Wednesday, October 26, 2011

Ekonomi Rente: Anak Kampang Desentralisasi

Oleh : Taufik Arbain

Desentralisasi di Indonesia sebenarnya dihadirkan untuk mendekatkan pelayanan kepada publik, kemandirian pembangunan termasuk mempromosikan demokrasi lokal. Desentralisasi dipahami sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Catatan Malley (2002) menyebutkan bahwa desentralisasi yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah terjadi perubahan dan kemajuan, tetapi ternyata mengundang ketidakpastian, kesulitan dan kegelisahan. Sekalipun ada perubahan dalam pengaturan pemerintahan lokal, tetapi masih tetap berhadapan dengan struktur lama yang menghambat desentralisasi dan demokrasi.

Dalam perkembangannya praktek desentralisasi justru terjadi proses pemindahan korupsi dari Jakarta ke daerah (Eko, 2002) sehingga jauh berharap adanya pemerintahan yang akuntabel dan responsive terhadap masyarakat daerah. Lebih-lebih daerah yang banyak mendapatkan anggaran pembangunan pusat baik berupa DAK dan DAU, juga daerah yang memiliki potensi sumberdaya ekonomi yang melimpah khususnya sumberdaya alam seperti tambang. Akibatnya yang disaksikan adalah pemandangan yang telanjang bagaimana pejabat daerah dan anggota DPRD mengembangkan dirinya berprofesi sebagai “calo” proyek, “calo” perda yang menguntungkan pihak-pihak tertentu termasuk Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang sering menjadi ajang “pemerasan” empuk.

Fakta ini terus bergerak hingga pada persoalan pemilukada yang mendorong terjadinya politik transaksional antara kandidat, partai pengusung termasuk elit – elit lokal. Dampak desentralisasi seperti ini pun akhirnya mengundang kehadiran elit pengusaha untuk ambil bagian dalam proses perebutan kekuasaan dengan kompensasi hadirnya kebijakan yang memberikan ruang bagi mereka untuk melakukan eksploitasi sumber-sumber ekonomi daerah dengan memegang “paspor politik” yang menjustifikasi posisi sebagai aktor pelaku ekonomi yang membantu kemajuan pembangunan daerah atas nama investasi.

Terangnya, perilaku elit melakukan persengkongkolan dibalik amanah kekuasaan yang dimilikinya antara penguasa dan pengusaha telah menciptakan bingkai ekonomi monopoli. Pengusaha yang berhubungan dengan penguasa kecenderungan melakukan ekonomi rente dimana dalam makna ekonomi politik diartikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan di dalam bisnis.

Dalam konteks ini Effendi (2010) mencatat pelaku usaha dalam hal ini memperoleh keuntungan tanpa melihatkan kehadiran pola persaingan dan pasar, tetapi mengundang kekuasaan dengan pendekatan kompensasi. Tanpa dinyana lagi, sebagaimana kasus-kasus di Kalsel, implikasi undangan dengan pendekatan kompensasi ini melahirkan regulasi (Perda) hasil kompromistik elit pemerintah dan parlemen yang menguntungkan para pengusaha dan menapikan kepentingan rakyat, maka tidaklah mengherankan terjadi pengkaplingan lahan-lahan potensial hingga diantaranya berdampak pada sengketa perbatasan.

Parahnya, praktek ekonomi rente hasil kompromistik elit politik dan pengusaha terjadi bargaining position melahirkan jasa-jasa baru bagi para elit daerah sebagai komprador ekonomi bagi jasa ekonomi rente di tingkat daerah, atas efek lain dari desentralisasi. Akibatnya ekonomi rente terus tumbuh subur di daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam berdampingan dengan kebijakan diskriminasi politik, khususnya pengusaha yang menjanjikan kelanggengan kekuasaan politik, sosial termasuk ekonomi di daerah. Fakta ini bisa dilihat dari produk regulasi yang terkesan membela kepentingan rakyat, tetapi pada kenyataannya membela kepentingan pengusaha yang berlindung atas nama rakyat pekerja dari buruh kasar hingga sopir-sopir pengangutnya.

Laporan ICW sebagaimana Kompas 30/3/2011 menyebutkan relasi antara kepentingan politik dan bisnis menjadi bangunan penyokong terjadinya korupsi di daerah. Terjadi pola simbiosis mutualisme antara elit politik penguasa dan kekuatan ekonomi di daerah dengan menguasai infrastruktur pemerintahan yang rentan korup dari praktek barter kepentingan. Ini adalah sebuah situasi kontradiktif dari tujuan mulia desentralisasi yang mendorong pemerintahan efesien, akuntabel, responsive, transparansi, efektif dan berdaya saing.

Jika para ahli kebijakan publik selama ini melihat efek desentralisasi pada daerah yang memiliki SDA berlimpah hanya pada pola relasi elit pejabat, elit politik (pimpinan parpol /anggota parlemen) dan elit pengusaha sebagai segitiga emas dengan out put-nya berupa regulasi diskresi, justru resistensi monopolistic ini tegak karena kekuataan kompromistik aparat penegak hukum yang menyempurnakan menjadi segi empat berlian. Maka sangat sulit berharap banyak jika pengusaha tambang illegal sebagai sebuah kasus yang menyerobot lahan-lahan perusahaan besar akan mampu ditangkap aparat penegak hukum. Boleh jadi fakta ini mengasumsikan pengusaha illegal Kalsel ini memiliki sel jaringan yang lebih hebat dari kelompok teroris Indonesia, padahal siang malam berlalu-lalang angkutan tambang di jalan umum.

Dalam perspektif politik, desentralisasi sebenarnya diharapkan posisi legislative daerah memberikan nilai positif dalam penyelenggaraan otonomi khususnya dalam hal menyahuti kepentingan publik yang lebih luas baik soal pelayanan publik, kinerja eksekutif termasuk kritis terhadap kerawanan tindakan koruptif, namun prakteknya justru mendekatkan pada kesepahaman membuat bangunan Segi Tiga Emas dan Segi Empat Berlian untuk pelepasan dari jeratan hukum atas praktek-praktek kolusi dan korupsi. Jadi kekuasaan yang luas di daerah (desentralisasi) melahirkan praktek tambahan penyedia legalitas, penyedia fasilitas, penyedia modal dan penyedia proteksi dalam bungkusan persengkongkolan sebagai fenomena ekonomi-rente. Tidaklah berlebihan jika Stiglitz (2007) mengungkapkan bahwa Negara yang memiliki sumberdaya alam melimpah akan mengalami kutukan dari SDA itu sendiri karena praktek ekonomi-rente. Jadi anak kampang desentralisasi itu memang bernama Ekonomi- Rente.

Penulis: Dosen Fisip Unlam ( banjarmasin Post, 11 Oktober 2011)

No comments: