Wednesday, October 26, 2011

Mudik Lebaran: Ruang Need for Achievement dan Aras Kebijakan Publik

Oleh: Taufik Arbain
Dalam perspektif keilmuan arus mudik lebaran tidak bisa dikaji hanya dalam kajian demografi sebagai proses arus balik migrasi dari daerah tujuan ke daerah asal, dan atau merupakan pula bagian dari proses kultural (antropologi) ala Asia khususnya berpenduduk muslim sebagai bentuk konstruksi silaturahmi tahunan, tetapi ianya menjadi ranah bagi kebijakan publik karena menyangkut pergerakan manusia (social movement) yang melibatkan peran pemerintah untuk melakukan pelayanan.

Arus mudik selalu dikaitkan dengan soal tempat kelahiran, tempat leluhur sebagai fenomena yang tidak sekadar milik orang kecil tetapi juga milik sekelompok elit, sekalipun pergerakan arus memiliki pembeda atas transportasi mencapai daerah tujuan. Namun demikian “pentas drama” yang terkadang menyengsarakan karena berdesakan dan mahalnya ongkos angkutan tidak pernah membuat orang menyerah untuk terlibat dalam drama tahunan ini.
Di Kalimantan Selatan, kawasan Hulu Sungai merupakan basis daerah asal (udik), dibandingkan dengan kawasan pesisir (Tanbu dan Kotabaru) karena konsentrasi manusia sejak berabad-abad semula berada disana kemudian menyebar ke seluruh negeri termasuk Banjarmasin baik sebagai pusat tujuan, pintu masuk laluan maupun leaping frog ke kawasan lain. Dalam hal ini, Naim (2000) telah mencatat orang Banjar khususnya Hulusungai memang memiliki tradisi merantau (madam) dalam lima besar etnis di Nusantara, setidaknya ada korelasi atas fenoemena arus mudik. Lebih-lebih semangat tidak menjadi hayam berumahan atau supan meukur kartak di kampung.
Dalam konteks proses Need for Achievement justru mendorong banyak orang berkompetisi di daerah rantau dalam merebut sumber-sumber ekonomi termasuk sumber-sumber kekuasaan politik dan persaingan sosial. Implikasinya mudik melahirkan distribusi pendapatan, distribusi informasi dan pengetahuan di daerah udik (remitance). Bagi sanak saudara di kampung turut dipandang izzah keluarganya sebagai keluarga sukses. Menariknya terjadi pula distribusi penokohan peran lewat distribusi spanduk-spanduk ucapan Selamat Lebaran di sepanjang jalanan wilayah territorial politik Kabupaten. Inilah tren baru dalam fenomena mudik lebaran pasca direct democracy yang memberikan ruang luas bagi setiap orang untuk menegaskan sebagai orang sekampung atau istilah “orang banua” untuk menjadi pemimpin daerah.

Jadi fenomena mudik lebaran tidak melulu dipahami sebagai silaturahmi, rindu-kangen keluarga, ziarah kubur orang tua, berbagi rezeki, pengungkapan status sosial (pamer) termasuk mengontrol harta warisan di kampung, dimana hal ini oleh sebagian orang bisa diwakili dengan teknologi berupa paket kiriman atau telepon. Namun mudik lebaran menjadi kekuatan memaksa seseorang untuk menghadirkan dirinya di kampung termasuk penegasan akseptabilitas sebagai komunitas urang banua yang akan memberikan jalan terlibat dalam perkumpulan-perkumpulan sosial di daerah asal dan daerah rantau. Sementara bagi kelompok grassroot mudik sebagai ruang pengungkapan bahwa tujuan merantau dengan motif ekonomi berbuah hasil peningkatan kehidupan lebih baik dari semula. Mudik dengan mengendarai sepeda motor kredit berbonceng anak isteri dan barang bawaan sekalipun adalah kegagahan yang tiada tara gembiranya.
Sebagai bagian dari kultural Indonesia yang mendarah daging dan sulit diubah di hari pengganti selain lebaran, mudik akhirnya menjadi agenda kebijakan publik oleh pemerintah. Kehadiran Pemerintah Daerah bersama Kepolisian misalnya lewat kebijakan pengamanan mobilitas arus mudik, perbaikan ruas jalan dan tersedianya pelayanan kesehatan di tiap pos laluan adalah kemampuan peran Pemerintah membaca fenomena sosial yang merupakan milik personal dalam memaknai lebaran baik melakukan interpretasi ajaran agama, tradisi dan Need for Achievement sebagai kebutuhan mencapai status tertentu dan revitalisasi hubungan-hubungan sosial.
Sebab keterlibatan pemerintah menyangkut hajat orang banyak sangat memiliki implikasi politik atas kapabilitas Pemerintah melayani publik, tidak sekadar memahami Lebaran dalam hal berbagi THR, Pasar Murah atau penyediaan Bus Angkutan buat karyawan Pemda menuju daerah mudik. Itulah sebabnya peristiwa mudik ini selalu dirancang dengan berbagai skenario agar proses mudik termasuk arus balik mudik tidak memberikan implikasi negatif bagi kebijakan-kebijakan yang telah dirancang. Sebab tidak jarang pemerintah hanya terfokus pada fenomena mudik, tetapi tidak terfokus pada implikasi kedatangan arus balik yakni meningkatnya pencari kerja dan kelompok miskin kota.
Dalam aras lain, Pemerintah harus menunjukkan keberanian dirinya mengontrol Pertamina akan ketersediaan BBM di daerah. Run teks pada salah satu televisi swasta Nasional misalnya terungkap kesanggupan Pertamina akan ketersediaan BBM di pulau Jawa dalam arus mudik. Pertanyaannya apakah hal ini berlaku juga bagi Kalimantan? Tidak jarang kasus langka BBM membuat harga melambung dan tertundanya arus balik. Masalah ini biasanya tercecer dibandingkan soal perbaikan ruas jalan, pengamanan lalu lintas maupun pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, perlu usaha-usaha strategis yang dirancang matang dalam memahami fenomena arus mudik lebaran dan pasca arus balik. Karena fenomena arus mudik adalah bagian dari hajat orang banyak dan itu menjadi tanggungjawab pemangku Pemerintahan dalam menyelesaikan masalah-masalah publik untuk menjadi agenda kebijakan publik. Selamat Mudik Lebaran!!!

Penulis: Dosen Fisip Unlam.Diterbitkan Banjarmasin Post, 26 Agustus 2011.

No comments: