Thursday, October 3, 2013

Langkah “genit” Menjemput 2014 Catatan Tantangan dan Harapan PPP Kalsel

Oleh Taufik Arbain
Pengantar

Samuel Huntington(1991) telah membentangkan pikiran cerdasnya tentang civil society, bahwa di banyak Negara, civil society dianggap sebagai aktor sentral dalam proses “demokrasi gelombang ketiga”. Dalam bahasa lain, kebuntuan politik dan peran partai dalam membawa perubahan dan pencapaian kebaikan masyarakat sebagaimana konsep partai politik dianggap tidak memberikan banyak manfaat luas bagi publik, sehingga kekuatan civil society dimaknai dalam promosi dan transformasi demokrasi di dalam masyarakat.


Tidaklah mengherankan akhirnya banyak partai politik mengambil inisiasi dan adaptif terhadap trasformasi nilai-nilai dalam civil society ini menjadi bagian dari gerakan baru partai politik atas tren pandangan ini. Kehadiran konsep platform partai Nasionalis Religius salah contoh adaptasi terhadap tren civil society sesuai dengan “mass culture” yang ada di Indonesia. Faktanya adaptasi terhadap perkembangan global yang dilakukan oleh partai politik setidaknya mampu memberikan prestasi perolehan suara termasuk mempertahan suara konstituen.

Gerakan merebut “mass culture” lewat adaptasi religius adalah pukulan telak bagi partai berbasis massa muslim. PPP, PKB dan PKS diantara dianggap sebagai saingan signifikan untuk ditumbangkan lewat gerakan adaptif yang didukung oleh tren civil society sebagai bagian dari demokratisasi bangsa ini.

Prediksi provokatif Syamsuddin Haris misalnya bahwa keberadaan parpol Islam akan tamat di pemilu 2014, sebenarnya sebagai sebuah kritik signifikan untuk melihat perkembangan politik di masyarakat. Pemahaman kuantitas penduduk muslim Indonesia 85 %, tidak bisa lagi dijadikan dasar untuk melakukan tumpuan harapan bagi partai Islam, demikian pula di Banua yang penduduknya mencapai 95 % muslim, tidak bisa dijadikan sandaran potensial merebut suara untuk pemilu 2014. Transformasi pola pikir modern dan urbanize menjadikan konstituen lebih terbuka melihat paham-paham dan jargon partai lain yang lebih rasional. Pikiran ini sebenarnya terus bergerak dan berkembang untuk melakukan kritik pada institusi formal dan informal selama ini yang dipelihara dalam menyokong kemenangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kalsel.

Langkah Strategis dan Politik Pencitraan

Dalam tulisan ini saya ingin membentangkan beberapa pemetaan tantangan dan harapan partai politik lokal dalam kerangka menjemput pemilu 2014. Ini sekali lagi untuk menegaskan bahwa perbedaan relatif signifikan pemetaan PPP pusat dengan PPP banua. Jika banyak anggapan bahwa PPP pusat disibukkan dalam tataran latar belakang pengurus pusat sebagai warisan orde baru adalah penyumbang masalah dalam perolehan suara, saya kira justru di PPP Banua tidak mendapat warisan demikian, sehingga memudahkan dalam pencapaian-pencapaian strategi yang bersifat eksternal partai.

Ada 7 catatan strategis dalam mempetakan tantangan kedepan sebagai sebuah langkah “genit” PPP Kalsel; Pertama, PPP Banua tidak perlu lagi terlena oleh anggapan adanya massa fanatik, penyusupan symbol ideology yang didasarkan pada geografis politik aliran saat ini sedang dan telah dikembangkan oleh partai berhaluan nasionalis . Hadirnya Majelis Zikir SBY oleh Partai Demokrat misalnya sekalipun hal itu berkaitan dengan kepentingan Pilpres, dan lahirnya Baitul Muslimin Indonesia (BMI) oleh PDIP, adalah gerakan-gerakan adaptif yang dikembangkan kompetitor hingga berlangsung di banua yang diikuti dengan rasionalitas “gerakan” harapan kesejahteraan.

Tren adapted “mass culture” ini, telah dipetakan pihak kompetitor untuk mengimbangi perlawanan atas hati konstutuen. Hasil pemilu dan pemetaan konsistensi elektabilitas konstituen maupun pilihan konstituen atas Calon Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota menegaskan konstituen tidak lagi terperangkap dalam pendekatan ideology yang kaku, tetapi melihat aspek rasionalitas pendekatan-pendekatan baru. Untuk itu, perubahan mainset kader berorientasi pada gerakan inklusif, yang tidak terpaku pada merek Islam. Jika selama ini PPP Kalsel pada gerakan pendekatan lama adalah perlu ditakar ulang kembali untuk memulai berorientasi pada pendekatan kebangsaan dan isu rasionalitas harapan kesejahteraan, sebagaimana model yang diterapkan oleh kompetitor dengan melihat aspek geogafis politik. Sebab paradigma bagi partai competitor nasionalis adalah penduduk muslim bukanlah milik partai Islam, tetapi partai nasionalis dengan pendekatan Islam bisa merebut simpati konstituen.

Kedua, boomingnya nakhoda partai dari kelompok kapital banua saat ini adalah tantangan berat dalam perebutan suara 2014. Indikator pemimpin partai diranah lokal justru tren mendapatkan peringkat pertama adalah seseorang yang memiliki sumber financial yang cukup untuk membiayai partai, dibandingkan dengan kemampuan manajerial, jaringan dan pengalaman kader. Akibatnya partai-partai kompetitor mengembangkan proses defektif democracy (pencacatan proses demokrasi).

Pemetaan geografis politik atas kawasan-kawasan yang memilik competitor jenis demikian, bahwa mempetakan profile konstituen lewat keberagamaan, usia pemilih dan pekerjaan tidaklah cukup. Ianya harus dilakukan pengkajian mendalam untuk melumpuhkan symbol-simbol dan aksi-aksi yang dimainkan partai kompetitor, termasuk menafsirkan ulang jargon-jargon kampanye yang berbau syariat. Pendekatan kepada blok-blok demokratik yang melakukan penentangan terhadap defektif democracy ini penting untuk dilakukan sekaligus menjadikan blok itu sebuah frontline menyerang kompetitor lawan.

Ketiga, Pencitraan PPP yang berkharisma dan berkuasa hampir 2,5 priode kepemimpinan Kepala Daerah adalah investasi politik pencitraan yang harus tetap dipelihara kader partai. Dengan bahasa lain, sekalipun PPP Kalsel dipahami sebagai partai tradisional dengan segala pendekatan dan gerakan, telah mampu memberikan kontribusi kepemimpinan banua sekelas kelompok-kelompok nasionalis yang dianggap lebih progresif dalam persepsi publik Kalsel selama ini. Ini juga harus dimaknai perilaku elit-elit parpol yang harus tetap santun dan pro kepentingan rakyat, terhindar dari pencederaan amanah.


Keempat, Pengembangan aksi-aksi sayap-sayap PPP berorientasi pada non kader sebagai sebuah gerakan inklusif sehingga tidak termaknai sebagai kegiatan politik, tetapi kegiatan kemasyarakatan. Ini dimaksudkan untuk melakukan inisiasi atas dialog-dialog lintas golongan dan profesi terhadap masalah-masalah kebangsaan dan kebanuaan. Gerakan ini mencoba menyaingi gerakan PKS yang berorientas ganda, yakni gerakan dakwah dan gerakan kemasyarakatan untuk menyembunyikan orientasi simpatik pemilih. Pilihan atas aksi ini untuk melalui pergulatan pada basis massa pinggiran dan tradisional sebagai bentuk membangun pencitraan baru dan perilaku pemilih. Langkah ini sekaligus mengkomunikasikan kinerja dan manfaatnya kepada publik yang lebih luas.

Kelima, Filterisasi kader baru PPP tetap mengedepankan ekslusifisme. Sorotan public atas banyak figure yang melakukan lompat pagar menjadi image negatif terhadap kharisma partai. Penerimaan kader baru “sisa orang lain” ini, justru menjadi benalu dan persepsi partai yang mengedepankan ‘siapa membayar apa, dan dapat apa”. Lebih dari itu terjadi proses penghambatan membangun tokoh-tokoh baru kader yang populis, akseptabel dan elektabel.

Keenam, Globalisasi yang menawarkan instrument komunikasi massa sebagai sebuah ujung tombak membangun mainset dan perilaku pemilih berbagai strata sosial. Ideologi, pembelajaran politik, dan aksi-aksi partai dalam bingkai komunikasi massa penting untuk dilakukan kader partai. Untuk itulah keberanian memainkan manuver-manuver yang berpihak kepada konstituen saat ini memiliki pengaruh signifikan terhadap pencitraan partai dan personal kader partai. Langkah ini mencoba menerobos aksi-aksi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh populis pada partai competitor dalam memaknai masalah kebangsaan dan kebanuaan.

Ketujuh, kepemimpinan PPP Kalsel harus memasuki pada tahapan penguatan gerakan, arah dan misi partai sertai kapasitas kader pengurus. Penentuan pilihan terhadap pimpinan partai kedepan jangan terpaku pada figure yang baru menjangkau mengurusi manajemen dan organisasi serta pengembangannya, sehingga habis energy tanpa memperhitungkan jangkauan dan strategi kedepan. Dengan kata lain dibutuhkan pemimpin PPP yang handal dan professional dan ahli strategi dalam mengakomodasi semua kekuatan dan paradigma baru partai.
Penutup

Tantangan PPP Kalsel setidaknya tidak terpaku pada gerakan-gerakan lama yang mengandalkan pada basis massa tradisional dimana factor globalisasi dan taraf pendidikan yang semakin baik, serta transformasi paham demokrasi memungkinkan mereka menentukan pilihan pilihan baru. Untuk itulah pemetaan terhadap masalah dan pengembangan politik pencitraan penting dilakukan oleh kader partai yunior, tidak terpaku pada kader senior saja.

Banjarmasin, 13 November 2010
Disampaikan pada Acara Rakorwil PPP Kalsel, Minggu 14 November 2010, Hotel Grand Mentari Banjarmasin

No comments: