Wednesday, October 26, 2011

Partai Politik sebagai madu bagi Rakyat

Oleh: Taufik Arbain
Pengantar
Memahami peran partai politik hari ini nampaknya tidak begitu melakukan upaya penguatan terhadap partisipasi publik. Partisipasi publik nampaknya hanya diisolasi pada rezim pemilu, dimana bagi Negara (KPU/KPUD dan parpol) indikator keberhasilan pemilu adalah adanya partisipasi publik dalam mengikuti tahapan-tahapan pemilu hingga akhir dengan goal minim golput. Sebab sebagaimaan dikatakan para ahli bahwa kehadiran rakyat dalam system politik dan penyelenggaraan pemilu baik Legislative,
Presiden maupun Kepala Daerah hanya sebagai prasyarat prosedural administrasi dimana kehadiran rakyat dalam memilih adalah unsur determinan dalam penyelenggaran pemilu (Olle Tornquist, 2008). Lalu pertanyaannya adalah apakah rakyat dihadirkan dalam pemilu hanya pelengkap penderita saja? Dan partai politik hanya memainkan perannya sekadar mengejar kekuasaaan? Lalu dimanakah Negara yang bertujuan memberikan rasa keadilan di semua lini kepada rakyat dalam praktek demokrasi?

Memahami Peran Partai Politik Kekinian
Berita media cetak dan elektronik hari ini melihat peran partai dan politisi seperti sangat menjauhkan pada peran sebenarnya sebagaimana harapan-harapan yang diungkapkan para ahli politik, dimana kehadiran partai politik untuk mencapai kebaikan bersama dalam penyelenggaraan pemerintahan demi kepentingan rakyat banyak. Justru yang terjadi adalah kebaikan sebagian pihak. Teori klasik yang diungkapkan Carl Friedrich (1867) misalnya bahwa partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan material dan idiil bagi anggota dan masyarakat.

Itulah sebabnya dalam kontek kekinian, kenapa persoalan bangsa dan Negara kita selalu ramai baik soal politik, pembangunan, “dagang sapi “,dan kebijakan publik bahkan korupsi, karena kita ingin katakan bahwa partai politik selalu bersentuhan dengan konflik kepentingan, baik konflik kepentingan pimpinan partai, pimpinan Negara, kepala daerah termasuk konflik kepentingan para anggotanya. Parahnya, jargon konflik kepentingan tidak sedikit diatasnamakan kepentingan rakyat, bahkan sulit dideteksi secara dini mana kepentingan rakyat mana dan kepentingan partai.

Kita mengakui bahwa partai politik di Indonesia telah memainkan perannya sebagaimana teori – teori politik. Namun, fungsi ideal memang agak sulit tercapai setidaknya untuk kebaikan bersama. Sebab, tidak sedikit orang memahami partai politik hanyalah kendaraan bagi sekelompok elit dalam mengejar dan mempertahankan kekuasaan. Bahkan bagi kelompok tertentu sebagai alat mainan mengelabui rakyat dengan memanfaatkan kemiskinan rakyat untuk meraih suara “membela yang bayar”. Perilaku ini sangat ironis jika dilakukan oleh partai politik yang mengidentifikasikan sebagai partai agama/umat, tetapi setelah berkuasa tidak membela kepentingan-kepentingan umat. Fakta ini merupakan contoh bagaimana seorang pimpinan partai dan anggotanya tidak memahami ideology yang dicerminkan dalam AD/ART partai politik tersebut.

Kita meyakini sampai detik ini pasca pemilu Legislatif 2009, pemandangan yang disaksikan rakyat tentang partai politik baik di pusat maupun di daerah adalah soal-soal konflik kepentingan, penjarahan dana proyek Wisma Atlet sebagaimana kasus yang dilakukan partai penguasa. Artinya partai politik mampu merasuk – masuk dalam system eksekutif baik melakukan intervensi atau lebih ekstrem pencaloan terhadap kegiatan pembangunan. Akibatnya berharap birokrasi mampu menjalankan prinsip-prinsip good governance, jauh panggang dari api.


Langkah Strategis Peran Partai Politik
Partai politik dalam Negara demokrasi justru memainkan peran dan fungsi sosialisasi dan pendidikan politik sebagai bentuk pembeda dengan Negara totaliter yang mengedepankan indoktrinasi. Peran partai politik sebenarnya tidak melulu bagaimana membuat strategi memenangkan kompetesi pesta politik lima tahunan, tetapi dalam prosesnya mampu memainkan peran kesadaran publik/rakyat atas politik dan pembangunan. Untuk itu, partai politik jangan terjebak pada rezim pemilihan; dimana rezim pemilihan memiliki fungsi untuk membuat akses untuk mendapatkan jabatan publik dari hasil pemilihan yang terbuka dan kompetetif dari suara rakyat.

Logika rezim pemilihan di Indonesia justru pasca pemilihan rakyat ditinggalkan, baru menjelang pemilihan rakyat dikasihi, disinilah terkadang hadir demokrasi transaksional. Akhirnya proses pendidikan politik dan interaksi berproses pendek diantara persaingan dengan cara instan (pro –bayar) yang berdampak pada ketidakmampuan rakyat melakukan sanksi-sanksi kepada wakilnya. Padahal dengan cara komunikasi politik berkesinambungan kepada rakyat justru memberikan ruang pada rakyat melakukan proses pembelajaran politik dari peran kelembagaan partai politik sebagai bagian dari kesadaran politik rakyat (publik).

Indikator kesadaran publik minimal adalah setidaknya kemampuan rakyat membedakan mana keberhasilan dan kegagalan pembangunan, memahami kinerja para anggota legislative dan aparat birokrasi serta Kepala Daerah. Kemudian mampu melakukan kontrol dan pengawasan terhadap agenda-agenda pembangunan serta patologi politik yang dilakukan elit. Pencapaian minimal ini setidaknya ukuran kemampuan partisipasi publik dari kerja-kerja partai politik. Tidak ada alasan bagi partai politik di Indonesia hari ini tidak mampu melakukan langkah dan perannya dalam mendewasakan politik rakyat, karena partai politik memiliki otonomi yang bebas dari intervensi penguasa sebagai karakteristik parpol di era post-otoriterisme.

Penutup
Kita berharap kualitas partai politik terus menerus membaik, sebab kebaikan demokrasi di suatu Negara diawali dari peran partai politik. Itulah sebabnya, demokrasi merupakan alat, cara dan proses dalam pencapaian kesejahteraan yang diperankan oleh partai politik. Tujuan sebenarnya dari demokrasi adalah kesejahteraan rakyat. Jadi kualitas partai dan professional SDM partai sangat menentukan tampilan kehidupan demokrasi suatu Negara. Keputusan politik yang ditransformasikan lewat kebijakan publik baik soal kesehatan, pendidikan dan infrastruktur adalah keterlibatan partai politik yang direpresentasikan lewat politisi di parlemen. Pertanyaannya mampukah partai politik menjadi madu bagi rakyat, bukan menjadi racun bagi rakyat? Jawabannya ada pada diri kita semua.
Penulis Dosen Fisip Unlam ( Banjarmasin Post, 8 Agustus 2011)

No comments: