Monday, December 12, 2011

Pulau Kembang

Oleh: Taufik Arbain
Semua orang pasti mengenal dengan Pulau Kembang, pulau kecil yang berada di depan Muara Kuin di tengah Sungai Barito. Namun, pulau ini sebenarnya dikenal sebagai pulau tempat berhuninya margasatwa warik dan bekantan dengan rerimbunan pohon rambai. Karena banyaknya orang yang berkunjung ke Pulau tersebut, maka akhirnya pulau tersebut dicanangkan sebagai tujuan wisata. Entah kapan?

Saya menduga, semula pulau tersebut tidak ada kaitannya dengan pariwisata. Bagi orang Banjar apa yang menarik dari Pulau itu. Melihat warik, bekantan dan rerimbunan pohon rambai biasa. Melihat pedagang hilir mudik dengan kelotok dan perahu jukung berkumpul di sekitar muara kuin juga biasa. Kecuali sekarang, generasi Banjar kemudian orang asing mengangap hal sebagai sesuatu yang eksotik dan dalam pandangan Pemerintah menjadi bagian dari ranah kewisataan, maka dijadikanlah pulau yang semula tempat orang datang “ berhajat/nazar” itu menjadi tempat wisata.
Sekitar umur 8 tahun, saya teringat almarhum ayah mengajak bersama keluarga rombongan naik kapal menuju pulau kembang. Nenek saya membagikan pisang kepada sekelompok kera. Sebagai keluarga yang sederhana, ternyata hadir ke pulau itu bukan untuk berwisata atau menghibur diri, tetapi tidak lebih dari keinginan nenek yang punya hajat dan seterusnya memiliki ‘sesuatu tersendiri’ dengan pulau itu. Demikian yang saya pahami tentang pulau kembang.
Lalu sekarang ramai, pulau tersebut tidak sekadar dikunjungi, tetapi diperebutkan dan dipinang-pinang. Ada persoalan menjadikan pulau tersebut sebagai tempat tambat perahu, bahkan ada yang ingin meminta Pulau Kembang yang masuk dalam administrative wilayah Batola menjadi bagian Kota Banjarmasin.
Ada dua tafsir atas hal ini; Pertama, boleh jadi Pemko Banjarmasin kurang memahami bahwa kada gagampangan mengambil pulau bagian dari wilayah lain, karena hal tersebut berkaitan dengan Undang-Undang yang mengatur batas wilayah. Sekalipun memiliki tujuan baik hendak mengelola secara professional atau bahkan menjadikannya Ruang Terbuka Hijau. Untuk tujuan terakhir ini , saya kira harus melihat regulasi kategori pulau kembang apakah memang dijadikan sebagai hutan margasatwa atau bisa peruntukkan RTH.
Tafsir kedua, bisa jadi ada semacam kritik atas pengelolaan pulau tersebut yang dianggap tidak professional, kumuh dan sangat tidak mendukung dalam konteks kepariwisataan. Bahwa selama ini Pemkab Batola nampaknya belum mampu memantau pihak swasta yang mengelola menjadikan pulau kembang memiliki nilai lebih dan keberartian bagi publik, sebagai asset publik yang diperuntukkan bagi kepentingan publik.
Kita berpendapat, jika tafsir pertama sangat tidak memungkinkan bagi Pemko Banjarmasin, boleh jadi tafsir kedua menjadi otokritik bagi Pemkab Batola untuk segera membenahi keberadaan Pulau tersebut. Bagaimana pun Pulau Kembang adalah asset yang relative potensial dikembangkan sebagai pulau yang berfungsi ganda, yakni sebagai hutan margasatwa kelompok warik dan bekantan, juga sebagai tujuan wisata dan “pehajatan dan pernazaran” orang Banjar, sehingga pulau tersebut tidak menjadi lirikan untuk sesuatu yang kontra produktif dengan harapan kewisataan, yakni tempat tambat kapal-kapal.
Pertanyaannya, adakah keinginan Pemkab melakukan rehabilitasi terhadap keberadaan Pulau Kembang tersebut, termasuk menata ulang kerjasama dengan pihak swasta yang mengelola pulau tersebut. Jangan-jangan karena adanya keingian Pemko Banjarmasin yang berencana mengambil dan mengelola dengan professional baru terpikir dan tahu tentang Pulau Kembang. Entahlah!! (idabul, Mata Banua, 5 Desemmber 2011

No comments: