Thursday, October 3, 2013

Perda Retribusi Miras

Oleh: Taufik Arbain
Nampaknya genderang perang antara eksekutif dan legislative Kota Banjarmasin mulai ditabuh. DPRD Kota tetap “ ngotot” untuk tidak menyetujuai raperda retribusi miras dengan alasan tidak mau anggaran pembangunan Kota Banjarmasin dari “uang haram”.
SEderhananya uang yang didapatkan dari kegiatan haram atau membuat dampak warga semakin mudah mengkonsumsi minuman keras secara mudah.
Malah dewan melakukan tindakan sebaliknya dengan mengedepankan raperda yang pengendalian peredaran miras itu sendiri. Tentu saja controversial dengan keinginan pemkot yang mengharapkan pengendalian justru mengedepankan adanya restribusi yang diterima sebagai PAD. Sebagaimana diungkapkan Sekdakot H Zulfadli Ghazali, bahwa jika DPRD membatalkan raperda tersebut, maka hal itu berdampak pada proses pengawasan yang sulit dikendalikan termasuk melakukan penindakan. Bahkan Pemkot tidak ada maksud mengambil manfaat dengan adanya retribusi tetapi tujuannya untuk mengontrol.
Lho, kok begitu? Begini saja, hampir 90% naskah akadamik yang mengedepankan kajian tentang pungutan, pendapatan, retribusi dan apa pun namanya yang berorientasi pada kepentingan pemanfaatan kegiatan dengan hasil akhir adalah PAD, substansinya adalah proyeksi pendapatan dari aturan yang dibuat dan dibebankan pada objek kegiatan.
Contohnya soal retribusi miras. Logikanya adalah semakin tingginya peredaran semakin tingginya pendapatan, kemudian semakin rendah peredaran miras semakin rendah pendapatan. Nah, bukankah tujuan Pemko menekankan substansi retribusi dalam raperda itu? Maka pilihan logikanya adalah semakin tingginya peredaran semakin tingginya pendapatan sebagai tujuan akhir. Adalah nonsen jika alasan mengedepankan pengawasan atas peredaran, bukankah semakin diawasi peredaran tujuannya untuk pengurangan peredaran yang berefek rendahnya pendapatan retribusi?
Justru saya kira DPRD malah sebaliknya, tidak sekadar melihat aspek penerimaan “uang haram” dari kegiatan haram, tetapi lebih jauh dampak dari kebijakan itu sendiri. Pemko nampaknya hanya berpikir pada batasan mendapatkan PAD dari retribusi saja titik, tetapi tidak melihat dari tujuan utama pemerintah memberikan rasa nyaman warga. Pemko masa bodoh apakah warga terlibat dalam patologi sosial, tindak kekerasan akibat minuman berakhohol atau tidak. Ini saya kira salah kaprah cara berpikir pihak Pemko yang tidak melihat hadirnya kebijakan berdasarkan masukan publik dan rasa keadilan publik dan kepatutan sosial sebagai mainstream pondasi sebuah kebijakan.
Saya kira para pejabat di pemko, sekali lagi memahami visi-misi sang Walikota bagaimana janji politiknya membangun Banjarmasin yang beradab dan dengan nuansa religious termasuk diusung partai berideologi agama yakni PBR dengan tampilan dukungan para ulama dan habaib pada masa kampanye.
Namun sayangnya, banyak sekali kebijakan yang dibuat bertabrakan dengan visi dan misi Walikota. Pertanyaannya apakah Walikota paham dengan visi dan misi yang dibuatnya, ataukah birokrat tidak mampu menterjemahkan ataukah memang sengaja karena ada kelompok kapital yang punya kepentingan atas bisnis mereka baik soal boleh bukanya THM maupun goalnya Raperde Retribusi miras ini. Ini yang oleh ahli kebijakan dan politik disebut dengan adanya oligarki kekuasaan dimana pola relasi antara penguasa, pengusaha saling berlirikan dengan aksi underground economy.
Jadi saya kira, kalau pun ada produk kebijakan berkaitan dengan soal miras, justru fokusnya pada soal pelarangan dan pengendalian peredaran saja, bukan soal retribusi. Sebab perda retribusi miras malah tujuan utamanya memberikan ruang yang luas bagi peredaran miras itu sendiri, sementara hajat publik bahkan ormas-ormas yang ada bukankah pada masalah peredaran yang berdampak negatif selama ini? Jadi siapakah sebenarnya yang telah “menggoda” untuk ngotot adanya Raperda Miras ini? Rakyat Banjarmasin atau pengusaha? (Idabul Mata Banua, 8 Agustus 2011)

No comments: