Sunday, September 7, 2008

Banjir Tala dan Tanbu

Oleh: Taufik Arbain

Seminggu terakhir hingga sekarang Tanah Laut dan Tanah Bumbu dihebohkan berita banjir hingga menewaskan penduduk yang terseret air bah. Tidak sekadar media cetak –elektronik lokal yang mengabarkan, bahkan hampir semua media cetak-elektronik nasional turut mengabarkan. Sebagaimana lazimnya pemberitaan yang menganut hukum 5W+1H,
maka pemberitaan sekadar deskriptif belaka apa yang terjadi, berapa kerugian dan langkah apa dilakukan, plus adanya ajang ”panggung kebaikan” dan ”panggung kedermawanan” pengusaha dan partai politik dalam membantu masyarakat yang tertimpa musibah banjir tersebut.
Namun demikian, kejadian banjir yang berlangsung setiap tahun, bahkan terkadang dalam satu bulan mencapai 3 – 4 kali apabila diikuti curah hujan yang tinggi, alamat badan masyarakat yang berada di kawasan DAS maupun daerah rendah tertimpa bencana yang merugikan baik perumahan penduduk, sarana publik hingga perkebunan dan pertanian tempat mata pencaharian penduduk. Nyatanya tidaklah memberikan pemikiran mendasar persoalan apa yang harus ditangani.
Pemerintah setempat hanya menangani hal-hal yang bersifat proyek antisipatif, bukan represif. Pemerintah lebih memilih kebijakan menangani pengerukan sungai akibat sedimentasi (pendangkalan sungai), rehabilitasi tanggul yang jebol, dan memberikan sumbangan perbaikan sarana-prasarana yang mengesankan pemerintah sangat dermawan (kebijakan populis) dan tanggap terhadap musibah yang menimpa masyarakat.
Kejadian musibah alam ini, justru menjadi panggung kedermawanan penguasa, bahkan pengusaha lewat dana CSR (coorporate social responsibility) serta para politisi sambil batajak bendera partai sebanyak-banyaknya. Saya berpikir, ini sama halnya ketika menjelang pemilu dan pilkada dimana para politisi yang ingin mengejar kekuasaan senang sekali dengan kemiskinan yang terjadi di sekitarnya. Sebab dengan kemiskinan tersebut dapat membeli suara masyarakat.
Kita berpendapat, tidaklah keliru dalam menangani apa yang harus dilakukan dalam meringkan penderitaan masyarakat. Cuma persoalannya ada informasi yang tidak diungkapkan ke publik bahwa kejadian banjir adalah disebabkan oleh kesalahan kebijakan berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam. Ironisnya, para penyumbang bantuan justru dari kelompok penguasa, pengusaha dan politisi yang serakah membabi buta mengeksploitasi sumber daya alam.
Ini yang saya maksudkan, bahwa persoalan di hulu dalam perspektif kebijakan tidak pernah dan tidak ada political will untuk diselesaikan. Alasan yang diungkapkan selalu aspek menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja mana? Tenaga kerja pendatang? Atau alasan PAD dan royalti? Tak seberapa dengan kerusakan yang menimpa dan kerugian material dan immaterial dialami oleh masyarakat. Bahkan orang miskinlah yang tertimpa musibah lebih awal.
Saya dan teman-teman diskusi kadang heran dan geram ada sekelompok orang di daerah ini suka mengumpulkan sumbangan-sumbangan dari pengusaha penghancur sumber daya alam (batu bara) untuk berbagai kepentingan baik kegiatan keagamaan, menyantuni anak yatim, beasiswa atau menghidupi pondok-pondok pesantren. Padahal mereka tahu sumbangan didapat dari mesin perusak alam dan pembawa bencana.
Bukankah ini subhat? Kenapa diam dan dibiarkan? Kenapa pihak-pihak yang berteriak menyelamatkan alam ini tidak didukung? Malah terkadang justru memberikan rekomendasi untuk membuka pintu bagi investor mengeksploitasi sumber daya alam.
Inilah yang saya maksudkan, krisis kepercayaan pada pemimpin dan politisi bahkan para ulama sekalipun bisa dilihat dari fenomena seperti ini. Berharap ulama bisa menyadarkan umara, justru ulama ikut hanyut dalam kebijakan umara yang sebenarnya menyengsarakan orang miskin tertimpa musibah, bahkan tidak tahu pasti apakah padi dan kebun bisa dipanen.
Lebih sempurna lagi, terkadang bantuan-bantuan CSR yang tidak seberapa (demikian kata teman saya ahli Ekonomi Pembangunan Unlam) dibandingkan keuntungan dan kerusakan alam, dipublikasikan di media cetak dan elektronik. Sekali lagi publik selalu dibodohi. Termasuk orang pribumi yang membuka jalan investor yang tidak ada memiliki ikatan emosional dengan banua ini.
Saya tidak tahu, bagaimana perasaan mereka yang ber-subhat itu, jika yang tewas dan tertimpa bencana adalah saudara atau orangtua mereka!
Memahami fenomena demikian, kita bertanya, apakah Manajemen Ilahiyah mampu menyelesaikan masalah ini, setidaknya mengurangi? Setidaknya juga roh Manajemen Ilahiyah tidak sekadar pada aspek pelayanan birokrasi atau simbolik lainnya. Kita berharap, demi mengurangi kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia, sebagaimana diungkapkan Al-Quran.***(IDABUL,8 SEPTEMBER 2008 )

1 comment:

Anonymous said...

Assalamu 'alaikum bang taufiq! Mudah-mudahan sampeyan masih ingat wan diriku, zainal muttaqien, yg di asrama pantas yk itu lo! Diriku sekarang terdampar di Kotabaru menjadi guru TIK pada MAN Kotabaru. Senang rasanya bisa menjumpai satu persatu teman-teman dan kenalan masa bahari. Si juhri kayapa kabarnya tuh? 5 tahun aku di kotabaru kd suah melihat batang hidungnya. Sesekali sampeyan berkunjung ke blog reot ku di www.elmuttaqie.wordpress.com

Mudah-mudahan link "pantas yk" lainnya segera bertaut satu persatu. Be interconnected network lah!