Wednesday, October 26, 2011

Sahur dan THR

Oleh: Taufik Arbain

Seorang teman meng-sms membuat saya tergelitik hati: “ sahur 3 x…THR 10 X”. Sms teman sehabis sahur menjadi inspirasi bagi saya untuk mencoba membahas soal THR. Memang apa hubungannya antara Sahur dengan THR? Jika hal ini ditanyakan kepada ahli bahasa atau setidaknya sastrawan, maka mereka akan menjawab bahwa ada ucapan Sahur 3 kali dan THR 10 Kali.
Jika ditanyakan ahli ini pada ahli politik dan kebijakan publik, tentu saja memiliki makna tegas bahwa hari ini mereka yang menjalankan ibadah puasa sebenarnya tidak mempersoalkan sahur sehingga urusan pemenuhan kebutuhan sahur tidak terlalu penting dan menjadi agenda utama dalam mencapai hari kemenangan.
Namun jika THR diucapkan 10 kali memiliki makna mendalam atas pembanding dengan sahur bahwa THR adalah sangat penting didapatkan oleh pihak bawahan dan harus diberikan oleh atasan. Rupanya “teriakan” THR ini berlaku juga pada petugas parkir Pasar Sudimampir. Cerita seorang teman menirukan petugas parkir sembari membayar parkir,” labihi bos gasan THR!”.
Memang THR adalah pelengkap berhari raya, dimana semula THR hanya diperuntukkan bagi karyawan PNS atau pegawai swasta dalam koridor bekerja untuk orang lain. Tetapi makna THR telah bergeser kepada siapa pun, sekalipun seseorang tersebut tidak bekerja pada orang lain atau instansi pemerintah maupun swasta, ucapan untuk meminta sesuatu yang lebih menjelang lebaran adalah “THR-nya Bos!!!
Persoalan yang membelit seorang kawan sebagai pegawai negeri salah satu Perguruan Tinggi adalah ketika dia tidak mendapatkan THR yang lebih, karena jumlah kehadirannya kurang dari 50%, maka tidak mendapatkan THR dan pengurangan uang lauk pauk; sebuah keputusan yang dibuat pimpinan berdasarkan rapat senat. Lebih dari itu, pun uang lauk pauk tidak dibayar full tetapi juga dihitung berdasarkan kehadiran pada catatan absen di bulan Juli.
Saya katakan pada teman itu. Bukankah di bulan Juli musim liburan pasca Final Test, termasuk memeriksa tugas di rumah? Atas dasar apa hak-hak pegawai untuk mendapatkan THR harus diukur dari absensi kehadiran pada bulan Juli? Bukankah THR harapan besar bagi PNS untuk menyenangkan keluarga di rumah dan menjadi tanggung jawab institusi? Dimana kearifan berpikir pimpinan dan anggota senat seakan memahami kolega seperti musuh? Apa artinya bulan-bulan sebelumnya telah mengabdi harus dihapuskan oleh kehadiran bulan Juli? Lalu bagaimana dengan pegawai yang sudah tua dan jarang masuk karena harus naik taksi setiap ke kampus?
Saya katakan pada teman, sebenarnya wakil anda di senat yang ikut dalam pengambilan keputusan perlu mendalami kembali Mata Kuliah Sistem Politik yang membahas soal fungsi senator sebagai representative para dosen, kemudian mendalami kembali mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar untuk mengkonstruksi kepekaan sosial terhadap sekitar, sehingga kasus THR yang lemah sensitif kearifan ini bisa dihapuskan.
Rupanya kasus THR seperti dialami teman ini justru lebih memilukan dibandingkan dengan soal sahur, sekalipun sahur soal ‘ kulir” bangun pagi-pagi. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan kebaikan hati pimpinan tentu tidak sekadar mendapatkan THR yang patut, layak dan proporsional, tetapi juga mendapatkan parcel untuk menyenangkan anak isteri sebagai menyambut kegembiraan di Hari Raya.
Kasus teman ini, bukannya menjadikan Ramadhan dan 1 Syawal sebagai perjuangan mendapatkan kemenangan dan berbagi kegembiraan, justru melahirkan dendam dan lemahnya partisipasi dan motivasi kerja karena ketidakarifan pimpinan dan petinggi pengambil keputusan.
Jadi soal THR bagi karyawan PNS, karyawan swasta, termasuk petugas parkir atau bukan sama sekali memiliki orientasi yang sama untuk merayakan kecukupan dan kesenagan di Hari Raya. Barangkali tidak sedikit perkumpulan karyawan bisa melakukan demonstrasi jika mendapatkan perlakukan tidak adil dan tidak arif seperti kasus teman tadi. Lalu bagaimana mereka seperti petugas parkir dan bukan sama sekali, apakah juga melakukan demo?
Saya kira berdemonya paling tidak di dalam hati, dengan doa. Boleh jadi bisa dengan doa memohon kepada Tuhan mengetuk hati para dermawan untuk bermurah hati dengannya, atau bisa jadi doa kepada Tuhan untuk memberikan “peringatan” kepada orang yang kikir atau para pengambil keputusan yang kontra hajat orang banyak. Saya kira momentum Sahur dan THR bagian dari lika-liku kehidupan untuk memastikan kita melakukan kesalehan sosial termasuk kepada rakyat jelata. Kata Mario Teguh, tidak sulit kok untuk menjadi manusia yang berkualitas.!!!(Idabul Mata Banua, 25 Agustus 2011)

No comments: