan perlawanan secara berulang-ulang dalam zaman yang berbeda-beda.
Geliat kesadaran sosial gerakan kepemudaan selalu hadir booming, ketika berada dalam zaman yang sulit. Faktor inilah yang menandakan sejauhmana peran dan kiprah pemuda, khususnya dalam melakukan pembelaan bangsa dan kepentingan rakyat. Pandangan Tarrow (1994) nampaknya tepat untuk melihat asumsi ini bahwa,” tantangan kolektif melahirkan solidaritas dan tujuan kolektif dari sekelompok orang dalam identitas kolektif untuk melakukan aksi kolektifnya”(Arbain, 2009).
Namun demikian, kiprah militan pemuda tidak selalu harus menunggu zaman dan tantangan/masalah besar yang dihadapi bangsa? Hipotesa ini masih dalam perdebatan panjang, karena tesa yang mengatakan situasi sulit selalu melahirkan gerakan dan kiprah militan pemuda masih menjadi pijakan yang kuat dalam melihat aksi sebuah perkumpulan yang mengalami kondisi relative deprivation sebuah reaksi perlawanan dari ketidakpuasan karena adanya perampasa hak-hak dan ketidakadilan sehingga terjadi resistensi (Ted Robert Guy, 1970).
Samuel Huntington (1995) adalah peneliti professional yang telah menancapkan pikirannya tentang proses demokrasi pada Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dikatakannya sebuah Negara sejak menjadi Negara demokrasi akan menghadapi situasi yang tidak pernah dihadapi sebelumnya, salah satunya situasi paradok demokrasi.
Paradoks demokrasi dimaksudkan Huntington memberikan tafsir luas bahwa demokrasi secara prosedural telah berjalan berupa kebebasan berpendapat, memilih dan dipilih. Namun proses demokrasi yang berlangsung dalam pencapaiannya tidak mencerminkan demokrasi yang subtansial. Orang mengejar sesuatu menggunakan berbagai macam cara yang sifatnya mencederai demokrasi itu sendiri. Ini bisa dilihat perjalanan demokrasi Indonesia saat ini khususnya menjelang Pemilu Legislatif maupun Pilkada.
Di Indonesia orde reformasi merupakan titik awal proses demokrasi yang dimaksud. Girah pengungkapan pendapat dominan dilakukan oleh kelompok manusia produktif dalam hal ini orang-orang muda yang memiliki latar belakang profesi, sekalipun istilah abad ke-21 ini lebih trend orang muda yang dimaksud adalah mereka yang berstatus sebagai mahasiswa, sebuah ruang yang berbeda pada abad ke-20 zaman Soekarno, Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Yamin dan tokoh pemuda lainnya.
Hampir seluruh negeri di Indonesia, fase ini bisa dikatakan fase emas orang muda dalam mengaktualisasikan peran dan posisinya di masyarakat. Pemuda fase ini sebagaimana catatan sejarah sangat kuat dalam menawarkan konsep dan tarikan-tarikan ideologi soal kebangsaan. Kehadiran lembaga sosial kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, jong ini maupun jong itu dan beberapa lembaga lain di zaman tersebut memberikan dan menawarkan konsep-konsep ideologis dalam berbangsa.
Pemikiran kritis terhadap soal kebangsaan terkonstruksi dari ideologi yang dipahami dan diyakini mereka. Pertanyaan yang sangat sederhana, mengapa ranah berpikir pemuda masa itu cenderung ideologis? Jawabannya karena membaca zaman! Selanjutnya terkonstruksi proses berpikir menjadi bahan diskusi tiada henti dalam mencari jalan keluar persoalan kebangsaan. Sekalipun faktor kondisi bangsa turut menggiring mereka dalam kancah persoalan hidup. Pemuda tahun 1928 mampu berpikir melampaui zamannya dalam banyak tantangan sekat primordial-etnisitas
Inilah pemaknaan kiprah pemuda dalam takaran sejarah. Kemampuan dan keberanian orang-orang muda dalam menjawab zaman yang kritis dan berpihak pada kepentingan rakyat sekitar adalah fungsi sebenar orang-orang muda, bukan tersegmentasi dalam entitas imitasi para selebriti (artis) yang mengandalkan penampilan bernuansa individualis.
Tantangan Menjemput Zaman
Dalam konteks pemuda di daerah ini, setidaknya ada 2 catatan strategis yakni: Pertama, mempetakan peran orang muda. Bahwa orang-orang muda di perkotaan relatif individualis sebagaimana contoh sosiologis dipaparkan sebelumnya. Dalam dua tahun terakhir peran orang muda Kalimantan Selatan boleh dikatakan relatif minim menunjukkan gerakan-gerakan signifikan dalam mempengaruhi pengambil kebijakan. Ini agak berbeda pada tahun-tahun sebelumnya, dimana gegap gempita gerakan tidak sekadar bersifat lokal tetapi menyangkut isu-isu nasional.
Faktor kelelahan aktifis, transformasi nilai-nilai gerakan yang putus, memasuki dunia kerja adalah fakta membuncahnya penghargaan waktu menjadi nilai-nilai ekonomis bagi orang-orang muda, sehingga resistensi diri dalam aspek gaya hidup hedonis cenderung melupakan peran sosialnya di masyarakat. Pemuda telah menarik diri dalam tarikan tren komunitas yang dijadikan instrument kelompok kapitalis semisal dalam komunitas penyuka merek kendaraan bermotor dan lainnya. Justru relatif menurun sekelompok orang muda tergabung dalam komunitas ideologis yang peduli terhadap lingkungan, kebijakan publik yang diskresi, penegakan hukum dan sosial politiknya. Herannya kondisi ini tidak sekadar mewabah pada kalangan anak SMA, tetapi terus bergerak ke kalangan mahasiswa yang notabene diharapkan sebagai agent of change terhadap kondisi sosial politik, justru agen terhadap perubahan dunia mode/gaya hidup.
Era reformasi yang dipelopori mahasiswa telah membawa Indonesia dalam fase sejarah baru bernama era transisi demokrasi. Sayangnya, situasi transisi yang kita harapkan terwujudnya perbaikan di segala bidang ini justru dimanfaatkan oleh elite politik untuk kepentingan-kepentingan sempit kekuasaan tanpa pernah sedikit pun menaruh perhatian pada demokratisasi dan keadilan sosial, termasuk lemahnya ruang memanggungkan peran orang muda dalam kancah politik dan gerakan sosial. Masih terasa kuat dikotomi tua-muda, dimana orang tua yang haus kekuasaan selalu “sesak dana” melihat progressif orang-orang muda dalam melakukan perubahan.
Sayangnya, terkadang dalam ranah politik, orang muda yang bukan siapa-siapa dan bukan anak siapa-siapa, hanyalah menjadi pensuplai tenaga saja. Faktor resistensi ekonomi di satu sisi dan faktor pengembangan diri (politik) dalam rel politik kekuasaan di sisi lain, adalah realita yang sering menjungkirbalikkan orang-orang muda mundur dari panggung politik, hingga komunitas “anak siapa” lebih mudah mengambil peran dalam merebut kekuasaan. Ketidakadilan sosial sepertinya dikonstruksi oleh budaya politik yang mengebiri kecerdasan, peran dan pengalaman.
Inilah pula pencitraan politik selama ini semakin buruk dengan adanya arogansi, korupsi dan hingga kepentingan kelompok membuat banyak pemuda enggan masuk dalam ranah memperbaiki bangsa. Mekanisme dalam gerak partai biasanya lepas dari standar nilai-nilai moral. Apalagi tantangan tekanan pendidikan, dunia kerja dan globalisasi semakin menyebarkan budaya konsumtif hingga tidak apresiatif terhadap politik sebagai wadah perbaikan bangsa ini.
Kedua, “pembinaan” ala Pemerintah. Institusi kepemudaan atau ormas pemuda lainnya selalu memposisikan diri dependen dengan pemerintah. Situasi ini adalah situasi yang menyebabkan pemuda relatif kehilangan gerak ketika berhadapan dengan kepentingan penguasa yang mencederai kepentingan rakyat. Justru pemerintah (Negara) selama ini tetap pada paradigma pola pembinaan yang mengarah pada bentuk-bentuk pemberian bantuan kegiatan kepemudaan baik sosial – budaya, ekonomi dan politik dalam ragam bentuk dan even. Ini adalah pembinaan yang terkadang terkesan menjebak peran pemuda dalam aliran kritis jika ada kebijakan pemerintah yang cenderung diskresi.
Ala pembinaan pemerintah dalam membantu pengembangan eksistensi kepemudaan sebenarnya melakukan politik akomodatif, bukan pendekatan konflik. Pendekatan politik akomodatif menyebabkan hilangnya orientasi titik ledak orang-orang muda dalam melakukan sense of critis, dimana selama ini Pemerintah Provinsi selalu dijadikan ajang titik ledak kelompok pemuda (lihat masa Sjachriel Darham). Artinya ada sebuah “ketakutan lapar” dan resistensi elit pemuda jika melakukan vis a vis dengan kekuasaan.
Jadi pemuda hari ini seyogya tidak boleh surut dalam memerankan fungsi dalam berbagai pendekatan, baik bersifat dialogis maupun demonstrative sebagai modal sosial untuk membangun kepercayaan publik terhadap peran pemuda dalam pembangunan daerah.
Pendekatan dialogis adalah memberikan saran konstruktif kepada pihak-pihak berkepentingan dalam meningkatkan peran dan pelayanan kepada publik serta pembangunan daerah. Justru disini diuji kecerdasan intelektual orang-orang muda sesuai dengan kapasitas pengalaman dan sumberdaya manusia yang dimilikinya. Ironisnya, pendekatan dialogis biasanya hanya ditafsirkan bagaimana meminta bantuan/tuntutan kepada pihak tertentu dengan cara tidak demonstratif, atau mengusulkan peran representatifnya saja, tetapi belum memberikan peran apa demi kepentingan rakyat.
Sedangkan pendekatan demonstratif adalah pendekatan ketika pendekatan dialogis tidak bisa dilakukan dan menyangkut hajat orang banyak. Anehnya, terkadang pendekatan demonstratif menjadi bias yang berorientasi pada pragmatism para elit pemuda dengan ragam label institusi terkesan institusi pesanan. Bentuk-bentuk pendekatan yang tidak berideologis keberpihakan pada rakyat inilah yang biasanya relative menurunkan charisma peran orang muda. Tragisnya malah menjadi komoditas petualang politik di daerah.
Mengutif pikiran Mahbubani (2004), justru letak berpikir untuk menjadikan sebuah bangsa menjadi maju adalah berani melihat, mengidentifikasi persoalan-persoalan yang sebenarnya ada untuk dilakukan sebuah gerakan kepedulian terhadap nasib sebuah bangsa. Kemampuan menanyakan ragam pertanyaan persoalan bangsa oleh orang-orang muda, setidaknya orang-orang muda dalam suatu bangsa dan Negara sudah mampu untuk berpikir.
Ruang kemampuan berpikir seperti ini justru yang tidak sukai oleh kelompok elit pengejar kekuasaan yang anti demokrasi. Apalagi kalangan generasi muda yang memiliki sense of critis terhadap persoalan bangsa. Sebab pemuda yang menyadari akan kelemahannya dan kelemahan bangsa-negaranya, bisa jadi bangkit untuk mencapai kesuksesan dan menggulingkan kelompok elit status qou yang korup dan tidak pro rakyat.
Fukuyama melihat kecerdasan dalam melihat persoalan-persoalan sekitar dari suatu Negara adalah kemampuan mereka mengorganisasikan diri secara demokraktis. Kemampuan mengorganisasikan diri secara demokratis ditentukan oleh adanya modal sosial (social capital) yang berintikan kepercayaan (trust). Hanya sedikit bangsa-bangsa di dunia yang memiliki modal sosial yang tinggi (high trust society), sedangkan bangsa yang memiliki modal sosial yang rendah akan sulit mencapai kemajuan dan kesejahteraan bangsanya.
Pandangan Fukuyama sebenarnya dalam nilai-nilai kebangsaan Indonesia tidaklah asing. Karena pandangan ini sudah jelas terakomodir dalam Pancasila, seperti nilai-nilai kegotongroyongan (organisasi, pen), ketuhanan (nilai-nilai kejujuran dan keadilan) dan kesetiakawanan termasuk upaya mendorong menjadikan bangsa ini lebih demokratis.
Sebagai langkah strategis, kiprah pemuda saat ini harus didorong pada penguatan nilai-nilai terhadap persoalan bangsa khususnya melihat banyak momentum kebangsaan yang relevan. Pemuda yang memiliki karakter bangsa adalah pemuda yang mengedepankan kritisnya terhadap persoalan di sekitar dan selalu berpihak pada kepentingan publik. Membangun karakter pemuda yang berpihak pada kepentingan rakyat tidak semudah membalikkan tangan di zaman yang cenderung mengedepankan individualis ini. Jika pemuda dikonstruksi menjadi sang juara dalam dunia olahraga adalah sangat mudah seperti menanam jagung, benih disemai menghasilkan buah berupa medali. Sebaliknya membangun karakter pemuda yang mengutamakan ruang berpikir kritis dan responsibility terhadap bangsa seperti menanam kayu ulin yang membutuhkan waktu yang lama dan berproses.
Penutup
Untuk itu, saatnya berbenah dan menuntaskan proses perubahan ini ke arah perbaikan bangsa yang lebih baik. Perlu penguatan kembali pikiran-pikiran kritis atas problem dan situasi yang ada di sekitar masyarakat, sekalipun hantaman globalisasi yang menawarkan kesenangan orang muda demikian hebatnya.
Konstruksi paradigma sense of critis paling tidak dimulai dari membangun komunitas dan perkumpulan pemuda yang ideologis. Sebab pergumpulan pemuda yang tidak memiliki roh ideologis pro perubahan, tidak lebih dari “perkumpulan arisan” yang relative menjaga “sikap aman”. Sebuah sikap yang saat ini mengemuka dan mengkhawatirkan dalam melakukan kontrol setiap gerakan-gerakan anti demokrasi. Sebab gerakan kritis orang muda adalah bagian urgen dari proses demokrasi itu sendiri, saying reformasi kalau terus babak belur yang hasilnya dinikmati orangtua yang haus kekuasaan politik. Saatnya pemuda bangkit.
Banjarmasin, 28 Oktober 2009
Daftar Pustaka
Arbain, Taufik. 2009. Pemuda di Simpang Jalan Zaman, kertas kerja untuk buku KNPI Kalsel.
Fukuyama,Francis.2000. Memperkuat Negara; Jakarta, Gramedia
Mahbubani, Kishore.2004. Can Asians Think? Times Edition
Tarrow, Sidney.1994. Power and Movement. Social Movement, Collective Action and Mass Politics in the Modern State. Cambridge: Cambridge University Press.
Ted Robert Guy.1970. Why Men Rebel.Princeton University, New Jersey.
1 comment:
berkunjung saja
salam dr banjarbaru
Post a Comment