Sunday, August 24, 2008

Pungutan PSB


oleh: Taufik Arbain

Disdik Tak Temukan Pungutan PSB, demikian judul berita Mata Banua, Jumat (8/8/2008). Dikabarkan bahwa Disdik benar-benar tidak menemukan adanya bukti pelanggaran yang dilakukan pihak sekolah baik dari SD, SMP maupun SMA mengenai pungutan siswa baru dan daftar ulang Kota Banjarmasin yang melanggar Peraturan Pemerintah (Permen).

Banyak orang benar-benar heran cara kerja Dinas Pendidikan Kota yang mengatakan fakta demikian. Padahal indikator adanya pelanggaran sudah cukup jelas dan dirasakan oleh masyarakat luas adanya pungutan yang selalu di atasnamakan hasil rapat Komite Sekolah. Kata teman saya, kelakuan demikian " kalu pina kapuhunan jua".
Pertanyaannya, apa yang mendasari pihak dinas melakukan kebohongan publik atas kasus ini. Mengapa pihak dinas tidak berkaca adanya banyak kasus yang masuk media cetak dan elektronik yakni adanya protes atas pungutan tersebut yang dilakukan sekolah-sekolah. Mengapa pihak dinas tidak berkaca pada fakta pengembalian dana yang dipungut diluar biaya atribut sekolah?
Atas penyataan ini, kita malah meragukan apakah pihak kejaksaan konsen untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini atau malah menguap begitu saja? Protes masyarakat atas adanya pungutan PSB, kemudian daftar ulang bagi siswa yang naik kelas menjadi momok yang angker bagi masyarakat khususnya penduduk miskin kota. Fakta inilah pula yang membuat Walikota geram atas kasus ini. Saya membaca adanya surat pembaca dan hot line di salah satu media adanya protes hal ini kepada Dinas Kota. Jawaban yang diberikan dinas justru tidak memuaskan dan berorientasi untuk melakukan pengecekan atas sekolah yang dimaksud. Malah yang terjadi justru menjadi juru bicara pihak sekolah yang melakukan kebijakan yang dianggap masyarakat memberatkan.
Pola pembiaran atas model kebijakan sekolah demikian sepertinya kerap dilakukan pihak dinas. Inilah yang menyebabkan kasus PSB dan daftar ulang selalu menjadi langganan masalah setiap tahun ajaran. Tetapi pihak dinas sepertinya tutup mata atas persoalan ini. Dinas Pendidikan Kota nampaknya belum memahami visi pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan pendidikan nampaknya dibawa ke arah aliran kapitalis, dimana masyarakat harus bayar lebih apabila ingin mendapatkan jasa pendidikan. Pembiaran kebijakan model pasar inilah akhirnya menjadi ruang pembenar bagi pihak sekolah melakukan pungutan-pungutan dan selalu berlindung di balik Komite Sekolah.
Saya mendapatkan pengalaman dari kerabat bagaimana suasana dilakukannya rapat komite dalam menggolkan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan sekolah. Orangtua siswa seperti diarahkan untuk menyetujui rancangan kebijakan sekolah yang tidak memungkinkan orang tua siswa menolak. Kemudian kebanyakan posisi pihak komite sekolah yang semestinya sebagai jembatan dalam menyelesaikan masalah sekolah justru seakan sudah menjadi perpanjangan sekolah. Mekanismenya menjadi keputusan prosedural.
Memang sekolah membutuhkan dana untuk melengkapi kebutuhan infrastruktur sekolah. Lalu jika merujuk ini, dimana tanggung jawab dinas?
Apakah hanya sebagai administratif dan rutin belaka yang dilakukan. Semestinya dinas dalam tataran ini harus menjembatani bagaimana warga kota mudah dan murah menyekolahkan anaknya. Bukan sebaliknya malah membiarkan pihak sekolah bacari saurang dalam melayani siswanya. Barangkali bagi dinas, jika sekolah ada inisiatif demikian, maka pihak dinas tidak perlu lelah memikirkan bagaimana aktifitas sekolah bisa jalan. Akibatnya dinas pun menjadi juru bicara pelindung atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan sekolah.
Dalam konteks ini dinas telah mencerca dirinya, di antara semua warga yang mafhum bahwa pungutan siswa baru dan daftar ulang itu benar-benar ada. Kejadian pengembalian uang yang dilakukan pihak sekolah seperti SMU Negeri 5, SD Negeri 2 Alalak dan SMP Negeri 30 Banjarmasin nampaknya tidak cukup bukti bahwa kasus itu benar adanya. Nampaknya mereka perlu ada kacamata yang benar. Kata teman saya berfatwa, " barang siapa yang mencurangi dunia pendidikan, samakan dirinya dengan koruptor dan harus dihukum". Memalukan memang, karena menzalimi orang-orang yang mau memintarkan anaknya.
Ini sama halnya bersikeras maksud "diganang kami" bukan berarti meminta bagian, padahal jelas-jelas ada tahapan menerima uang "ganang", kok mengapa tidak dikembalikan saja pada tahapan pertama uang "ganang" diserahkan. Memalukan! Kata teman, garigitan banar nah!**(idabul, 18 Agustus 2008)

No comments: