Wednesday, October 26, 2011

Pemadam

Oleh: Taufik Arbain

Pada suatu waktu saya pernah mendatangi keluarga di sekitar Pandu Banjarmasin yang kebetulan berdekatan dengan lokasi terjadinya kebakaran. Satuan pemadam kebakaran mengambil posisi penyiraman di sekitar rumah keluarga tersebut. Pasca api dipadamkan, saya berbincang-bincang banyak hal dengan beberapa orang satuan pemadam kebakaran sembari membantu mereka merapikan perlengkapan alat pemadam.

“ Kami selalu siaga apabila terjadi kebakaran. Apalagi musim kemarau seperti ini !” kata salah seorang petugas. Lalu saya menanyakan, “ adakah selain hal itu Anda bisa selalu siaga?”. Sang petugas menjawab,” Ada! Jika terjadi orang lamas (orang tenggelam di sungai), setidaknya di sekitar kota Banjarmasin termasuk di muara sungai barito, maka alamat akan terjadi beberapa peristiwa kebakaran”.
Mendengar jawaban penuh semangat demikian, saya tidak mau membantah apalagi mengejar hal-hal kontradiktif untuk melogikakan persepsi mereka. Yang terpenting bagi saya untuk terus mengejar jawaban yang saling berhubungan dengan penguatan persepsi mereka tentang hubungan orang lamas dan peristiwa kebakaran. Baik itu kemungkinan besar-kecilnya luasan kebakaran, titik-titik kecenderungan dan berapa lama pasca peristiwa orang lamas dan sebagainya. Sekalipun dalam pandangan umum, bahwa terjadinya kebakaran lebih disebabkan oleh human error dimana yang paling gampang terjadinya arus pendek akibat perilaku pencurian, infrastrukturnya yang tidak permanen, ledakan tabung gas, anak-anak bermain api, kelalaian penggunaan lampu/lilin dan jilatan rokok ke bensin sebagaimana kasus-kasus penyebab terjadinya kebakaran di kawasan Banjarmasin dan sekitarnya.
Jika merujuk pemahaman dan persepsi ucapan petugas kebakaran, lalu bagaimana dengan kasus terbakarnya Kapal Marina di perairan sungai Barito seminggu yang lalu dimana menyebabkan sebagian korban meninggal dan ada yang korban tenggelam alias lamas? Apakah akan ada peristiwa kebakaran dalam minggu ini dengan peristiwa orang lamas? Harapan besar kita tentu saja semoga tidak ada dan tidak akan pernah terjadi bencana seperti ini.
Sebenarnya yang menarik dari petugas pemadam kebakaran ini adalah kesiapan dan kesiagaan mereka tanpa pamrih menjadi relawan sebagai petugas pemadam kebakaran, padahal maaf rata-rata dari mereka adalah kelompok menengah ke bawah dengan segala pas-pasan ekonomi rumah tangga mereka. Saya mencoba memahami, bahwa teori hirarki kebutuhan dari Moslow menyelinap dalam diri mereka untuk mengaktualisasikan diri mereka kepada orang-orang sekitarnya sebagai pekerja sosial dan terhormat di mata publik.
Dengan segala atribut pakaian yang gagah dari topi, rompi, ikat pinggang, pesawat radio, sepatu hingga kendaraan yang berhias dan berwarna-warni sebagai bentuk “ruang kegembiraan” mereka mendarmabaktikan untuk kepentingan umum, dimana terkadang lebih pamrih dari apa yang dilakukan para kader partai politik. Menjadi barisan pemadam kebakaran nampaknya tidak mensyaratkan banyak hal, kecuali mereka yang siap bekerja tanpa pamrih dan sehat badan minimal baangkat-angkat selang air.
Memang terkadang tidak bisa dinafikan ada protes masyarakat atas perilaku para petugas pemadam ini dianggap lebay kata anak muda. Bahwa membawa kendaraan di jalan raya saking kencangnya, sekalipun biasanya pengendara umum sendiri terkadang tidak ngeh dengan adanya sirine untuk segera menepi. Atau petugas yang datang ke rumah-rumah memungut sumbangan seribuan meskipun jam istirahat masyarakat dengan berteriak..” pemadam..pemadam…”. Semakin sering peristiwa kebakaran, semakin sering pula teriakan tersebut didengar.
Namun demikian, boleh jadi ini sebuah fakta hadirnya pemadam kebakaran diantara banyaknya para pengusaha dan orang kaya banua tidak terorganisir pendonor tetap atas keperluan operasional mereka. Ataukah bentuk membangun kejelian bagi penduduk bahwa ada barisan relawan yang membutuhkan uluran tangan? Atau bisa juga ada oknum petugas mengenakan seragam bergerak sendiri tanpa koordinasi dengan pimpinan barisan?

Di luar soal itu, saya sempat berpikir, jika satuan ini hadirnya memiliki keberartian bagi Negara, boleh jadi atas nama Negara akan mencetuskan adanya Hari Pemadam Kebakaran sebagai penghormatan atas dedikasi para relawan. Mungkinkah pemerintah daerah ini mencetuskan adanya hari dimaksud untuk banua ini, sehingga melahirkan kepedulian yang lebih dan terorganisir berbagi dengan mereka?
Soal pemadam ini, saya teringat tahun 1995 ketika begadang malam di kampus menyiapkan sebuah kegiatan. Sirine di kawasan kayu tangi berbunyi memecahkan kesunyian tengah malam, kami pun berhamburan keluar mengambil motor mengikuti lajunya mobil pemadam menuju kota. Tepat di simpang empat Belitung mobil pemadam yang melaju menabrak median jalan hingga oleng dan menjatuhkan salah seorang petugas ke aspal. Singkat cerita, besok paginya yang kami dengar dan liat adalah bendera kematian seorang petugas pemadam kebakaran yang kami liat tadi malam.**(Idabul, Mata Banua, 3 Oktober 2011)

No comments: