Monday, December 12, 2011

Manajemen Stategik Penanganan Bencana dan Keterlibatan Publik

Oleh: Taufik Arbain

“Gaiga wa wasureta koro ni yate kuru”
“ bencana itu biasanya datang pada saat yang paling tidak kita duga”
( Pepatah Orang Jepang)

Pengantar
Peradaban dan globalisasi saat ini membawa dampak yang multiproblem, ianya tidak sekadar mempertontonkan kemajuan teknologi informasi maupun gaya hidup manusia, komunitas bangsa, tetapi juga mempertontonkan efek lain yang luar biasa, seperti kegiatan pengurangan asset modal alam. Thomas Vinod (2000) salah satu ahli kebijakan pembangunan mengingatkan bahwa efek globalisasi yang mengedepankan kepentingan manusia yang berlebihan mendorong pengeksploitasian sumberdaya alam, sehingga kegiatan pengurangan asset alam itu tak terkendalikan.

Fakta bencana alam seperti banjir, tanah longsor, perubahan iklim, kebakaran lahan, puting beliung, gempa adalah bagian dari efek kegiatan tak terkendali eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dimana manusia di bumi dihinggapi masalah yang justru menyebabkan penghilangan kenyamanan hidup, kualitas hidup bahkan nyawa manusia. Efek lanjutan dari bencana alam mendorong terjadinya konflik sosial, persaingan hidup antar komunitas dan entitas bangsa hingga ia menjadi bencana sosial.
Inilah problem nyata dihadapi manusia saat ini, termasuk Indonesia sebagai Negara berkembang yang menjadi bulan-bulanan kelompok kapital untuk mengeksploitasi sumberdaya alam yang menyebabkan terjadi proses pemiskinan penduduk dan mengancam keselamatan jiwa karena bencana alam maupun bencana sosial.
Fakta lain, perilaku korupsi dalam birokrasi pemerintah termasuk swasta mendorong pada pengabaian keselamatan publik. Pembelian alat-alat transportasi yang berkualitas rendah (barang bekas), pembuatan infastrukstur jembatan, jalan dan fasilitas publik yang di-mark up menyebabkan pelemahan terhadap kualitas asset yang dimiliki. Padahal semua asset tersebut peruntukkannya bagi kepentingan publik, kenyamanan dan keselamatan publik. Maka wajar saja jika sering didengar peristiwa bencana non alam (human error) seperti kejatuhan pesawat, kebakaran kapal termasuk runtuhnya jembatan yang megah
Pertanyaan mendasar adalah; pertama, apakah menghadapi masalah bencana alam, bencana non alam (kecelakaan), dan bencana sosial hanya diantisipasi pada ranah teknis pertolongan dan penyelamatan saja? Kedua, Apakah upaya pencarian dan pertolongan terbatas pada musibah atau bencana yang disebabkan oleh kecelakaan pelayaran dan penerbangan? Ketiga, bagaimana mengembangkan keterlibatan publik dalam mengantisipasi bencana/musibah termasuk penanganannya? Dan keempat, apakah kesadaran terhadap bencana hanya diantisipasi dengan cara memahami managemen dan teknis penyelamatan, tanpa mempersoalkan hulunya? Inilah saya kira pintu masuk dalam memahami managemen bencana dalam perspektif keterlibatan publik dan kebijakan publik. Sebab penanganan bencana yang selama ini terjadi di Indonesia tidak bisa berharap banyak dengan kelembagaan non permanen yang tidak professional.

Kelembagaan Profesional : Langkah Strategis Pemerintah
Bencana yang selama ini kerap terjadi di Indonesia tidak bisa berharap banyak dengan kelembagaan non permanen dan tidak professional. Sebab penanganan bencana yang dilakukan secara tidak professional terkadang tidak sekadar mendorong pertambahan masalah tetapi juga mengarah pada bias penanganan. Harapan upaya penanganan bencana dilakukan oleh satuan professional seperti Badab SAR dan pelibatan masyarakat, sering tertutupi oleh penanganan bencana yang berbasis partai politik. Fakta ini sebenarnya yang menjadi salah satu faktor kontributif lemahnya penanganan bencana dalam konteks pelibatan publik.
Disamping itu penanggulangan bencana selama ini masih parsial, sektoral dan terbagi-bagi. Inilah salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari upaya penanggulangan bencana yang mengindikasikan perlunya kebijakan dasar yang baik untuk mengatur fungsi dan peran dari para pelaku penanggulangan bencana termasuk pengembangan dan perluasan peran dari lembaga yang ada seperti Badan SAR.
Hadirnya Pemerintah lewat kebijakan pendirian Badan SAR yang kemudian melakukan perluasan dan pengembangan peran, adalah langkah responsive akan kemungkinan terjadinya bencana alam, non alam dan bencana sosial yang melanda negeri ini. Kebutuhan bantuan cepat dan tepat adalah hak publik untuk mendapatkan bantuan segera dengan penanganan pelayanan yang prima. Kebijakan pemerintah yang sifatnya hanya merespon persoalan jangka pendek dalam penanganan bencana bukanlah solusi yang baik dan tidak memberikan daya tahan terhadap pelibatan masyarakat lebih jauh, tetapi justru menjadikan peran lembaga formal seperti Badan SAR, bukan bagian dari masyarakat, lebih-lebih mereka yang tinggal di zona rawan bencana.
Pandangan ini hendak memberikan pemahaman bahwa perumusan visi lembaga professional seperti Badan SAR tidak terpaku pada ranah teknis sebagaimana diatur dalam pasal 7 tentang perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian dalam konteks bencana, tetapi melibatkan aspek-aspek sosial dan kultural. Hal Ini ingin melihat prinsip “daya guna “ masyarakat untuk menyadari potensi yang mereka miliki dalam melakukan antisipasi bencana dan penanganan bencana itu sendiri. Langkah ini sebenarnya mencoba mendorong masyarakat melakukan gerakan melek bencana; antisipasinya dan penanganannya.

Kehadiran Badan SAR dalam pengembangan perannya harus mendorong gerakan masyarakat yang meliputi bagaimana mengintegrasikan peran masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan bencana, penanganan bencana, langkah siaga bencana, tanggap bencana, dan pemulihan bencana. Setidaknya hal demikian memperlambat sikap dan perilaku masyarakat (mainset) menjadikan satuan SAR hanya sebagai tontonan heroik seperti di televisi. Dalam konteks tataran elit, Badan SAR juga mengembangkan peran dalam mengkampanyekan kesadaran elit yang pro dan sensitif terhadap kebijakan penyelamatan asset alam dan penanganan bencana serta kebijakan antikorup terhadap penyediaan layanan infrastruktur publik yang berkualitas sebagai antisipasi persoalan hulunya.

Jadi pengorganisasian satuan-satuan penanganan bencana seperti Badan SAR merupakan responsive Pemerintah yang memberikan rasa aman dan nyaman dari kemungkinan terjadinya bencana dan sebagai perwujudan kekuasaan pemerintah kepada perlindungan sebagai hak azasi. Disamping itu, lebih jauh sebenarnya harus terus melakukan upaya kemitraan dan partisipatif publik dimana penanggulangan bencana tidak hanya sebagai tanggung jawab pemerintah semata tetapi keterlibatan masyarakat lewat strategi manajemen resiko bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk management). Dalam kaitan ini, semua aspek penanggulangan bencana, mulai dari kebijakan, kelembagaan serta mekanisme harus membuka akses untuk peran serta masyarakat luas, serta dunia usaha. Inilah sebenarnya isu-isu strategis yang dikenal dengan Good Governance.

Untuk itu perlu sekali semua pihak memiliki perubahan paradigma dalam melihat bencana sebagai agenda penting dalam menjawab tantangan bencana yang kemungkinan rentan terjadi sebagaimana paparan sebelumnya berkaitan dengan fakta global dan kinerja pemerintahan/birokrasi hari ini. Bahwa perlu ada pergeseran paradigma dalam memahami persoalan bencana. Pertama, penanggulangan bencana jangan terpaku pada respons kedaruratan (emengency response) dimana langkah ini menunjukkan ketidaksiapan penanganan dan memberikan rasa tidak aman publik. Pandangan Usfomeny (2007:4) bahwa dalam kerangka mereduksi risiko bencana yang lebih besar (disaster risk reduction), upaya penanggulangan harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi kesiap-siagaan/mitigasi, tanggap darurat serta rehabilitasi/rekonstruksi. Cara pandangnya bukan lagi bagaimana melakukan respon kedaruratan, tetapi bagaimana melakukan manajemen risiko sehingga dampak yang lebih merugikan dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali.
Kedua, Political will pemerintah dalam produk kebijakan. Pandangan ini berkaitan dengan kemauan pemerintah di daerah memberikan dukungan dan komitmen politik dalam penyediaan anggaran yang pro terhadap bencana dan alokasi anggaran pembangunan dan penyediaan infrastruktur yang berorientasi pada pengurangan resiko bencana dalam perencanaan pembangunan daerah. Sebab bencana jangan dipandang sebagai musiman yang juga diiringi dengan satuan penolong musiman. Kemudian alokasi anggaran dalam APBD; didedikasikan untuk menyusun suatu rencana aksi daerah (RAD) penanggulangan bencana sebagai turunan dari rencana aksi nasional (RAN) sebagaimana diatur Pemerintah Pusat.
Ketiga, institusional. Badan SAR dan satuan-satuan lainnya yang memiliki peran sebagai penyelamat, pencari dan penolong bencana adalah kelembagaan yang perlu dilakukan penguatan (capacity building). Penguatan kelembagaan dimaksudkan tidak sekadar pada ranah penyediaan peralataan teknis, pelatihan dan workshop bagi anggota, penyediaan anggaran, tetapi melakukan koordinasi antar jaringan. Sebab ketika terjadi bencana banyak kelembagaan/ad-hoc yang memainkan peran penolong melakukan gerakan-gerakan sporadis. Fakta ini terkadang menyebabkan gangguan dan kelambatan penanganan dari satuan professional, apalagi kehadiran satuan-satuan dimaksud adalah satuan yang bermotif politik, sehingga sering mengabaikan pihak yang memiliki otoritas komprehensif dalam penanganan bencana.
Keempat, integritas (keterpaduan), pandangan ini dimaksudkan bahwa masalah bencana tidak terbatas dipahami pada makna; apa yang terjadi, tetapi mengapa terjadi dan bagaimana menjawab mengapa terjadi, bukan sekadar menjawab apa yang terjadi. Ini adalah merekonstruksi cara berpikir penanganan hulunya. Sekalipun Badan SAR bukan lembaga yang memiliki otoritas kuat kearah konstruksi itu, namun paradigma perbaikan bangsa ini perlu semua pihak melakukan transformasi morality values, tidak terbatas pada teknis penanganan. Perlu ada upaya-upaya penyadaran-penyadaran dan sosialiasi kepada masyarakat berkaitan dengan peran dan fungsi Badan SAR, bidang yang ditangani, tanggungjawabnya, kemitraannya dan pemahaman antisipasi dan penanganan bencana kepada masyarakat. Lebih jauh pandangan ini menegaskan setiap upaya pertolongan yang dilakukan dari pihak manapun tidak ditinggalkan begitu saja pasca bencana, tetapi ada upaya penyadaran-penyadaran antisipasi dan penanganan bencana.
Kemitraan dengan masyarakat ini setidaknya sebagai langkah berbagi informasi, konsensus dan pengambilan kesepakatan bersama, kolaborasi, berbagi penguatan dan resiko, pengumpulan relawan dan anggaran. Upaya ini merupakan cara agar masyarakat merasa bagian dari satuan-satuan penolong, termasuk Badan SAR sebagaimana kehadiran Satuan Pemadam Kebakaran yang merakyat bagi masyarakat Kalsel. Bahwa kehadiran Badan SAR sebagai produk regulasi dari Pemerintah bukanlah satuan elit dan asing bagi publik dan hanya dijadikan sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam penanganan dan pertolongan bencana. Tentu saja ini belajar dari pengalaman Jepang dalam menangani bencana yang semula hanya berorientasi pada peran satuan milik pemerintah, yang kemudian berubah paradigmanya dengan pelibatan dan kerjasama masyarakat. Pengalaman Jepang telah mengkonstruksi dua pendekatan yakni, pendekatan top down berupa perlindungan dan penyelamatan dan botton up berupa pemberdayaan masyarakat itu sendiri.



Penutup
Setidaknya sedikit pemikiran diatas sebagai bentuk upaya bersama-sama dalam menangani persoalan bencana alam, non alam dan bencana sosial. Bahwa pikiran tersebut untuk menegaskan penanganan bencana tidak harus dibebankan kepada pemerintah dalam hal ini satuan bentukan pemerintah seperti Badan SAR, tetapi harus memiliki bagian dari masyarakat itu sendiri. Selebihnya upaya penyadaran antisipasi bencana sangat penting disosialisasiakan terhadap persoalan hulunya dan cara-cara penanganannya. Menyelamatkan umat manusia dan bencana dan kematian serta melibatkan masyarakat dalam menangani bencana itu sendiri adalah sebenar-benarnya pekerjaan mulia dan bagian dari jihad. Amin

Banjarmasin, 29 November 2011.
Disampaikan pada Kegiatan Rakor SAR XVI Banjarmasin Hotel A Banjarmasin, 1 Desember 2011

No comments: