Thursday, October 30, 2008

Arsitektur Banjar,Keindahan Rumah Tropis yang Makin Langka

Berita KOMPAS Jumat, 12 November 2004
JIKA berkunjung ke Kalimantan Selatan, jangan lupa perhatikan rumah-rumah penduduk dan kantor-kantor pemerintahan. Bangunan rumah banjar, merujuk nama suku yang mendiami provinsi seribu sungai, ini didominasi oleh rumah panggung. Tetapi, bukan itu yang menjadi daya tariknya.

HAL yang menarik adalah bentuk rumah dan hiasan atau ornamennya yang khas Banjar dan khas daerah tropis. Mayoritas rumah warga didominasi bahan baku kayu dan kayunya pun bukan sembarang kayu, yaitu kayu ulin. Rumah banjar asli juga kaya dengan berbagai ornamen.
Salah satu rumah banjar yang megah di jantung Kota Banjarmasin adalah rumah dinas Gubernur Kalimantan Selatan. Rumah tersebut didominasi berbagai motif ukiran yang terbuat dari kayu ulin. Atapnya yang menjulang tinggi itu terbuat dari sirap kayu ulin pula. Di luar dan di dalam ruangan penuh dengan berbagai ornamen banjar.
Syamsiar Seman, budayawan Banjar yang juga penulis belasan buku soal budaya Banjar, salah satunya buku Arsitektur Tradisional Banjar Kalimantan Selatan, mengemukakan bahwa rumah kediaman gubernur menerapkan rumah adat banjar tipe bubungan tinggi.
Rumah gubernur hanya salah satu saja di antara bangunan khas Banjar di Kalimantan Selatan. Kantor-kantor lain yang dibangun beberapa dekade yang lalu juga menerapkan arsitektur tradisional Banjar dengan tipe kebanyakan bubungan tinggi.
Rumah banjar tidak hanya kaya dengan ornamen, namun juga kaya dengan corak atau tipe. Syamsiar Seman merinci dalam delapan ciri rumah adat banjar. Dari delapan ciri itu, jumlah tipe rumah adat yang bisa ditemui mencapai 11 tipe.
Kedelapan ciri arsitektur rumah adat banjar itu adalah bangunan berbahan kayu, rumah panggung yang didukung tiang dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) yang sekarang makin langka, tipe simetris sayap kiri dan kanan seimbang, sebagian bangunan memiliki anjung (ruangan yang menjorok ke samping) di kanan dan kiri.
Selain itu, atap rumah terbuat dari sirap kayu ulin dan hanya memiliki dua tangga, yaitu tangga depan serta tangga belakang dengan jumlah anak tangga biasanya ganjil. Pintu hanya ada dua, yaitu di bagian depan dan belakang yang berada di tengah-tengah, dan terakhir adanya dinding pembatas (tawing halat) antara ruang depan dan ruang tengah.
Dari delapan ciri tersebut di masyarakat lahir 11 tipe rumah banjar. Salah satu yang dianggap tipe paling tua, menurut Syamsiar Seman, adalah tipe bubungan tinggi. Rumah tipe ini dikenal sebagai rumah bangsawan, dan pada zaman dulu merupakan istana Sultan Banjar.
Rumah kediaman gubernur secara umum mengadopsi ciri-ciri bubungan tinggi. Bangunannya terlihat megah dengan ukuran besar dan memanjang, serta memiliki tiang-tiang tinggi. Memiliki ruangan yang menempel pada samping kanan kiri rumah atau disebut anjung (konstruksi pisang sasikat).
Atap terlihat membubung tinggi berbentuk lancip dengan konstruksi atap pelana, membentuk sudut 45 derajat, khas rumah tropis. Menjorok ke depan terdapat bangunan atap memanjang yang disebut atap sindang langit.
Untuk menuju rumah panggung, terdapat tangga depan (tangga hadapan) di kanan kiri tangga terdapat semacam "pagar" yang diukir dengan motif bunga dan hiasan buah nanas.
Lepas dari tangga, terdapat palatar yang digunakan untuk tempat santai. Di sisi kanan kiri palatar terdapat pagar pengaman atau kandang rasi yang kaya dengan hiasan juga.
Bagian dalam rumah terdapat beberapa ruangan, yaitu ruangan kecil (panampik kecil), ruangan tengah (panampik tengah), dan ruangan besar (panampik basar). Setelah ruangan besar terdapat dinding pembatas dengan dua pintu kembar di kanan kirinya kaya dengan berbagai ukiran, mulai bentuk bunga, daun, hingga kaligrafi Arab.
Melewati tawing halat terdapat ruangan dalam yang disebut palidangan. Di bagian belakang ada ruangan bawah (panampik bawah) dan paling belakang ada dapur (padapuran).
SELAIN bubungan tinggi, terdapat 10 tipe rumah lainnya yang lebih muda umurnya, yaitu gajah baliku, gajah manyusu, balai laki, balai bini, palimasan, palimbangan, cacak burung atau anjung surung, tadah alas, joglo banjar, dan lanting.
Menurut Syamsiar, gajah baliku biasa dihuni saudara sultan, gajah manyusu dihuni keturunan raja dan para anggota keluarga bergelar gusti. Balai laki merupakan rumah tinggal punggawa mantri dan prajurit kesultanan Banjar.
Sedangkan rumah balai bini dulu dihuni para putri atau keluarga Sultan Banjar dari pihak wanita. Tipe palimasan dulu dihuni bendaharawan kerajaan yang memiliki emas dan perak, dan juga para saudagar dan pedagang kaya.
Tipe palimbangan dihuni para para tokoh agama dan ulama juga para saudagar kaya seperti pedagang intan. Cacak burung atau anjung surung biasa dihuni masyarakat kebanyakan, seperti petani dan pedagang kecil.
Setelah rumah-rumah di atas, kemudian lahir berbagai modifikasi. Di antaranya tadah alas yang merupakan modifikasi balai bini. Kemudian ada joglo banjar yang merupakan adaptasi dari joglo jawa, biasa dihuni para pedagang China yang memerlukan ruangan lebar untuk gudang dagangan.
Tipe rumah terakhir yang kontroversial adalah rumah lanting, yaitu rumah kecil yang terapung di pinggir sungai. Rumah portable ini sering tergusur berbagai proyek pembangunan karena dianggap membuat wajah kota semrawut.
Kini berbagai bentuk rumah itu memang masih dapat dijumpai, baik sebagai rumah rakyat maupun rumah pejabat dan perkantoran. Meski demikian, lambat laun bangunan-bangunan baru hadir tanpa mempertimbangkan lanskap (bentang lingkungan) arsitektur banjar yang sudah tertata itu.
"Sekarang ini Banjarmasin diserbu rumah toko yang desainnya semena-mena, tidak mempertimbangkan kepatutan budaya," papar Taufik Arbain, pemerhati budaya Banjar yang juga aktivis Center for Regional Development Studies (CRDS) Kalimantan Selatan.
Taufik mencontohkan, bangunan baru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin di Jalan Ahmad Yani, Banjarmasin, yang berada di jalan protokol yang mengadopsi murni joglo jawa. Seharusnya, menurut Taufik, tidak selayaknya bangunan rumah publik tersebut di tengah lanskap arsitektur banjar.
"RSUD Ulin yang berarsitektur joglo jawa adalah sebuah malapetaka budaya yang cukup kuat untuk melegitimasi bahwa kita benar-benar lupa akan komitmen melestarikan budaya," tegas Taufik. Taufik mempertanyakan, mengapa desain bangunan publik seperti itu disetujui pemerintah?
Sastrawan dan budayawan Banjar yang juga pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat, Jarkasi, mengemukakan, bangunan di tepi jalan raya dan bangunan publik memang tidak semestinya mengabaikan konteks budaya lokal. Walau begitu, lanjutnya, bangunan-bangunan itu tidak harus 100 persen memaksakan diri menjadi bangunan Banjar.
"Kami tidak menuntut muluk-muluk bangunan publik harus bertipe rumah banjar 100 persen. Akan tetapi, hanya dengan mengadopsi ornamen-ornamen budaya Banjar pun sudah cukup. Kami sadar bahwa segala sesuatu itu dinamis," kilah Jarkasi.
Arsitektur rumah banjar tampaknya akan tergusur rumah modern mengingat sikap pasif pemerintah. Banyak bangunan "asing" yang terus bermunculan di antara rumah- rumah tradisional. Rumah adat banjar yang megah khas tropis itu kini terus diempas badai modernisasi. (Amir Sodikin)
S
earch :








No comments: