“ Nasib Buruk ”ALRI Divisi IV
Oleh: Taufik Arbain
Bagi para pejuang di daerah ini, tanggal 17 Mei merupakan hari yang bersejarah dalam perjuangan merebut dan menyatakan diri rakyat Kalimantan tetap bersama Republik Indonesia . Ini adalah pernyataan penolakan atas dipecah-pecahnya wilayah Republik Indonesia menjadi bagian-bagian berserikat. Kalimantan tidak termasuk dalam serikat itu dari hasil Perjanjian Linggar Jati.
Momentum ini diakui para ahli merupakan bentuk pernyataan sikap pejuang banua dan kesetiaan terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan membuat berupa Proklamasi 17 Mei yang mempermaklumkan berdirinya Gubernur Tentara dari ALRI sebagai bagian dari Republik dan mempertahankan sampai titik darah penghabisan.
Tokoh sentral dalam perjuangan yang mengatasnamakan rakyat Kalimantan adalah Hasan Baseri. Para pejuang membuat bentuk-bentuk perlawanan bertubi-tubi bahkan seruan pemogokan kepada orang-orang banua yang bekerja di perusahaan Belanda. Belanda dengan tentara KNIL yang putera Indonesia menjadi serdadu Belanda kewalahan menghadapi para pejuang.
Selang enam bulan, ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dilebur menjadi Kesatuan Angkatan Darat Divisi Lambung Mangkurat. Pemerintah Soekarno melakukan demobilisasi tentara pejuang. Kada bisa mambaca, ampih jadi tentara dan kembali menjadi masyarakat.
Catatan Cornelis Van Dijk menyebutkan bahwa banyak para pejuang yang kecewa atas kebijakan Soekarno dengan langkah demobilisasi yang tidak adil. Pasalnya, tentara pejuang di banua “dirumahkan”, sementara tentara pejuang di Jawa yang kapasitas dan kapabilitasnya sama kada bisa membaca dikirim ke Kalimantan mengisi kouta kekosongan itu.
Pertentangan fakta ketidakadilan atas perjuangan ini merupakan cikal bakal terjadinya sikap pemberontakan para pejuang kepada republik. Apalagi kebijakan dan peran sentral Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Kalimantan Hasan Baseri diciutkan ruang lingkupnya menjadi satuan yang hanya menguasai wilayah kecil saja. Juga seluruh kebijakannya dicabut. Mayor Jendral Sukanda Bratamanggala yang merupakan mantan tentara KNIL pada masa perjuangan harus menjadi pimpinan tertinggi tentara di Kalimantan .
Kata pejuang banua, “ musuh batimbak, jadi bos saurang, pahit judulnya”. Aksi-aksi baagak para mantan tentara KNIL memanaskan perasaan dan melahirkan Anti Jawa pada masa itu. Penderitaan dirasakan para pejuang banua, hingga Ibnu Hajar alias Saderi harus melakukan perlawanan ketidakadilan ini kepada Republik.
Apakah Hasan Baseri tidak mengalami perlakukan buruk? Hasan Baseri peran sentralnya yang dirapuhkan, harus disuruh sekolah militer ke Mesir. Ternyata di sanapun sia-sia belaka. Seiring dengan itu kader tokoh sentral banua pun dicerai-beraikan ke berbagai daerah, agar tidak ada lagi sisa-sisa kewibawaan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Termasuk Ibnu Hajar dan kawan-kawan disekolahkan militer ke Yogyakarta yang ternyata tempatnya telah ditutup setahun yang lalu. Masa pemerintah pusat mengirim pejuang ke tempat sekolah yang ditutup? Tipuan yang menyakitkan!!!
Nasib dan perlakuan buruk ini benar-benar menjadi ujian ketabahan dan kesabaran bagi seorang Hasan Baseri yang ikhlas. Namun hantaman kembali mendera, ketika beliau mencalonkan diri menjadi Gubernur Kalsel tahun 70-an, ia pun kembali terjungkal oleh ketidaksolidan sesama orang banua yang lebih menjagokan Brigjen Subardjo. Hasan pun semakin terkucil dalam lingkungannya. Seorang yang kalah dan menjadi “anak yatim” dan tidak memberi banyak manfaat bagi orang-orang di sekitarnya.
Jadi menurut saya, memahami semangat 17 Mei tidak sekadar adanya pernyataan kesetiaan terhadap republik, tetapi orang banua mesti paham apa saja balasan bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap para tokoh dan pejuang banua. Dan apa saja yang dilakukan para penjilat-penjilat orang banua untuk mementingkan dirinya hingga mendepak teman seperjuangan.
Semangat 17 Mei penting juga untuk memahami perilaku-perilaku dan kehati-hatian atas kekuasaan pusat terhadap kepentingan-kepentingannya pada daerah yang telah direbut dan dipertahankan para pejuang. Termasuk mempertahankan alam lingkungan yang dengan mudah diserahkan dan tunduk pada perundang-undangan yang merugikan bagi kebijakan dan kepentingan rakyat di daerah. Pengalaman pahit para pejuang tidak perlu terulang lagi bagi generasi sekarang. Penjilat-penjilat pusat masa lalu tidak perlu ada lagi bagi generasi sekarang. Cukup sudah untuk hari ini “ tipuan-tipuan ketidakadilan masa lalu”. Tunjukkan orang Banua Bisa!!!! Jangan jadi penonton di negeri sendiri.*** (Idabul 19 Mei 2008)
No comments:
Post a Comment