Wednesday, October 26, 2011

Sirup Ramadhan

Oleh: Taufik Arbain

Sekitar sebulan lalu, saya bersama isteri menonton televisi swasta nasional. Tiba-tiba dikejutkan oleh tampilan iklan sirup salah satu produk terkenal. Kata istri saya “ Kaka, ini artinya bulan puasa sudah mulai dekat..” Lalu saya langsung menjawab,” tidak sekadar soal sirup dan apa saja yang berkaitan dengan makanan –minuman, pakaian dan lainnya…. Misi politik pun sudah mulai dekat diaksikan!”.

Lalu saya meneruskan penjelasan, bahwa ahli-ahli strategi pemasaran memang menjadikan waktu/timing sebagai faktor determinan untuk merebut pasar. Itulah sebabnya, para ahli komunikasi politik sebenarnya diinspirasi oleh kelompok strategi pemasaran produk dalam ranah bisnis bagaimana dan kapan memasarkan produk kepada konsumen agar memberikan kesan dan pengingatan sehingga konsumen memutuskan untuk membeli produk mereka.
Selanjutnya, apa hubungannya dengan bulan puasa? Ya.. bulan puasa tidak sekadar bulan penuh berkah dan rahmah dalam arti sesungguhnya, dimana umat akan mendapatkan ganjaran pahala berlipat dalam ibadah di bulan tersebut. Tetapi rupanya, urusan bagaimana memanjakan ummat dalam mengisi ramadhan pun dibarengi dengan berbagai macam produk.
Nah, bagi pihak-pihak yang memiliki minat merebut kekuasaan, apakah kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif, bulan Ramadhan menjadi legitimasi mendekatkan dengan diri dengan publik, bukan dengan Allah. Sebab bagi para politisi publik adalah sebenar-benarnya pasar dan jalan merebut kekuasaan. Bagi mereka ini adalah pilihan signifikan menentukan akseptabilitas dan elektabilitas.
Dalam perspektif sosiologis memainkan peran simbolik dihadapan publik dengan memanfaatkan momentum bulan ramadhan sebenarnya untuk menegaskan identitas diri sang politisi adalah sama perwujudannya dengan umat yang religius. Kesan religius yang dikonstruksi di bulan Ramadhan setidaknya sang politisi tidak perlu mendengar ada pertanyaan soal alim dan tidak alim sang politisi, memiliki potensi berdusta, memiliki bakat korup yang tentu saja kontraproduktif dengan seseorang yang religious.
Jadi pemanfaatan momentum bulan Ramadhan bukan saja kaplingan para pebisnis sirup, kurma, wadai dan atau produk makanan lainnya, tetapi ia menjadi tempat berjualan identitas diri bagi para perebut kekuasaan. Janganlah heran jika seminggu sebelum bulan Ramadhan baliho dan spanduk ucapan Selamat Menjalankan Ibadah Puasa (kalau ada yang siap menghitung) boleh jadi lebih banyak dari baliho dan spanduk produk sirup, kurma maupun biskuit.
Saya hanya ingin mengatakan, bahwa persoalan bulan ramadhan saat ini benar-benar menjadi ajang Pasar Potensial bagi banyak pihak dalam melakukan persaingan. Di satu sisi kepada apa yang disebut konsumen, disisi lain kepada publik khususnya bagi pemburu kekuasaan. Kesan yang kita lihat ini sebenarnya bisa dipahami, bagaimana urusan bulan puasa biasanya menjadi kaplingan partai-partai berkhaskan Islam termasuk kegiatan keagamaan. Sekarang ini, tidak ada lagi pengkaplingan demikian apakah partai berkhaskan Islam atau tidak, karena publik adalah pasar, dan pasar adalah milik bersama. Jangan heran kegiatan-kegiatan bernuansa Islam sekarang menjadi kaplingan partai berkhaskan kebangsaan.
Kepada isteri saya katakana: “ Nah sekarang kita tunggu, siapa politisi dan partai mana yang akan memasarkan produk kereligiusannya kepada publik? Mari kita hitung bersama-sama seberapa banyak perbandingan iklan, spanduk dan baliho para politisi dengan produk bisnis untuk bulan puasa.”, Buat anda pembaca, Selamat menghitung dan menganalisa di bulan puasa.(Idabul, Mata Banua 11 Juli 2011)

No comments: