Oleh: Taufik Arbain
Saya terkejut ketika membaca pemberitaan bahwa aparat Polisi Pamong Praja (Satpol PP) HSU menurunkan seluruh spanduk berisi ucapan Selamat Idul Fitri 1429 H yang ada di wilayah HSU khususnya di perkotaan dengan alasan H + 7 merupakan waktu yang cukup untuk membentang spanduk tersebut. Apalagi tak terkecuali spanduk milik Pemerintah Daerah yakni ucapan dari Bupati HSU.
Pikiran saya langsung menganalisis bahwa tidak berapa lama kejadian ini pasti mendapat tanggapan dari Pemerintah Daerah HSU. Pertanyaan saya mengapa spanduk milik Pemerintah Daerah harus diturunkan dan disamakan dengan spanduk milik kelompok dan perorangan. Apalagi muncul statemen bahwa tanpa pandang bulu milik siapa pun. Saya menganggap ini sudah menyalahi etika birokrasi sehingga salah satu Satuan Perangkat Daerah harus mengambil tindakan yang terkesan tidak terkoordinasi. Paling tidak koordinasi Humas Pemkab yang menangani urusan publikasi Pemerintah Kabupaten dengan Satpol PP.
Koordinasi tersebut tentu saja tidak sekadar soal di titik-titik mana yang patut dan pantas dibentang dan diletakkan sehingga tidak mengganggu kenyamanan dan keindahan wajah kota, tetapi juga status kepemilikan spanduk sehingga membedakan mana spanduk berstatus milik pemerintah mana spanduk bukan milik pemerintah yang diikat oleh kewajiban-kewajiban seperti masa bentang, titik-titik pasang. Termasuk juga mana spanduk dan baliho pakai uncui/pajak untuk PAD mana yang kada pakai uncui/pajak.
Ketika penurunan spanduk dengan alasan H+7, bukanlah keliru keputusan tersebut jika mengacu pada aturan dan mekanisme yang ada, tetapi harus dilihat juga mana spanduk yang memiliki masa bentang yang telah dikoordinasikan, sehingga tidak menggergaji kewibawaan Pemerintah Kabupaten dengan statemen tanpa pandang bulu.
Tanpa pandang bulu, adalah kalimat kadagagampangan sebagai bentuk penggergajian kewibawaan pemerintah. Inilah pungkala sebenarnya. Soal tanpa pandang bulu ini sebenarnya bisa dilakukan apabila menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi yang bertendensi korupsi, manipulasi dan merugikan negara dan publik. Tapi kalau soal spanduk semestinya tidak perlu sampai terjadi persoalan demikian, apalagi gambarnya nampak batampai siapa yang orangnya. Nyaman maminandui.
Tak berselang beberapa hari, rupanya tanggapan dari Pihak Pemkab muncul. Apalagi perintah untuk dipasang kembali dengan alasan selama Syawal suasana lebaran masih terasa dan sebagai bentuk menggambarkan citra daerah.
Dalam kasus baadu harat ini, justru semakin sempurnalah penggergajian kewibawaan Pemerintah Daerah oleh birokrasi itu sendiri. Saya tidak habis pikir, mengapa dalam birokrasi modern sekarang ini masih terjadi elit dan orang-orang dalam birokrasi HSU menjatuhkan kewibawaanya di hadapan publik. Biasanya yang terjadi publik yang melakukan protes cenderung menjatuhkan kewibawaan pemerintah.
Kalau seperti begini, bagaimana strategi untuk mengawal kebijakan-kebijakan lainnya? Justru ketika ada bentuk kekeliruan dalam kinerja satuan perangkat daerah dalam hal ini Satpol PP, semestinya tidak perlu dibalas dengan perintah ”Pasang Kembali”. Ada cara lain yang lebih cantik dan elegan. Sekretaris Daerah, Humas, Asisten dan Staf Ahli pasti memiliki strategi dan cara yang lebih cantik dan elegan untuk menyelesaikan masalah ”pacul-pasang spanduk lebaran” ini tanpa harus semakin menjatuhkan citra dan kewibawaan Pemerintah. Sebab soal-soal begini dibutuhkan kecerdasan dalam menangani pemerintahan, termasuk soal teks-teks pidato apa yang mesti disampaikan subtansinya bagi konsumsi publik.
Soal spanduk lebaran ini sebenarnya adalah perkara kecil dalam tugas dan fungsi birokrasi, tanpa harus ada kesan baadu harat. Tugas dan fungsi Kepala Daerah adalah bagaimana mensejahterakan rakyat dan melayani publik, karena spanduk lebaran tidak ada kena-mengena dengan soal kesejahteraan rakyat kecuali pesan layanan soal rasa keberagamaan. Sekali lagi, Bupati tidak perlu sampai mengurusi hal-hal yang tidak urgen apalagi tidak diatur dalam Undang-Undang, sebab ada banyak perkara penting yang harus dilakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat HSU.
Teman saya mengibaratkan; ” kalau menjadi Presiden maka harus belajar dulu menjadi Kepala Pemerintahan sehingga paham etika birokrasi”. Lalu kata saya, kalau menjadi Pembakal, jelas harus paham menjadi seorang Kepala Kampung sehingga tidak perlu baadu harat untuk menembakkan meriam ke orang yang hanya memakai senapan angin. Terlalu kecil untuk ditangani.***
Koordinasi tersebut tentu saja tidak sekadar soal di titik-titik mana yang patut dan pantas dibentang dan diletakkan sehingga tidak mengganggu kenyamanan dan keindahan wajah kota, tetapi juga status kepemilikan spanduk sehingga membedakan mana spanduk berstatus milik pemerintah mana spanduk bukan milik pemerintah yang diikat oleh kewajiban-kewajiban seperti masa bentang, titik-titik pasang. Termasuk juga mana spanduk dan baliho pakai uncui/pajak untuk PAD mana yang kada pakai uncui/pajak.
Ketika penurunan spanduk dengan alasan H+7, bukanlah keliru keputusan tersebut jika mengacu pada aturan dan mekanisme yang ada, tetapi harus dilihat juga mana spanduk yang memiliki masa bentang yang telah dikoordinasikan, sehingga tidak menggergaji kewibawaan Pemerintah Kabupaten dengan statemen tanpa pandang bulu.
Tanpa pandang bulu, adalah kalimat kadagagampangan sebagai bentuk penggergajian kewibawaan pemerintah. Inilah pungkala sebenarnya. Soal tanpa pandang bulu ini sebenarnya bisa dilakukan apabila menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi yang bertendensi korupsi, manipulasi dan merugikan negara dan publik. Tapi kalau soal spanduk semestinya tidak perlu sampai terjadi persoalan demikian, apalagi gambarnya nampak batampai siapa yang orangnya. Nyaman maminandui.
Tak berselang beberapa hari, rupanya tanggapan dari Pihak Pemkab muncul. Apalagi perintah untuk dipasang kembali dengan alasan selama Syawal suasana lebaran masih terasa dan sebagai bentuk menggambarkan citra daerah.
Dalam kasus baadu harat ini, justru semakin sempurnalah penggergajian kewibawaan Pemerintah Daerah oleh birokrasi itu sendiri. Saya tidak habis pikir, mengapa dalam birokrasi modern sekarang ini masih terjadi elit dan orang-orang dalam birokrasi HSU menjatuhkan kewibawaanya di hadapan publik. Biasanya yang terjadi publik yang melakukan protes cenderung menjatuhkan kewibawaan pemerintah.
Kalau seperti begini, bagaimana strategi untuk mengawal kebijakan-kebijakan lainnya? Justru ketika ada bentuk kekeliruan dalam kinerja satuan perangkat daerah dalam hal ini Satpol PP, semestinya tidak perlu dibalas dengan perintah ”Pasang Kembali”. Ada cara lain yang lebih cantik dan elegan. Sekretaris Daerah, Humas, Asisten dan Staf Ahli pasti memiliki strategi dan cara yang lebih cantik dan elegan untuk menyelesaikan masalah ”pacul-pasang spanduk lebaran” ini tanpa harus semakin menjatuhkan citra dan kewibawaan Pemerintah. Sebab soal-soal begini dibutuhkan kecerdasan dalam menangani pemerintahan, termasuk soal teks-teks pidato apa yang mesti disampaikan subtansinya bagi konsumsi publik.
Soal spanduk lebaran ini sebenarnya adalah perkara kecil dalam tugas dan fungsi birokrasi, tanpa harus ada kesan baadu harat. Tugas dan fungsi Kepala Daerah adalah bagaimana mensejahterakan rakyat dan melayani publik, karena spanduk lebaran tidak ada kena-mengena dengan soal kesejahteraan rakyat kecuali pesan layanan soal rasa keberagamaan. Sekali lagi, Bupati tidak perlu sampai mengurusi hal-hal yang tidak urgen apalagi tidak diatur dalam Undang-Undang, sebab ada banyak perkara penting yang harus dilakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat HSU.
Teman saya mengibaratkan; ” kalau menjadi Presiden maka harus belajar dulu menjadi Kepala Pemerintahan sehingga paham etika birokrasi”. Lalu kata saya, kalau menjadi Pembakal, jelas harus paham menjadi seorang Kepala Kampung sehingga tidak perlu baadu harat untuk menembakkan meriam ke orang yang hanya memakai senapan angin. Terlalu kecil untuk ditangani.***
No comments:
Post a Comment