Wednesday, October 26, 2011

Tarikan “Genit” Pusat-Daerah (Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah )

Oleh: Taufik Arbain

Pengantar

Negara ini relatif letih melewati sejarah kebangsaan dan pemerintahan. Ekspremen pemerintahan dalam rangka mensejahterakan rakyat kerap dilakukan. Setidaknya awal kemerdekaan dengan politik sentralisasi hingga desentralisasi dijadikan sebagai ujung tombak untuk mendekatkan pembangunan dan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun dalam perjalanannya justru kian menjauhi masyarakat untuk menikmati manfaatnya. Ada tarikan-tarikan kencang antara kepentingan pusat dan daerah, provinsi dan kabupaten/kota,
bahkan otonomi daerah melahirkan tafsir yang jauh seakan sebuah wilayah federal yang hanya mengakui keberadaan pemerintahan pusat yang menafikan keberadaan pemerintahan provinsi.

Ironisnya, kehadiran otonomi daerah diharapkan mampu melahirkan kemandirian dan keadilan bagi daerah, justru ianya seakan menjadi altar “perjudian dan kompetesi” perebutan kekuasaan politik bagi para politisi dan kompetesi perebutan alokasi sumber-sumber ekonomi bagi kelompok kapital. Kesibukan-kesibukan demikian, justru semakin memberatkan beban pemerintah pusat dalam menangani soal kepemerintahan dan kebangsaan, padahal otonomi daerah sebagaimana konsideran dalam Undang-undang No.32 Tahun 2004 memberikan konsep yang jelas bahwa daerah tidak melulu disibukkan pada urusan-urusan domestik semata seperti tata kekola pemerintahan dan pelayanan publik serta kebijakan pembangunan, tetapi juga dalam konteks daya saing bangsa.

Syakrani dkk (2009) menengarai, titik singgung antara otonomi daerah, pembangunan dan daya saing bangasa terjadi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Artinya ketika daya saing bangsa yang mampu meningkatkan derajat kesejahteraan warga, maka cita-cita otonomi daerah dapat tercapai.

Dalam konteks ini tentu saja koneksitas otonomi daerah dalam konteks kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa tidak selalu hanya menjadi retorika belaka, tetapi menjadi bagian integral peningkatan kapasitas (capacity building) pemerintah daerah dalam menyelenggarakan fungsi-fungsinya, termasuk konsistensi instrument kebijakan pemerintah pusat yang terkadang “kelebihan energy” . Ibarat pepatah Melayu, “belum lunak memamah nasi, labu pula yang ditelan”.

Catatan Strategis Kalsel
Keterjebakan paradigma sebagaimana di banyak daerah di Indonesia bahwa kesuksesan dalam menjalankan otonomi daerah adalah dengan meningkatnya PAD. Tak ayal upaya-upaya pengenjotan PAD menjadi ajang pilihan atas pengelolaan modal asset. Arbain (2009) membentangkan pandangan bahwa paradigma yang dipakai penguasa daerah dalam mewujudkan prestasi keberhasilan pembangunan adalah dengan instrumen pembangunan fisik, relatif sedikit mewujudkan variabel peningkatan sumberdaya manusia, bahkan justru terjadi pengurangan variabel asset modal alam. Pilihan demikian selama ini dipercaya sangat efektif untuk menjadikan kampanye dalam pengulangan kesuksesan pada momentum pemilu Kepala Daerah.

Pandangan yang diadaptasi dari Vinod Thomas (2001) dalam The Quality of Growth khususnya pada Negara-negara berkembang ini, membuka pintu analisis dalam melihat implementasi pelaksanaan otonomi daerah khususnya pada daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam. Keterjebakan paradigma bahwa prestasi otda adalah peningkatan PAD, semakin mendorong penguasa melakukan obral izin-izin eksploitasi sumberdaya alam, hingga lupa pada peningkatan kapasitas aparatur (capacity building) yang bermuara tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah, termasuk berbagi beban pelaksanaan pembangunan dengan mitra-mitra stakeholder sebagaimana konsep Good Governance dalam mengoptimalkan otonomi daerah.

Pru’d Homme (1995) sejak awal telah memberikan sinyal kemungkinan bahaya pada pelaksanaan otonomi daerah yakni; (1) tingginya disparitas antar daerah (2) Inefesiensi produksi dan alokasi sumberdaya (3) Instabilitas. Tiga bahaya tersebut saat ini menjadi tampak dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kasus sengketa perbatasan dalam rangka perebuan alokasi sumber misalnya bagian dari situasi ketidakstabilan hubungan antar daerah, termasuk berpacu menaikkan kelas /Tipe Rumah Sakit salah satu disparitas antar daerah, padahal dalam perspektif spasial memiliki faktor kedekatan jarak relatif memungkinkan untuk membangun kemitraan antar pemerintah otonom yang justru bisa mendorong pengembangan kemitraan sektor lain.

Dalam konteks Kalimantan Selatan, pelaksanaan otonomi daerah tidak sebatas dilihat dari penurunan angka kemiskinan penduduk, meningkatnya angka melek hurup, Indeks Pembangunan Manusia, kinerja pemerintahan atau tercapainya indeks demokrasi dan peningkatan PAD, tetapi isu-isu lingkungan, kapasitas aparat , manajemen pemerintahan, termasuk berbagi beban antar kemitraan di daerah adalah bagian dari persoalan krusial yang belum terpecahkan.

Ada empat catatan strategis yang menarik dalam mengevaluasi pelaksanaan otonomi di Kalimantan Selatan; pertama, Penataan Internal, bahwa sekalipun pemahaman pelaksanaan otonomi daerah tidak semata pada masalah domestik (internal) dan kemandirian dalam konteks daya saing daerah, isu penataan internal masih menjadi persoalan yang belum rampung hingga sembilan tahun pelaksanaan otonomi daerah. Peningkatan kapasitas kelembagaan, ketatalaksanaan dan personalia adalah modal sumberdaya aparatur dalam menjalankan fungsi-fungsi pelayanan publik. Namun, konsep-konsep seperti ketata pemerintahan yang baik (good Governance) terkadang hanya menjadi hiasan slogan saja, jauh ketinggalan dibandingkan kemampuan lembaga swasta dalam memahami kebutuhan dan keperluan publik. Implementasi KTP, Pendidikan dan Kesehatan gratis sudah dianggap sebuah keberhasilan dari penataan internal aparat dalam melayani publik, padahal aspek kinerja berkaitan dengan efisiensi, efektifitas, transparansi, akuntabilitas, responsivitas, dan responsibilitas sebagaimana pandangan Dwiyanto (2000) masih belum terkonsentrasi sebagai variabel determinan pencapaian pelayanan publik yang optimal guna mendorong kesejahteraan masyarakat.

Kedua, Kemitraan. Tantangan berat dalam otonomi daerah adalah membangun kemitraan antar stakeholder dan lintas golongan. Ada beberapa daerah di Kalsel yang hanya menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan seperti sebuah kantor administratif pelayanan kartu tanda penduduk yang menekankan prosedural administratif belaka. Kehadiran pemerintah dengan segala otoritasnya hanya terpaku pada regulasi dan rutinitas, sehingga tidak memunculkan roh otonomi yang membawa pesan kemandirian dan keadilan. Ketidakmampun bermitra dan berbagi beban tanggungjawab pembangunan kepada steakholder menyebabkan justru tugas-tugas pemerintah bersangkutan dalam pelaksanaan otonomi daerah menjadi stagnan. Kemitraan dimaksud juga berkaitan dengan penghindaran tumpang tindih kewenangan dan pelaksanaan program antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kab/Kota, sebagaimana diatur dalam UU No.32/2004 seperti pendidikan, kesehatan lingkungan dan lainnya.

Ketiga, Paradigma Sesat Peningkatan PAD. Fakta ini justru terjadi pada daerah-daerah yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Penguasa daerah otonom yang memiliki keluasan otoritas terkesan “miang dan genit” untuk melakukan langkah-langkah peningkatan PAD dengan by pass. Tetapi lagi-lagi tingginya PAD tidak signifikan dengan peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan dasar warga (lihat IPM per-kabupaten). Pertumbuhan ekonomi yang tidak distributif justru terjadi pada daerah-daerah yang PDRB-nya mengandalkan pada kontribusi sektor sumberdaya alam (partambangan) dibandingkan yang menekankan pada sektor jasa dan pertanian. Jadi paradigma prestasi PAD sebuah jebakan yang menyesatkan penguasa, aparat dan politisi di daerah.

Keempat, Perubahan Regulasi. Bagi daerah regulasi dan kebijakan yang berubah-ubah dibuat pemerintah pusat sering memusingkan dalam penerapannya di daerah. Sebab ketika regulasi atau formula dalam proses penerapan dan pematangan, justru menjadi stagnan dan tidak tercapainya tujuan-tujuan dalam menjangkau kepentingan publik lebih optimal. Pemerintah pusat terkadang tidak menyadari potensi dan fakta daerah sehingga regulasi yang dibuat justru seperti pengulangan sistem sentralistik, dimana diktum-diktum dalam pasal masih tidak memberikan ruang yang memahami persoalan daerah. Salah satu contoh adalah UU No.32 tahun 2004 tidak memberikan ruang pengawasan kepada Pemerintah Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah sehingga pemerintah otonom menafikan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat sendiri tidak memiliki keterjangkauan yang cukup dalam melakukan pengawasan, sekalipun Pemerintah Provinsi merupakan wakil Pemerintah Pusat. Ini dimaksudkan bahwa, boleh jadi pada daerah yang penduduknya relatif berpendidikan tinggi dan indeks demokrasi yang bagus sangat memungkinkan tanpa keterlibatan Pemerintah Provinsi dalam melakukan kontrol pemerintahan dan pembangunan Pemerintan Kab/Kota, tetapi justru sebaliknya pada daerah minus berpendidikan tinggi, rendahnya pengawasan atas aktifitas pemerintahan dan pembangunan yang memicu kurangnya manfaat otonomi kepada masyarakat daerah.

Penutup: Rekomendasi
1. Otonomi daerah seyognya terfokus pada upaya pembangunan pedesaan melalui program-program prasarana, pengembangan agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat dan pemanfaatn sumberdaya alam yang pro lingkungan, bukan malah pemberangusan pembangunan pedesaan lewat eksploitasi lahan untuk pertambangan.
2. Peningkatan Kinerja SDM dan Kapasitas kelembagaan merupakan tantangan implementasi yang belum selesai sehingga perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Demikian pula dengan peningkatan kapasitas anggaran
3. Pelaksanaan Otonomi daerah bagi daerah yang surplus sumberdaya alam belum memberikan jaminan kesejahteraan bagi warga, termasuk indeks demokrasi dalam melakukan kontrol terhadap pemerintahan dan pembangunan. Oleh karenanya regulasi berkaitan dengan penguatan Pemerintah Provinsi dalam pengawasan daerah otonom penting dilakukan.
4. Penguatan kemitraan menjadi penting bagi daerah otonom sebagaimana amanat kemandirian dan keadilan bagi daerah untuk mencapai daya saing bangsa. Pemetaan terhadap potensi-potensi daerah sebuah kaharusan sebagai daya dukung dalam penggalangan kemitraan
5. Perlu pengkajian ulang terhadap system DAK dan DAU sehingga memungkinkan memberikan ruang bagi pembiayaan pembangunan di daerah secara optimal.



Banjarmasin, tengah malam 9 November 2009
Disampaikan pada Diskusi FGD yang dilaksanakan DPD Ri bekerjasama dengan Pusaka Publik Kalsel.

No comments: