Oleh: Taufik Arbain
’ Kalau anak muda salah, masih ada orang tua yang bisa didengar.
Kalau orang tua salah, Cuma kakek yang pikun yang bisa menasehati!
(Iwan Fals)
Pemberitaan media dan fenomena politik Indonesia hari ini maupun di banua ramai membicarakan soal pemimpin muda dan calon legislatif muda. Bahkan persoalan bangsa Indonesia dibandingkan dengan keberhasilan Partai Buruh di Australia yang mengusung ide-ide anak muda yang kreatif.
Maka tidaklah mengherankan jika partai politik mulai menggeliat menempatkan lebih dominan orang-orang muda menjadi calon legislatif, dibandingkan dengan dulu orang-orang tua yang memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti seorang ulama, mantan perwira atau pejabat lainnya.
Negara maju dan negara berkembang yang menerapkan sistem politik dengan direct democracy maupun in direct democracy sangat memungkinkan siapapun warga negara untuk merebut kekuasaan lewat mekanisme sistem politik yang telah disepakati bersama (Undang-Undang). Dalam perspektif demokrasi adalah hak warga negara untuk dipilih dan memilih menjadi perwakilan di lembaga parlemen. Ini merupakan salah satu teori situasi historik dari ciri partai politik yang tujuannya untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Indonesia saat ini yang menggunakan sistem multi partai sangat memungkinkan individu-individu berhimpun dalam institusi partai politik
Dominannya kehadiran orang muda justru adalah sebuah kelatahan yang terjadi para intern partai politik. Hanya sebagian kecil parpol yang benar-benar menempatkan orang muda karena faktor ideologi, kapabilitas dan menjawab tantangan zaman, termasuk menempatkan perempuan 30 % karena faktor undang-undang sebagai ”perlengkapan politik”. Sama dengan kelatahan pimpinan parpol menempatkan para selebriti (orang muda) yang tidak memiliki kemampuan memadai di ranah politik. Akhirnya hanya sebagai pelengkap kemewahan gedung parlemen saja.
Namun demikian, kelatahan ini merupakan tantangan bagi orang muda untuk membuktikan kapasitas dan kapabilitas menjadi wakil rakyat. Tidak sekadar berumur muda, tetapi harus memiliki ideologi, kapabilitas, kompetensi dan empati terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Karakteristik demikian sebenarnya banyak dimiliki oleh para aktifis sungguhan dan berpengalaman dan memiliki modal sosial (social investation), bukan aktifis karbitan karena memiliki modal finansial atau modal kekuasaan orangtua atau kedekatan dengan petinggi-petinggi partai yang dipaksakan menjadi calon legilatif. Jika ini terjadi justru akan menjadi bumerang bagi aktifis dan orang muda untuk turut mengatasi krisis bangsa ini. Kalau orang muda yang dekat dengan petinggi parpol memang memiliki kapabilitas bukanlah sebuah kekhawatiran.
Realitasnya kedepan, justru orang muda dan aktifis akan dipersalahkan. Harapan untuk melakukan perubahan akan menjadi catatan bagi kelompok tua yang memiliki catatan negatif bahwa orang muda itu belum berpengalaman, tidak arif dalam mengambil keputusan, meledak-ledak, idealis yang cenderung tidak realistis.
Latahnya parpol merekrut anak muda selain keniscayaan dan intensitas booming euforia perubahan, salah satunya disebabkan oleh faktor banyaknya anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi, kebetulan dominan kelompok tua. Fakta ini melahirkan pandangan di publik, bahwa orang tua memiliki pengalaman dalam soal korupsi. Fakta ini bisa jadi menjadi alternatif bagi parpol memilih kelompok orang muda dan aktifis untuk mengawal bangsa ini. Sebab isu korupsi sangat berpengaruh pada pencitraan parpol dimana anggotanya di parlemen terjerat korupsi.
Soal anggota parlemen yang kebetulan lemah kinerja dan tidak kritis adalah fakta karena dominannya anggota parlemen dari kelompok tua yang sarat punya banyak kepentingan dan ” sumbangan dana hidup tua”. Sebab bagaimanapun lebih baik dan pas memang dibandingkan dengan golongan tua yang menjadi caleg. Pikiran ini bukan membuat dikotomi tua-muda. Tetapi fakta dinamisnya fenomena politik dan pembangunan sekarang, diperlukan energi ekstra untuk membahas kebijakan-kebijakan politik dan pembangunan, termasuk membangun jaringan-jaringan kerja yang visible. Seiring kondisi menurunnya kesehatan realitas menurunnya produktifitas, namun masih ganal hampadal merebut kepentingan.
Jadi hari ini adalah kesempatan bagi orang muda dan aktifis membuktikan dirinya, selagi partai politik berikhlas hati menerima kehadiran orang-orang muda, meskipun dalam kondisi latah. Tentu saja, bukan orang muda atau aktifis yang kebetulan pengangguran ”bernafsu” ingin cepat kaya. Sebab dalam perjalanannya selektifitas orang muda otomatis akan terus berjalan. Mereka yang benar-benar memiliki empati dan kepekaan sosial, berideologi, dan kapabel akan bertahan dan akan menjadi pemimpin. Kalau tidak, Terlalu!Kata Rhoma Irama.(idabul, 21 September 2008).
No comments:
Post a Comment