Lepas Sandal
Oleh : Taufik Arbain
Teman saya mengeluh dan menceritakan pengalamannya ketika datang ke sebuah instansi pelayanan publik. Namanya Puskesmas. Di Puskesmas tersebut tertera tulisan, “ Sandal dan Sepatu dilepas”. Teman saya bersama orang-orang yang menunggu pelayanan di tempat khusus. Sementara para pegawai katipak-katipak bersepatu dan bersandal.
Cerita teman ini mengingatkan saya sewaktu di kampung. Tapi saya tidak “ngeh” soal balapas sandal ini! Saya mendapati orang-orang yang minta pelayanan di puskesmas di kampung ini rupanya mirip dengan di kasus di perkotaan. Waktu itu saya mengasumsikan karena orang di kampung sandalnya kotor. Ya….. mungkin sewaktu berangkat dari rumah ada tapalit-palit kotoran-kotoran. Biasalah di Kampung, sehingga aturan puskesmas mengharuskan lepas sandal dan sepatu.
Namun lucunya, kalau yang datang adalah kelompok pegawai semisal para guru atau pak polisi. Kada bapaculan sandal. Selain itu orang kampung antre di loket yang berbatas kaca, kaya beli tiket bis atau tiket bioskop. Teman-teman pegawai dari profesi lain. Tidak la yau!
Cerita teman saya tadi rupanya masih ada di saat pemerintah meneriakkan pelayanan publik yang prima bahkan lewat jargon good governance. Atau bahasa keren yang dipakai para narasumber dalam memberikan materi tentang pelayanan publik yakni “ utamakan sex” (service excellent).
Mengapa aturan di puskesmas mengharuskan lepas sandal dalam ukuran ruangan yang relatif luas? Sesuatu yang berbeda dengan institusi pelayanan publik lainnya. Meskipun wajar saja lepas sandal atau sepatu saat dilakukan pemeriksaan maupun mendiagnosa. Saya tertarik mencermati dalam perspektif birokrasi khususnya soal pelayanan publik.
Memang selama ini reformasi pelayanan publik tertinggal dibanding reformasi di dibidang lainnya seperti perubahan undang-undang pemilihan umum, undang-undang desentralisasi, undang-undang independensi hukum, serta undang-undang anti korupsi dan komisi anti korupsi, semuanya memberikan kemajuan dalam agenda reformasi.
Reformasi birokrasi berupa pelayanan publik masih menempatkan rakyat bukan sebagai pihak yang dilayani. Ukuran kinerja para pegawai telah terjadi reformasi birokrasi masih dipahami ketika tidak lagi ada keluyuran di pasar, selalu hadir ke dan pulang dari kantor tepat waktu, serta tertib administrasi pelaporan yang kesemuanya masih dalam ranah memberikan yang terbaik pada atasan atau institusi koordinatif di atasnya.
Sementara hal-hal yang bersifat pelayanan masih belum menunjukkan perbaikan. Masih berat memberikan senyum dan tekanan intonasi kalimat yang rendah ketika sedikit ada kekesalan dengan prilaku konsumen/masyarakat. Pelayanan masih menekankan pada aspek rutinitas yang subtantif, belum memberikan nilai lebih pada aspek emosional, simpati maupun empati bagi pelayanan publik.
Ironisnya, kualitas pelayanan yang prima ini bisa didapatkan masyarakat pada pelayanan pribadi (praktek pribadi). Mengapa layanan yang bisa dilakukan pada ranah pribadi tidak bisa diterapkan pada ranah institusi publik tempat mereka bekerja? Teman saya mendengar penjelasan ini langsung menyelutuk, “ Nggak laku nanti prakteknya!”.
Kasus lepas sandal di puskesmas perkotaan, tetapi para pegawainya menampaikan katipak-katipak bersepatu dan bersandal, adalah sesuatu yang ironis dengan asumsi masyarakat perkotaan yang datang ke puskesmas naik beca, ojek atau tidak terinjak kotoran. Dalam pandangan Max hal ini telah terjadi pertentangan kelas dimana kelompok burjois selalu diuntungkan dibandingkan dengan kelompok proletar.
Posisi masyarakat miskin yang datang di puskesmas diposisikan seperti zaman kolonialis yang menghiba pelayanan dengan sikap yang diskriminatif. Justru kalau masyarakat tanpa sandal kuman-kuman rentan masuk lewat kuku-kuku kaki. Apalagi mereka jarang atau kelupaan mencuci kaki pada saat pulang dari puskesmas atau sebaliknya. Misalnya keringat pasien yang menderita hepatitis terinjak pasien lain, rentan tertular. Emang yang mau sehat mereka aja!
- Belum lagi soal layanan seperti membeli tiket bis di box kaca. Padahal institusi swasta atau BUMN telah menerapkan layanan ala resepsionis hotel yang bertatap muka langsung. Kan cuma perlu meja dan kursi saja. Jadi kualitas layanan disini seharusnya dilihat dari indikator kepuasan yang diterima masyarakat dari optimalisasi yang dilakukan oleh penyedia jasa. Responsivitas sangat dibutuhkan yakni kemampuan intitusi dalam memahami kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan memahami sosial kultural sehingga mampu melakukan adaptasi dalam pelayanan yang terbaik. Perlu desain ulang pelayanan yang tidak diskriminatif meskipun sangat sederhana. Yang pakai sandal dan tidak pakai sandal adalah simbol kelas. Please deh yang bersandal!*** ( Idabul, Mata Banua, 12 Mei 2008)
No comments:
Post a Comment