Wednesday, October 26, 2011

Memahami KesMemahami Keserasian Sosial dalam Menjawab Bencana Sosial

Oleh: Taufik Arbain

Pengantar
” jika ingin mengenal orang berbangsa, lihatlah pada budi bahasa …”

Orang-orang terdahulu telah meletakkan dasar dalam memahami persoalan masyarakat adalah dengan memahami karakteristik perilaku suatu bangsa. Hal ini tiada lain, dalam perspektif sosiologis interaksi antar manusia sangat memungkinkan terjadinya konflik, baik konflik bersifat personal hingga mengarah kepada konflik sosial. Interaksi antar manusia yang mengarah kepada konflik karena terjadinya perebutan kepentingan (interest competitive), baik perebutan sumber-sumber ekonomi, sosial maupun perebutan sumber-sumber politik.

Dalam konteks ini beberapa ahli menyebutkan kompleksitas yang dihadapi masyarakat sekarang, dimana aspek perebutan sumber ekonomi menjadi pemicu persoalan konflik, ternyata tidak bisa digeneralisasi sesederhana itu, sebab nyatanya perebutan sumber-sumber lain diluar ekonomi masih memungkinkan terjadinya konflik antar komunitas. Bahkan tingginya faktor pendidikan bukan merupakan jaminan lahirnya konflik antar komunitas, karena sebagaimana dalam teori Hirarki Kebutuhannya Moslow, ruang aktualisasi diri dalam perspektif sosial dan politik mendorong orang untuk memastikan “kehadiran dirinya” dengan mengedepankan apa yang disebut dengan Politik Identitas. Inilah terkadang yang menyebabkan terjadinya pemicu konflik sosial bahkan bencana sosial, ketika peletakan politik identitas dimaksud bukan pada tempatnya dalam ruang masyakarat yang heterogen.
Tulisan ini mencoba memetakan tentang (1) persoalan-persoalan krusial interaksi masyarakat plural (beragam) dalam sebuah kawasan melting pot antar entitas etnik, dan (2) potensi-potensi keserasian sosial guna mendorong konstruksi kerekatan sosial antara masyarakat tersebut. Sebab keserasian sosial merupakan modal sosial masyarakat untuk melahirkan konsensus-konsensus sosial di masyarakat dalam menjawab hal-hal yang bertendensi pada bencana sosial.

Bencana Sosial
Bencana sosial dipahami sebagai akibat peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan terror (UU No. 24/2007 ttg PB, Pasal 1, Ayat 4). Walaupun secara akademis definisi ini dapat diperdebatkan, ketika mengambil istilah bencana, sebab kata bencana dipermaklumkan erat kaitannya dengan bencan alam seperti gempa, banjir dan kerusakan lingkungan oleh eksploitasi sumberdaya alam.
Konflik Sampit, Sambas tahun-tahun sebelumnya hingga Tarakan antara Melayu_Dayak Tidung dan Bugis beberapa bulan terakhir adalah kategori bencana sosial. Salah satu indikatornya adalah konflik yang melibatkan entitas etnis dalam jumlah yang relatif besar dan berpotensi mengundang gerakan bencana sosial yang lain, di kawasan yang lain pula. Beberapa konflik besar di Kalimantan melibatkan interaksi antar entitas etnis yang berbeda sesuai dengan kompetitif kepentingan yang mengemuka di kawasan masing-masing. Jika Sambas Kalimantan Barat, dan Sampit Kalimantan Tengah, ditengara konflik antara penduduk asli dan pendatang ( Dayak-Melayu dan Madura), konflik yang terjadi di Tarakan demikian pula adanya.
Beberapa pakar konflik mengatakan bahwa konflik antara pendatang dan penduduk tempatan sebagai variabel utama eksistensi entitas justru disebabkan oleh faktor kesenjangan ekonomi, bukan soal benturan budaya. Hal ini nampaknya masih dangkal sebagai sebuah analisis. Sebab Kalimantan selama ini baik secara ekonomi maupun politik justru dikuasai oleh entitas etnis mayoritas di NKRI ini, tidak menuai konflik. Jadi kesenjangan ekonomi hanyalah faktor pelengkap saja sebagai lahirnya konflik, justru disebabkan oleh benturan kultural yang kemudian mendorong kearah faktor kesenjangan ekonomi sebagai pelengkap analisis konflik.
Artinya ada pesan-pesan dalam komunikasi budaya antar hubungan keberagaman etnik dalam suatu kawasan yang tidak mengedepankan harmonisasi sosial sebagai modal sosial untuk menghindarkan terjadi picuan konflik sosial antar etnik, malah yang muncul justru politik identitas yang terkadang tidak ditempatkan dalam porsi sebenarnya sebagai kebhinekaan budaya. Ruang politik identitas, akhirnya menghadirkan perilaku dari kelompok “kami” kepada “kalian”, yang berpotensi mendorong lahirnya tirani mayoritas atau minoritas pemilik negeri, termasuk sebaliknya “penguasa negeri tujuan” dalam kawasan pertemuan antar etnik (melting pot), sekalipun sangat dipahami kehadiran politik identitas justru karena persoalan distribusi keadilan yang tidak proporsional.

Keserasian Sosial Sebagai Langkah Strategis
Saya ingin katakan, bahwa dalam interaksi antar etnik di suatu kawasan diperlukan keserasian sosial untuk menghindarkan terjadi bencana sosial. Malah keserasian sosial merupakan modal sosial yang mendasar untuk mengkonstruksi kerekatan di masyarakat, dan kerakatan sendiri sebagai energy sosial. Keserasian sosial dipahami sebagai langkah respon seimbang prilaku sosial dalam berinterasi sesama komunitas dan bagian upaya mendalam pemahaman tentang keberagaman. Pertanyaannya adalah dimensi apa saja yang diperlukan dalam menciptakan keserasian sosial?
Kemampuan beradaptasi masing-masing entitas etnis, tidak sekadar dalam konteks adaptasi pemenuhan ekonomi semata, tetapi kemampuan beradaptasi terjalinnya hubungan antar etnis yang melahirkan kepatutan sosial sehingga tidak mengganggu kepentingan-kepentingan lainnya seperti pemenuhan ekonomi maupun sosial. Boleh jadi pandangan ini lebih diarahkan pada entitas etnis yang dikategorikan sebagai pendatang (migrant), tetapi penduduk tempatan (native) justru harus mengembangkan kemampuan beradaptasi dalam konteks “keberterimaan” atas siapa pun yang mengadu nasib dan memberikan kontribusi sebagai modal pembangunan daerah bersangkutan.
Kemampuan beradaptasi merupakan bentuk kecerdasan dalam memahami hubungan antar etnis, dan pemahaman ini justru telah dipraktekkan para nenek moyang terdahulu dan sering dituangkan dalam bentuk pribahasa-pribahasa, ..” jika ingin mengenal orang berbangsa, lihatlah pada budi bahasa… atau dalam pandangan orang Minang..” dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” atau dalam perspektif Banjar.” Rumput jangan maalahakan banua” sebagai pengingatan kepada etnis banjar apabila merantau (madam) ke negeri orang.
Namun demikian, kemampuan adaptasi sebagai sebuah strategi bagi hubungan antar etnis dalam suatu kawasan, tidak bisa berdiri sendiri di tengah kompleksitas kehidupan bagi para warga yang asyik menyibukan diri dalam pemenuhan ekonomi. Kemampuan adaptasi sebagai ranah mengkonstruski keserasian sosial diperlukan kehadiran institusi sosial baik suprastruktur sosial maupun infrastruktur sosial.
Arbain (2004) membentangkan pikirannya dalam melihat strategi adaptasi orang Banjar di Palangkaraya pasca konflik Dayak-Madura. Bahwa kemampuan beradaptasi lewat arena-arena public berupa tingginya frekuensi kegotongroyongan yang diinisiasi oleh institusi pemerintah (suprastruktur) maupun non pemerintah (infrastruktur sosial) adalah jalan cerdas menuju penguatan keserasian sosial sebagai modal capaian menuju kerekatan sosial. Tingginya frekuensi pertemuan antar komunitas etnis lewat berbagai event baik dalam ranah mikro maupun makro memungkinkan lahirnya “keberterimaan” antar sesama etnis dan mengurangi terjadinya prasangka sosial yang laten.
Dalam kasus hubungan antar etnis, jika daya prasangka sosial lemah, sangat memungkinkan pendekatan kearifan lokal dalam mendorong kearah keserasian sosial bahkan menyelesaikan konflik-konflik sosial. Sebab misal dalam perspektif kebudayaan Banjar ada istilah “ Tiga Tungku Sajarangan”, sebagai bentuk integrasi antara pemimpin, ulama dan masyarakat itu sendiri. Namun demikian, memang belum tentu ada entitas etnis atau komunitas dalam komposisi lain baik agama, pandangan politik, dan lainnya berterima dengan konsep dimaksud terhadap salah satu kehadiran dari tiga tungku tersebut. Karena kearifan lokal sendiri sebagai pengembangan pengalaman hidup yang stabil yang mempunyai pendukung komunitas etnis secara spesifik.
Pandangan ini juga ingin menekankan bahwa kearifan lokal sebagai formula yang diakui dalam mendorong keserasian sosial dan mencegah hadirnya konflik sosial tidak terjebak dalam disharmoni, dimana kearifan lokal sering “dijelmakan” menjadi perjuangan identitas yang bersifat politis untuk menghindarkan terjadi kekerasan antar ras, agama, pandangan politik dan golongan yang berbeda.
Penutup
Bagaimanapun keserasian sosial yang dikembangkan sekalipun tidak ekonomis memberikan kontribusi besar dalam rangka membangun kerakatan sosial dari masyarakat yang heterogen (beragam). Integrasi sosial lahir karena diawali oleh keserasian sosial, dimana integrasi sosial merupakan proses penyesuian diantara unsur-unsur yang berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan keserasian fungsi hingga melahirkan consensus sosial antar etnik dalam suatu kawasan.Wallahu’alam bissawab.
“Mengangat Darjah, Menjunjung Maruah, Meraih Tuah”

Tanjung, 22 Desember 2010.
Disampaikan pada Seminar Keberagaman Etnik Sebagai Sumberdaya Dalam Membangun Kerekatan Sosial

No comments: