Wednesday, October 26, 2011

Mereka Menenteng Airmata dari Saudi Arabia

Oleh: Taufik Arbain

Banjarmasin Post beberapa waktu lalu aktif mewartakan soal TKI di Arab Saudi yang dihukum pancung, demikian pula TKI asal Kalsel yang terancam pancung. Kisah ini mengingatkan saya tentang TKI illegal (pendatang haram dalam pandangan orang Malaysia) di Malaysia yang dihukum cambuk sebanyak 17 kali tepat di HUT RI tahun 2002, dan yang berlari terbirit-birit melintas perbatasan Kalimantan-Malaysia. Lalu dimana harga diri bangsa dan pembelaan atas rakyatnya?


Ruyati binti Satubi misalnya sebagai news booming hanyalah salah satu potret dari kepedihan hidup seorang migrant international yang mencari nafkah di jauh dari tanah kelahirannya, termasuk TKI asal banua yang juga terancam pancung. Sebutan pendatang haram atau cerita-cerita memilukan yang berulangkali ditayangkan media cetak dan elektronik tentang kepedihan hidup para TKI misalnya, tidak menyurutkan mereka untuk tetap melaju menuju Arab Saudi. Sebab sebagaimana hukum migrasi, Arab Saudi memang menjanjikan 3 faktor penting bagi para migrant internasional yakni; mendapatkan upah yang mampu memperbaiki taraf ekonomi di daerah asal, meninggikan status sosial di mata orang kampung dan ketiga terkonstruksi prestise sebagai seorang hajjah, sebagaimana cultural pressure khususnya bagi orang banua jika telah menginjakkan kaki ke Mekah sekalipun berstatus seorang TKI dengan profesi pembantu.

Kebijakan kependudukan Pemerintah kita nampaknya masih menggunakan paradigma demographic oriented, dimana yang terpenting konsentrasi kemiskinan pada suatu wilayah bisa diselesaikan dengan cara memindahkan sejumlah penduduk baik dengan cara transmigrasi, migrasi spontan termasuk migrasi internasional sebagaimana dilakukan TKI ke Malaysia dan Arab Saudi. Ketidakberesan menangani soal kependudukan dan TKI ini adalah sangat ironis pernyataan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi baru memulai berpikir dan berencana memperbanyak pengacara, melipatgandakan tim ahli untuk pembelaan termasuk usulan memiliki handpone. Padahal akar masalahnya sudah terpetakan sejak dulu, bahwa soal kemiskinan penduduk dan soal managemen professional dalam pengiriman TKI dan pengawasan intensif Pemerintah terhadap pihak swasta yang diberikan ruang melakukan bisnis pengiriman ini. Ragam kasus pahit soal TKI selama ini, tidak menarik pihak pengirim ke meja hijau untuk memberikan efek jera atas asal-asalan dalam pengiriman TKI ke luar negeri dan lepas tanggung jawab.

Cara yang sangat berbeda dilakukan oleh Negara-negara Asia yang juga turut melakukan langkah pengiriman tenaga kerja ke luar negeri seperti Philipina, Thailand maupun India. Di Arab Saudi dan Dubai misalnya, kita akan mudah menemui penjaga toko, counter dan petugas ranah publik muka-muka orang Asia, tetapi bukan Indonesia. Artinya level tenaga kerja Negara-negara Asia yang lain masuk dalam ranah publik, bukan ranah domestik yang seakan disembunyikan dan rentan penyiksaan termasuk gaji yang tidak dibayar.

Belum lagi sebagaimana kajian-kajian yang dilakukan para peneliti migran internasional misalnya, kondisi bertahan hidup di perantauan sering para TKI “menjual” apa yang ada pada dirinya sebagai sebuah perilaku yang menyimpang. Nah, fakta-fakta para buruh migran (TKI) ini sudah terpetakan oleh Pemerintah, tetapi tidak ada langkah kongkret yang nyata kecuali semakin meningkatnya jumlah TKI yang dikirim dengan minim pengawasan. Saya yakin, tak satu pun para TKI yang pulang akan bercerita tentang kesedihan dan kepahitan di Arab Saudi yang selama ini dibangga-banggakan, karena MALU!

Belajar kasus ini, di Pemerintah perlu mempetakan perusahan para penyalur TKI dan melakukan pengawasan sebagai bentuk rekonstruksi arus migrant internasional. Hal ini sudah dilakukan oleh Negara Philipina dengan lembaga Philippina Employment Overseae Administrations (PEOA) sebuah lembaga yang memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja agar tidak dieksploitasi oleh majikan dan jasa pengiriman tenaga kerja.

Selain itu Pemerintah Provinsi dan Kab/Kota perlu mengkampanyekan kepada warganya untuk berhenti menjadi migran yang melintas batas Negara baik ke Malaysia maupun ke Arab Saudi, sebelum adanya kebijakan Pemerintah Republik benar-benar memberikan rasa aman bagi rakyatnya yang menjadi TKI internasional dan memiliki skill sehingga ruang bekerja berada di ranah publik. Tentu saja menyelesaikan urusan kemiskinan di daerah asal adalah faktor utama agar tidak terjadi kuatnya push-pull factor dalam proses migrasi penduduk.

Dalam konteks ini sebagai langkah strategis awal Media lokal perlu menginvestigasi perusahan penyalur yang beroperasi di Kalsel dan yang tidak bertanggung jawab atas kasus warga Kalsel yang terancam dipancung termasuk yang tidak ada kabar beritanya seperti TKW asal Batola.

Tentu saja kasus pancung dan terbirit-biritnya warga Indonesia karena kemiskinan di Negara asing adalah harga diri bangsa yang tergadai dan terlalu ewuh pakewuh atas nama Islam dan Arab. Boleh jadi, besok hari keluarga para migrant tidak bisa lagi berharap mereka datang menenteng air Zam-zam dari arab Saudi, tetapi justru banjir airmata yang seharusnya masih bisa disisakan untuk menangisi mayat-mayat TKI yang akan dipancung .

Penulis: Dosen FISIP UNLAM

No comments: